06 - fragma

36 0 0
                                    

Hamid menggeliat di sofa ruang tengah. Mulutnya menguap. Saat sedang lebar-lebarnya, matanya bertatapan dengan Dina yang memandang dari kejauhan. Gurat muka gadis itu seolah melihat benda yang menjijikkan.

Hamid segera menutup mulut. Ia lalu memutar tubuhnya hingga nyaris telungkup. Punggungnya yang semula rebah di atas sofa, kini menghadap ke arah Dina. Hamid kembali tidur.

"Eh, bangun!" Dina mendorong pantat Hamid dengan tumitnya.

"Aku ngantuk...!" balas Hamid dengan wajah masih menelungkup.

"Pasti kebanyakan main game! Kamu begadang, ya, semalam? Ayo, bangun!" Sekali lagi, pantat Hamid ia dorong dengan tumit.

Hamid akhirnya duduk di sofa. Sembari mengucek-ngucek mata, ia membalas, "Aku ini anak baik. Mana pernah begadang kalau bukan hari libur. Aku cuma mau tidur siang."

"Alesan, ih!" Dina kemudian melempar lipatan kain berwarna biru di pangkuan Hamid. "Cepat cuci muka dan ganti baju! Seragammu bau keringat!"

Hamid tercenung sejenak.

"Ini apa?"

"Bajuku."

Hamid lekas menoleh Dina. "Aku pakai baju kamu?" Matanya lebar menatap Dina dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dina memakai kaos lengan pendek merah muda. Selaras dengan celana pendek di bawah lutut.

"Itu yang bisa untuk cowok! Unisex!"

Hamid mendesah lega, "Syukurlah...!"

"Cepat ganti sana!"

"Iya...!"

Hamid ikut saja apa kata Dina. Ia beranjak dari sofa, kemudian berjalan menuju kamar mandi dengan langkah diseret-seret. Melewati dapur, ibu Dina menegur. Tadi karena melihat Hamid tidur dengan nyenyak, ia urung membangunkannya.

"Dina sudah makan. Hamid kalau belum makan, bisa ambil sendiri seperti biasa di lemari."

Wajah Hamid berbinar-binar. Sudah lama ia tak makan masakan calon ibu mertuanya.

Tetapi, Dina tiba-tiba menyahut, "Hamid tak perlu diberi makan!"

Mendengar itu, Hamid langsung berbalik dan mencekik leher Dina.

***

Hamid dan Dina bukan saudara. Mereka teman sejak SD. Hari ini, Hamid ikut pulang ke rumah Dina karena terlanjur janji akan mengajarinya menggunakan hubus. Saat di rumah sepupunya, Dina memang sempat diajari. Akan tetapi, ia sudah lupa. Toh, ia bermain hanya beberapa kali. Itu pun di hari-hari terakhir sebelum pulang. Kejadiannya sudah sebulanan lewat. Ditambah lagi, bentuk hubus milik sepupu Dina berbeda dengan yang ia beli bersama Hamid. Milik sepupunya berbentuk kacamata VR, sedangkan milik Dina berbentuk bando.

Setelah ganti baju dan makan, Hamid dan Dina berpindah ke teras belakang rumah. Dina sudah menyiapkan laptop. Hubus yang ia beli juga sudah keluar dari kotaknya. Bahkan, sudah ia pasang di kepala. Wajah Dina berseri-seri seolah uang jajannya naik dua kali lipat.

"Akhirnya, aku bisa beli barang semahal ini," puji Dina pada dirinya sendiri.

"Tapi lebih dari setengahnya pakai duitku," sela Hamid. Ia menyalakan laptop Dina.

Dina manyun. "Sesekali sedekah buat teman sendiri, Mid."

"Aku maunya menafkahimu."

"Cari kerja dulu sana!"

"Aku sudah kerja. Kamu pikir dari mana uangku untuk nombokin beli hubus?"

"Baru juga kerja sambilan." Dina tahu Hamid kadang-kadang membantu bibinya berjualan tanaman hias. Kadang-kadang juga, jadi buruh di kebun salah satu teman mereka di sekolah sewaktu panen raya. "Cari yang stabil dulu, baru aku pertimbangkan."

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang