16 - eye

33 0 0
                                    

"Segeeeeer!"

Hamid bergidik menyaksikan Dina merem-melek usai menyeruput habis teh kemasan kotak.

"Habis minum susu, sekarang kamu minum teh. Perutmu nggak kenapa-napa?"

"Nggak," jawab Dina enteng. Ia letakkan kemasan teh itu berdampingan dengan kemasan susu yang juga sudah kosong di atas kursi.

"Nggak kembung perutmu?"

Dina bersendawa. Segera ia menutup mulut. "Aduh, aku bakal sering ke toilet ini."

"Sudah aku bilang jangan minum banyak-banyak. Mana minum susu sama teh lagi. Seharusnya, minum air mineral saja."

"Aku ada bawa bekal air putih. Tenang, tenang." Dina mengacungkan jempol.

"Bukannya udah habis?"

"Eh? Aduh...!" Dina meratap. Baru ingat bekal airnya ia habiskan setiba di sekolah. Gara-gara engap kejar-kejaran dengan Hamid.

"Ya, udah. Nih! Aku nanti beli lagi." Hamid menyodorkan air mineral kemasan 500 ml miliknya. Segelnya belum dibuka.

"Wah, makasih!" Dina menerimanya dengan semarak. "Baik banget kamu, Mid. Pasti ada maunya."

Hamid geleng-geleng.

"Bentar lagi jam masuk. Kita balik ke kelas."

"Eh, tunggu!" Dina mencegah. "Masih sepuluh menit. Kita di sini aja dulu. Dari sini, toiletnya lebih dekat. Nanti, kita singgah dulu ke toilet waktu balik ke kelas."

"Ngapain aku ke toilet bareng kamu, Din?"

"Eh, iya, ya?" Dina tercenung. "Ah, pokoknya temani dulu aku di sini!"

Hamid menatap wajah Dina lebih lama dari biasanya. Dina sadar dan segera menegur. "Kenapa lihat-lihat begitu? Aku jadi risih!"

"Kamu nggak ada nyium bau-bau hangus gitu, Din? Otakmu kayaknya konslet gara-gara tadi."

Dina mengangkat kedua tangan. Membuat gerakan mengipas di ujung kepala. "Aman, aman," ujarnya.

Keduanya kemudian hanya duduk diam. Menatap hamparan beraneka bunga di depan mereka. Taman sekolah saat itu lengang, meski juga ada sejumlah siswa lain yang turut bersantai. Beberapa pohon besar menjulang membuat suasana bertambah rindang. Pada jam istirahat seperti ini, para siswa lebih banyak menghabiskan waktu di kantin, lapangan maupun gedung olahraga, atau perpustakaan.

"Gabut, ya?" komentar Dina.

"Iya," sahut Hamid. "Tapi, aku suka. Jarang-jarang bisa tenang begini." Padahal jam istirahat, siswa di sekolah ini hampir seribuan, tetapi yang terlihat sepersepuluhnya saja tidak. Ingar bingar hanya terdengar sayup-sayup, seolah taman dikelilingi tembok kedap suara.

Dina membuka tutup botol air mineral. "Ini momen yang akan kita rindukan. Mungkin lima, sepuluh, atau dua puluh tahun lagi." Ia meminum isinya tiga teguk, sedangkan Hamid menatapnya dengan sorot mata kagum yang pelan-pelan berubah lirih.

Tak perlu menunggu dua puluh tahun lagi. Perasaan penuh nostalgia itu tiba-tiba menyeruak di rongga dada Hamid. Seakan-akan, ia bisa melihat bagaimana nanti ia akan sangat merindukan masa-masa seperti sekarang.

Dina menurunkan botol air mineral, mengembalikan tutupnya, dan terpaksa menegur lagi temannya itu, "Kamu dari tadi suka banget lihat-lihat aku begitu. Nggak puas hampir tiap hari kita ketemu? Dari SD, loh. Sampai segede gini."

Hamid tertawa. "Ya, seperti yang kamu bilang. Kita mungkin bakal rindu sama momen yang kayak begini. Jadi, aku mau lihat kamu lebih lama dari biasanya."

"Dih, pacarku aja nggak kayak gitu! Dinginin kepalamu, nih. Jangan-jangan, otakmu yang gosong!" Dina menempelkan botol air mineral tepat di pipi kiri Hamid.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang