02 - tester

29 0 0
                                    

"Pak Bay!" panggil Idris. Bayu menoleh. "Suhu prosesor hubus yang dipakai Rozes melonjak 30 persen dan terus naik!" jelas pemuda berkacamata itu sembari terus memantau satu dari tiga monitor. Sejumlah angka berubah cepat dan berkedip-kedip. "Konsumsi daya juga naik 20 persen setelah limiter di-bypass dan terus bertambah. Seluruh 480 drit terdeteksi aktif!"

"Pak Bay!" Suara wanita menyusul terdengar dari speaker di langit-langit. Empat orang di ruang kendali serempak menoleh monitor lain. Ukurannya seluas dinding. Separuh bagiannya menampilkan aktivitas tiga orang berjas putih panjang. Di depan ketiganya, ada dua ranjang dengan dua pemuda berbaring. Mata keduanya terpejam. Di kiri dan kanan kepala mereka ada dua benda lengkung memendarkan cahaya biru. "Rembesan pada tubuh Rozes sudah tidak terlihat."

"Apa? Rembesannya hilang?" Punggung Vika menegak. Nyaris ia melompat dari kursi di sebelah Idris. Ia satu-satunya wanita di antara empat orang yang memantau monitor besar. Tubuh mungilnya dibalut jas putih panjang sama seperti orang-orang di monitor itu.

"Iya, gerakan halus di jemari tangan dan kelopak mata sudah tidak tampak." Ketika jawaban itu terdengar, sang wanita di monitor membungkuk ke salah satu ranjang. Lalu, tangan kanan pemuda yang berbaring ia angkat sedikit. "Bahkan, saat aku sentuh seperti ini, tidak ada reaksi apa-apa."

"Tapi, otonomnya masih ada, kan?" tanya Vika lekas. Wajahnya tegang.

"Sayangnya, masih. Rozes masih bernapas. Jantungnya juga masih berdetak. Lagi pula, by design, hubus takkan mampu memblokir sistem saraf otonom."

Vika menghela. Ia kembali duduk. "Syukurlah. Bagaimana dengan Dawuh?"

Wanita yang membungkuk itu berputar ke ranjang lain. Beda dengan pemuda sebelumnya dengan rambut yang subur, yang satu ini kepalanya licin. "Rembesan motorik Dawuh masih ada. Jika tangannya aku sentuh, kemungkinan besar, ia akan membuka mata. Apa harus aku sentuh?"

"Jangan!" cegah Bayu cepat.

Idris kemudian membacakan informasi pada layar, "Suhu prosesor hubus yang dipakai Dawuh terpantau stabil, Pak Bay. Meskipun begitu, tingkat suhunya masih lebih tinggi dibanding hasil simulasi MAYA."

Tiba-tiba, suara wanita lain menyela dari speaker di langit-langit, "Maaf jika hasil simulasiku tidak akurat. Semoga lain kali, kalkulasiku lebih presisi." Saat suara itu terdengar, garis-garis di pojok kanan bawah monitor ikut bergelombang.

Vika menepuk pinggang Idris dengan papan klip. Idris cepat-cepat menyahut, "Tidak, MAYA! Itu bukan salahmu. Perbedaan hasil antara simulasi komputer dengan uji coba praktis adalah hal yang wajar."

"Oh, begitu? Syukurlah!" tanggap suara wanita itu lagi. MAYA. Sebuah program kecerdasan buatan. Hasil kreasi Unit Pengembangan Hubus yang tidak di-acc dewan direksi.

Vika turun dari kursi sembari berkomentar, "Untung MAYA nggak ngambek."

Jika program komputer itu benar-benar merajuk, separuh fasilitas milik Unit Pengembangan Hubus bakal sulit diakses. Lebih tepatnya, kehilangan fungsi otomatis dan harus dikendalikan manual. Seperti mengunci pintu, menyalakan lampu, hingga melawan balik para peretas yang ingin mengintip atau merusak hasil kerja mereka.

"MAYA, kan, memang nggak bisa ngambek," sahut Idris. MAYA tidak diprogram untuk memiliki emosi.

***

"Pak Bay!" Vika mendekat. "Kita sudah dapat banyak data. Beberapa di luar prediksi. Kita sudahi uji coba ini atau terus lanjut?" Ia membolak-balik catatan di papan klip. Meski ada tablet, ia masih lebih nyaman corat-coret di atas kertas. Kalau ada apa-apa, papan klipnya bisa ia lempar tanpa banyak pikir.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang