01 - mulai

104 0 0
                                    

Empat minggu yang lalu. Malam Anugerah Gim Indonesia. Jakarta Convention Center.

"Anda memiliki perusahaan yang memproduksi hubus. Anda juga memiliki perusahaan penyedia server eXP. Apakah ke depannya Anda juga akan mendirikan game developer? Rekan-rekan Anda yang turut hadir malam ini sudah mulai lebih dulu terjun di bisnis ini."

Mahrus Sediaman tertawa. Memasuki karpet merah tamu undangan, ia dicegat seorang wanita yang ternyata reporter stasiun TV ekonomi dan bisnis. Lelaki berjenggot putih sedikit tambun itu kemudian menjawab, "Kalau soal kemungkinan, selalu ada kemungkinan. Saya pertama kali berbisnis dengan mendirikan marketplace online. Siapa sangka, sekarang saya juga punya restoran dan kedua perusahaan itu."

"Dan puluhan perusahaan lainnya."

Mahrus Sediaman kembali tertawa.

"Jadi, apakah Anda akan mengikuti jejak rekan-rekan bisnis Anda? Merintis game developer."

"Ya, nanti. Kalau ada kesempatan."

"Game apa yang akan Anda buat?"

"Saya suka petualangan. Jadi, kalau ingin membuat game, mungkin game petualangan."

"Seperti Storm Kingdom atau Generation Forces?"

"Travellillo. Saya suka konsep Travellillo."

"Bukankah Travellillo itu game jalan-jalan? Travellillo bukan game petualangan."

Mahrus Sediaman, untuk kesekian kali, tertawa.

***

Dua minggu kemudian. SMA Swasta Duta Pontianak. Kelas 10-3. Jam istirahat pertama.

"Mid, aku suntuk...!"

Hamid menoleh. Dina melabuhkan dagu di meja. Kedua lengannya berselonjor lurus ke depan.

"Suntuk kenapa?" Hamid menarik beberapa buku dari dalam tas. Jam istirahat sebentar lagi usai.

"Belajar melulu. Aku bosan...!" Lalu, Dina meniup-niup poni. Rambutnya yang sebahu dibiarkan selalu tergerai. Kadang-kadang, meluruh sampai menutupi separuh wajah.

Hamid menggeleng-geleng. "Kita ini, kan, pelajar," ucapnya mengingatkan. "Pekerjaan pelajar, ya, belajar. Sebagai pelajar teladan, ya, harus belajar."

"Ah, bising!" Dina menutup telinga. "Aku mau liburan!"

Hamid batal meletakkan buku terakhir di atas meja. Ia pakai punggung buku itu untuk menggetok ubun-ubun Dina. Serta-merta, gadis itu menoleh dengan mata membelalak.

"Setiap minggu kita sudah libur dua hari, Din. Hari Sabtu dan hari Minggu. Baru juga kemarin hari Minggu. Nggak cukup?"

"Bukan liburan yang begitu yang aku maksud!" Dina coba menyita buku dari tangan Hamid. Hamid sigap menepis-nepis. Karena usahanya tak berhasil, Dina mendengkus jengkel. Bibirnya maju beberapa senti. Ia lalu meletakkan tas yang sedari tadi di pangkuannya ke atas meja. "Ih, nggak pengertian!"

"Kamu emangnya mau liburan yang bagaimana?" Ujung mata Hamid membidik bibir Dina. Bibir itu membulat-bulat merapal omelan yang tak terdengar. Kata teman-teman sekelas, bibir Dina termasuk bibir primadona. Bentuknya imut-imut jabang bayi. Tambah manis bak mangga manalagi dengan polesan bibir merah jambu. Nyaris Hamid tersedak ketika ingat perumpamaan-perumpamaan itu.

Dina menoleh cepat. Suaranya tiba-tiba meninggi, "Piknik, Mid! Piknik! Jalan-jalan! Keliling dunia!"

Hamid kaget. Bibir yang tadi ingin ia tertawai, kini memarahinya.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang