2: Bukan Kali Pertama

38.5K 4K 63
                                    

Mari melihat kembali kehidupan Kara, kurang lebih setahun yang lalu.

Kehidupan Kara sebelum kejadian di resepsi pernikahan teman SMPnya.

***

Ankara Putri Azalea baru menapak hidup baru pascalulus kuliah. Saat wisuda, Kara merasa di atas awan karena lulus lebih cepat. Satu minggu pertama, euforia kelulusan masih kental terasa. Satu bulan pertama, Kara masih baper dengan suasana perkuliahan. Begitu berganti bulan, barulah banyak yang bertanya. Pertanyaan yang tidak ingin dia dengar.

Kira-kira, ini daftar pertanyaan yang biasa Kara dengar setelah tiga bulan berlalu.

"Kara sekarang kerja apa?"

"Kara, abis itu mau lanjut kuliah atau cari kerja?"

"Kara, beres jadi sarjana mau ngapain? Cari kampus lagi? Kerja? Apa jodoh nih?"

Jujur, dua pertanyaan---tiga pertanyaan, ralat, paling menyebalkan bagi Kara. Rasanya ingin membungkam orang-orang yang menanyakan tiga pertanyaan yang membuatnya insecure habis-habisan. Tidak hanya insecure, Kara kerap kali merasa minder. Apalagi melihat beberapa kawan sudah mulai melangkah dengan cepat: dapat pekerjaan. Masalah jodoh? Jangan tanya lebih jauh. Itu sudah pasti.

Kara sendiri bukannya tidak punya kerja. Dia punya, malah sangat membuatnya sibuk sampai tidak punya waktu. Iya. Sibuk membantu Bunda, menjadi tangan kanan kedua orang tuanya mengelola bisnis skala kecil-menengah yang tengah mencoba untuk bertahan.

Masalah jodoh? Kara masih enggan memikirkannya.

"Cari apa Bu?"

Seorang pelanggan muncul di toko kelontong Bunda dengan tampang bingung. Ini kali pertama Kara melihat pelanggan yang baru mampir.

"Mie gorengnya lima. Sama minyak goreng 1 liter."

Kara segera mengambilkan pesanan pelanggan dengan cekatan. Semuanya dia masukkan ke dalam kresek hitam berukuran sedang. Dalam waktu singkat, Kara sudah menyerahkan barang dan menyebutkan harga yang harus dibayar kepada pelanggan.

"Datang lagi ya Bu!" Seru Kara begitu pelanggan tersebut meninggalkan warung Bunda. Pelanggan itu membalas dengan senyum sebelum benar-benar menghilang dari balik pagar rumah.

Setelah ibu yang satu pergi, muncul satu ibu-ibu yang sering belanja ke warung kelontong Bunda. Seingat Kara, ibu yang baru saja datang itu adalah salah satu teman arisan Bunda. Bu Naya kalau tidak salah namanya. Kara sempat melihatnya beberapa kali mampir ke rumah.

"Cari apa Bu?" Kara memberanikan diri untuk bertanya karena Bu Naya tidak kunjung memilih barang yang ingin dibeli.

Akhirnya Bu Naya menoleh ke arah Kara. Namun balasannya hanya sekedar senyum manis. Bu Naya tidak merespon pertanyaan Kara. Raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Kara," Bunda muncul dari balik pintu. Baik Kara dan Bu Naya sama-sama menoleh. Wajah Bu Naya mendadak bersahabat begitu menoleh ke arah Bunda.

"Jeng Nay!" Sapa Bunda ramah. "Tumben nggak lewat pintu depan?"

Tampang Bu Naya yang tadinya tanpa ekspresi menjadi lebih ramah terhadap Bunda. "Eh, Jeng Ris! Saya pikir ndak bisa ketemu Jeng Ris di sini."

Kara hanya bisa tertawa datar melihat interaksi dua ibu-ibu di hadapannya. Kehadirannya mulai tidak disadari dua orang wanita paruh baya yang asyik membincangkan masalah paling panas di kompleks rumah. Maklum, keduanya selalu bertemu setiap arisan kompleks yang diadakan sebulan sekali di rumah yang berbeda.

Setelah bosan membicarakan Kara selama beberapa bulan terakhir, dan Kara sendiri belum ada perkembangan lain selain jadi sarjana, teman-teman arisan Bunda sedang punya hot issue: marriage. Pernikahan.

Kejar TenggatWhere stories live. Discover now