03 - Ronit

33 0 0
                                    

Kurang lebih satu jam sebelum istirahat makan siang, Bayu meninggalkan tempat kerjanya. Tiga puluh menit mengendarai mobil, ia tiba di Kafe MAS. Kafe tersebut menempati separuh bagian depan Toko Elektronik MAS. Toko yang lebih sering hanya disebut Toko MAS itu menjual beragam elektronik hiburan, komputer, dan rumah tangga. Tidak ada jual emas.

Kafe MAS dan Toko MAS adalah ekspansi usaha PT Makmur Abadi Sejahtera (MAS). PT MAS sendiri sejatinya adalah distributor resmi yang mengedarkan hubus dari berbagai merek besar. Salah satunya adalah Ronit, merek dagang hubus produksi PT Mahsed Multi Inspirasi Tbk (MMI), tempat Bayu bekerja.

Karyawan front office Toko MAS cukup mengenal Bayu dan posisinya di MMI. Meski bukan termasuk selebriti, nama Bayu Bagaskara sering disebut saat launching produk-produk Ronit. Ia sedikit bicara, tetapi selalu wajib hadir dalam acara tersebut.

Selain juga karena ada ikatan bisnis antara kedua perusahaan, Bayu kadang bertandang ke Kafe MAS untuk menikmati makan siang. Ia bisa saja makan siang di kantin perusahaan, tetapi ada kalanya ia perlu suasana berbeda. Dan kebetulan di hari ini, ia punya maksud lain.

Perusahaan pesaing baru saja merilis hubus versi terbaru dua minggu yang lalu. PT MAS juga menjadi distributor untuk perusahaan tersebut. Sudah pasti, Toko MAS turut menjual hubus versi baru mereka. Bayu jadi ingin melihat langsung rupa benda yang diiklankan sebagai hubus paling mutakhir tersebut. Siapa tahu dengan melihatnya, memegangnya, bahkan mencobanya, ia mendapat ilham untuk memecahkan masalah yang baru saja dihadapi timnya di perusahaan.

Akan tetapi, etalase hubus di Toko MAS siang itu terlihat sepi. Kasir juga lengang. Dari lima meja kasir, hanya dua yang melayani pembeli. Tak terlihat seperti ada produk anyar yang baru dirilis. Terakhir yang ia ingat, dua tahun lalu, rilis dari perusahaan yang sama membuat antrean kasir mengular meliuk-liuk di dalam toko.

"Siang, Pak Bayu. Ada yang bisa dibantu?" Seorang pramuniaga menghampiri. Pemuda itu sudah kerap melihat Bayu menyambangi Toko MAS. Biasanya langsung senyam-senyum ketika tiba di etalase hubus. Tapi sekarang, malah berdiri diam, lalu mengernyitkan dahi.

Bayu menyahut, "Ini kenapa sepi?"

Sekejap, sang pramuniaga ikut bingung. Akan tetapi, topik kebingungannya berbeda. "Pengunjung Toko MAS biasanya memang segini, Pak. Lebih banyak yang belanja lewat online. Jadi, yang lebih sibuk itu di bagian warehouse."

Bibir Bayu membulat. "Berarti, Pro-II banyak yang pesan via online, ya? Supaya nggak antri kayak dulu." Meski perusahaan pesaing, Bayu akui produk Digital Waves itu bagusnya kelas wahid. Banyak diidam-idamkan. Salah dua dari tiga merek hubus terkemuka dunia. Menurut tim marketing MMI, hubus produksi Digital Waves menguasai 24% pasar di Indonesia.

"Ouh...!" Pramuniaga itu manggut-manggut. "Rilisnya memang dua minggu lalu, Pak. Tapi khusus di Asia-Pasifik, penjualannya ditunda. Termasuk Indonesia. Katanya, sih, ada masalah distribusi. Gara-gara Badai Nina Karlina atau apa itu namanya."

"Ah, iya." Bayu pun teringat sekilas kabar penundaan itu. Bahkan kalau tak salah, sempat jadi perbincangan dalam timnya di perusahaan. Bisa-bisanya ia lupa.

Dengan sedikit kecewa, Bayu mengamati deretan rak di hadapannya. Dipenuhi seratusan kemasan hubus dari berbagai model dan produsen. Di tengah-tengah, ada lemari kaca setinggi pinggang orang dewasa. Bentuknya lengkung seperti tapal kuda. Di dalam lemari, berjejer berbagai model hubus tanpa kemasan. Dua orang SPG berada di tengah tapal. Saat itu, keduanya menemani seorang bapak-bapak bersetelan necis tengah mencoba hubus berbentuk helm. Bayu melintasi mereka. Kemudian, memulai ritual mengelilingi etalase hubus sebanyak tujuh kali.

Mendekati putaran kedua, sepasang muda-mudi berseragam SMA terlihat memasuki toko. Hamid dan Dina. Keduanya masih menenteng tas.

Begitu masuk toko, Dina langsung mencari etalase hubus. Tak begitu sulit menemukannya. Etalase hubus tak jauh dari pintu masuk. Belum lagi, ada papan penunjuk lumayan besar dengan dikelilingi berbagai material promosi. Karena tak menyangka akan disambut begitu meriah, lebih-lebih oleh videotron resolusi tinggi ukuran jumbo, Dina mematung terkesima.

Ia tak sadar. Hamid menjauh ke arah lain.


***


Adegan penuh ledakan di videotron berganti dengan seorang wanita bersetelan kerja. Selang usai menggantung tas, wanita itu sudah berpakaian santai. Ia duduk di kursi malas, lalu memasang sebuah benda di kepalanya. Bentuknya seperti kacamata, tetapi bagian yang menutup mata amat tebal serta tidak ada kacanya. Begitu punggungnya merebah, berbagai panorama alam berkelebat silih berganti.


"JANGAN SAMPAI KURANG PIKNIK! NIKMATI LIBURAN SETIAP HARI!"

"DAFTAR SEKARANG. LIBURAN SEKARANG. GRATIS!"

"TRAVELLILLO"

"DI RUMAH SAJA, KELILING DUNIA."

"(UNTUK 13 TAHUN KE ATAS, DENGAN KONTEN BERBAYAR)"


Gambar-gambar yang berkelebat menohok lensa mata Dina.

"Mid, itu!" tunjuknya. "Itu game yang pernah aku mainin!"

"Iya, kemarin kamu udah cerita," susul Hamid. "Ayo, titip tas dulu!" Ditariknya lengan Dina menuju sudut toko. Dina cengengesan.

Tiba di penitipan barang, keduanya langsung diminta menunjukkan kartu pelajar.

"Sekolah di SMA Duta, ya, Kak?" sapa kakak petugas penitipan. Ia mengetik sesuatu di tablet usai melihat kartu pelajar keduanya. Kakak di penitipan mencari profil sekolah di situs Kemendikbud.

"Yes," sahut Dina.

"Kok, sudah main ke toko, Kak? Belum jam pulang, kan?" Mau itu sekolah negeri ataupun swasta. Jam pulang SMA di provinsi ini sekitar jam tiga sore. Sedangkan sekarang? Jam dua sore masih empat puluh menit lagi.

Dina cengengesan.

"Gurunya rapat, Kak," jawab Hamid. Jadwal menemani Dina membeli hubus seharusnya Minggu depan. Namun karena rapat guru yang mendadak, Dina jadi minta dipercepat. Temannya itu sepertinya sudah tidak sabar.

"Dari sekolah sampai ke sini lumayan jauh, ya, Kak?" Sesekali kakak di penitipan melirik layar tablet. Profil sekolah ditemukan, ada data geospasialnya.

Giliran Dina yang menjawab, "Naik kendaraan umum hampir setengah jam, terus jalan kaki 10 menitan." Tak lupa, ia menepuk paha. "Huft!"

Kakak di penitipan tersenyum. Ia menyodorkan dua kartu dengan angka 24 dan 25 kepada Hamid. "Ini nomor penitipannya, Kak. Jangan lupa pacarnya diajak makan siang di kafe. Kafe MAS ada menu khusus bagi pelajar. Harganya terjangkau."

Dina menarik-narik pinggang kemeja Hamid. Hamid menoleh. Dina berucap lirih, "Mid, aku jadi ingat belum makan."

Gurat di kening Hamid meliuk-liuk. "Siapa kamu? Aku tidak kenal!"

Dina memelas. "Tega kamu, Mid! Aku nangis, nih!"

"Mana boleh begitu. Bikin malu Bapak!" Mode bapak-bapak Hamid mendadak aktif.

"Dih!" Dina manyun.

Kakak di penitipan senyam-senyum. "Musyawarahnya sambil belanja saja, Kak. Kalau ada kartu member, bisa dapat poin tiap kelipatan sepuluh ribu. Nanti, poinnya bisa ditukar kupon untuk makan di kafe."

Dina makin kencang menarik pinggang Hamid.

"Kan, udah aku traktir bakwan kuah di kantin," sanggah Hamid. Bakwan dengan topping udang ebi, diseduh kuah bakso. Nikmat. "Dua mangkuk lagi!" Hamid permisi lekas-lekas meninggalkan meja penitipan. Dina mengekor dengan bibir maju.

Ketika keduanya sudah agak jauh, kakak di penitipan menelepon kontak SMA Duta BuanaPontianak. Memastikan keduanya tidak membolos. Jika berbohong, mereka akan diusir sekuriti dan rekaman CCTV mereka turut dilaporkan ke pihak sekolah.

Bukan apa-apa. Ini soal reputasi toko.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang