7: Permintaan Bunda

28K 2.8K 43
                                    

Hanya selang satu minggu setelah hari itu, tepatnya setelah Karen dan suaminya tiba di Inggris dengan selamat, Bunda dan Ayah langsung diberi kabar oleh Karen mengenai kehamilannya yang masih sebutir biji jagung.

Bunda marah besar saat mengetahui kondisi Karen yang sebenarnya, tepat seperti yang diduga kakaknya saat mengatakan berita bahagia itu kepada Kara.

"Duhhh kamu tuh bandel banget ya! Kenapa nggak kasih tahu Bunda dulu kalau lagi isi kemarin pas pulang ke rumah? Kan Bunda bisa siapin banyak hal sebelum kamu pergi, sayang. Bla, bla, bla." Dan seterusnya.

Hingga tiga hari pasca-berita bahagia itu, Bunda terus-terusan mendumel perilaku Karen yang seenaknya. Bunda juga ikut memarahi suami Karen, yang juga menyembunyikan fakta tersebut dari Bunda.

Kakaknya mungkin bisa lepas dari cuitan Bunda karena jarak mereka jauh. Yang kena imbas adalah Kara, Si Bungsu yang masih saja sendiri, menjadi pelampiasan kekesalan Bunda.

"Pokoknya Ra, Bunda nggak mau kamu kayak kakak kamu! Sudah jelas dia hamil sebelum berangkat. Bukannya kasih tahu Bunda, malah sembunyi-sembunyi." Dumel Bunda selagi menelusuri pasar tradisional dekat rumah. Kebetulan hari ini bertepatan dengan tanggal merah, jadi Kara diminta untuk menemani Bunda belanja kebutuhan pokok.

"Duh Bun, ini udah kesekian kalinya Bunda ngomel sama aku. Aku bosan." Keluh Kara.

"Eehh, Bunda kan mau ngingetin biar kamu nggak ngikutin jejak kakakmu. Segala sesuatu itu harus dibicarakan. Jangan main rahasia-rahasiaan. Untung kakakmu itu nggak kenapa-napa di pesawat. Bayangin kalo kenapa-kenapa kakakmu di atas pesawat, kita juga yang repot." Ulas Bunda untuk kesekian kalinya.

"Duuuh Bundaaa," Kara tidak tahan untuk merajuk. "Aku kan jaraaaang banget bantuin Bunda karena kerjaan. Masa aku dijadiin samsak Bunda sih, ngomel soal Kak Karen?"

"Iya deh iya. Habis kan Bunda nggak tahu mau ngomel sama siapa selain kamu, Ra. Kamu ada di rumah aja hari ini dan jam segini, Bunda seneng banget. Daripada Bunda ngomel sama tetangga, lebih baik sama kamu toh?"

Kara tidak bisa membalas apa-apa. Setiap berargumen dengan Bunda, Kara selalu di posisi mengalah. Bukan karena Bunda adalah Bunda, tapi Bunda memang lihai memilah kata untuk mematahkan argumen lawan. Maklum, setahu Kara, Bunda sempat berniat untuk menjadi pengacara sebelum bertemu Ayah.

"Oya Ra, kamu beli telur ayam ya di sebelah sana? Bunda mau ke bagian daging-dagingan dulu. Biar waktu belanja kita nggak kelamaan." Titah Bunda menunjuk tempat Bunda biasa belanja telur. Kara langsung meluncur begitu Bunda menyerahkan satu lembar pecahan lima puluh ribuan.

Kara dan Bunda berpisah sejenak. Setidaknya, Kara dapat menghirup kebebasan sejenak dari cuap-cuap Bunda tentang Karen. Lagipula, Kara tahu persis kakaknya itu memang tidak suka kalau hidupnya terlalu diatur. Suami Karen saja bukan orang yang dikenalkan Bunda. Kakaknya menikah dengan teman semasa kuliah dulu. Saat Bunda meminta Karen menetap di rumah, mereka sepakat menolak dan mendaftar ke universitas di Inggris untuk melanjutkan studi pascasarjana.

Terselip perasaan iri dalam hati Kara. Karen termasuk perempuan beruntung. Dia tidak pernah menjalani hubungan pacaran sebelum menikah. Bertemu dengan suaminya saja jauh dari drama. Alami, seperti air mengalir dari hulu ke hilir. Karen dan suaminya saling menyukai dan menyimpannya hingga takdir menuntun mereka ke pelaminan. Kara juga ingin menemukan cinta seperti itu.

Dia tidak ingin terjebak status pura-pura seperti yang dilakukannya dengan Zafran. Meskipun Zafran sempat menyatakan rasa sukanya selang beberapa jam setelah pertemuan pertama mereka, Kara tidak yakin kalau Zafran menyatakan dengan tulus. Pasti saat itu Zafran khilaf. Terbawa suasana. Hanyut dalam kepura-puraan.

Kejar TenggatWhere stories live. Discover now