9: A Real Deal

28.5K 3K 69
                                    

Kali ini Zafran menarik tangan Kara. Tanpa banyak bicara, Zafran membawa Kara keluar dari dalam kantor perwakilan penerbit Ershayne cabang Bandung. Hanya sampai pelataran parkir, Zafran menyeretnya hingga di antara dua mobil yang terparkir di sana.

Yang terjadi barusan bukan sekedar akting. Mereka memang benar-benar berencana untuk bertunangan. Yang sebenarnya.

Kara masih ingat dengan jelas. Semua yang terjadi tadi, sudah Kara dan Zafran bicarakan sebelumnya. Namun mereka belum memutuskan akan go public kapan. Kara yang belum bisa memutuskan. Dia masih belum sanggup menjalani kehidupan barunya.

Kalau semua ini bukan karenanya, Kara pasti sudah menampar Zafran di hadapan Raka beberapa saat lalu.

Yap. Semua ini demi seseorang.

Demi Bunda. Kara mencoba untuk membuka lembaran hatinya yang baru.

***

Sebulan lalu...

"Aku nggak nyangka kalau kamu itu cowok yang setahun lalu bikin aku menunggu lama di Oasis. Padahal kita sempat bertubrukan sebelum aku pergi."

Pasca kejadian di pasar, Zafran mengajak Kara untuk bertemu sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Tepat setelah waktu dzuhur, Kara menyusul Zafran ke depan rumah Bu Naya. Siapa yang mengira kalau Kara malah bertemu Bu Naya di depan rumahnya bersama Zafran. Dan semua itu terjadi sebelum Kara sempat naik ke mobil Zafran.

"Uhh Neng Kara. Udah jadian sama Aa Jep ya?"

Sempat-sempatnya Bu Naya menggoda Kara dengan keponakannya.

Pertanyaan Bu Naya hanya bisa Kara jawab dengan tawa kosong. Zafran segera menyelamatkan Kara yang tampak hilang akal untuk membalas godaan bibinya.

"Duh, udah jangan digodain terus Karanya," Zafran mencium tangan Bu Naya, diikuti oleh Kara. "Zafran pergi dulu ya. Jangan kangen!" Segera Zafran membuat Kara masuk ke dalam mobil Zafran seperti saat ini.

Zafran mengiyakan pertanyaan Kara. Tatapannya masih fokus ke depan. Memperhatikan jalan. "Aku bahkan membayar tagihan minuman kamu waktu itu. Aku masih simpan struk-nya kalau kamu mau lihat seberapa banyak biaya yang aku bayar setahun lalu."

Kara meringis. Mengingat hari itu belum membayar tagihan minuman dan meloyor pergi begitu saja tanpa menghiraukan utang, Kara sampai saat ini tidak pernah menginjakkan kaki ke Oasis sejak hari itu.

"Maaf ya Kak. Aku ganti deh duit kakak yang terpakai."

"Abang," Zafran meralat ucapan Kara. "Panggil aku Abang. Aku lebih suka saat kamu manggil aku dengan sebutan Abang."

Kara memilih bungkam. Dia masih belum yakin untuk memanggil Zafran dengan sebutan Abang.

"Terus sekarang kita mau kemana?" Kara penasaran. Zafran membawanya hingga ke tengah kota, tepatnya Jalan Asia Afrika yang ramai. Tadinya, Kara berharap Zafran akan membawanya ke mal dekat rumah saja. Namun berhubung yang mengajaknya adalah Zafran, dan dia punya hak menentukan tempat, Kara menurut saja. Toh dia tidak berhak juga untuk protes.

Pertama, Zafran yang mengajaknya.

Kedua, hubungan mereka yang sebenarnya kan bukan sepasang kekasih. Malah masih membingungkan. Teman, bukan. Kakak beneran, juga bukan.

Tapi Kara tidak tahan untuk bertanya. Dia sungguh penasaran.

Tapi.... tapi Kara masih saja diam. Matanya berulang kali melirik Zafran, dan lelaki itu juga tampaknya sadar kalau Kara mulai tidak nyaman dengan keheningan di antara mereka. Zafranpun menyalakan musik untuk Kara.

Kejar TenggatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang