28 - pasrah

11 0 0
                                    

"Abang."

Senyap.

"Abang...!"

Rozes menggeliat.

"Ayo, bangun. Kalau tidak bangun, Yuli siram air panas."

Kelopak mata Rozes melebar. Terpampang wajah seorang gadis disinari lampu kamera ponsel menyeringai tepat di depan muka. Rozes kaget. Tangannya refleks menggebuk wajah itu dengan bantal.

"Aduh!" Gadis itu berontak. Bantal ia rebut. Hendak dilempar balik, tetapi Rozes sudah menghilang dari tempat tidur. Sekelebat bayangan sempat ia lihat berlari di lorong luar kamar. Rozes kabur ke kamar mandi.

Yuli, adik perempuan Rozes, memajukan bibir. Ia lalu berdiri bertelekan pinggang. Di waktu yang sama, cahaya dari ponsel di meja sudut kamar yang temaram mengalihkan perhatiannya. Ia nyalakan lampu kamar, kemudian menghampiri meja tersebut. Si empunya kamar akhirnya kembali saat ia khidmat mengutak-atik ponsel yang ditemukan.

"Ini jam berapa?" Rozes melingkarkan handuk di pundak usai mengelap wajah.

"Hm...." Adiknya yang masih berbalut piama itu melirik ponsel. "Jam tiga."

Rozes mendekati dinding, lalu mematikan lampu kamar.

"Eh? Kok, mati?" Adiknya kalut. Kepalanya mendongak tolah-toleh. Mencari-cari siapa tahu bola lampu di kamar abangnya tidak padam, melainkan pergi melarikan diri.

"Aku bilang bangunkan jam empat. Enyah kau! Aku mau tidur!" Rozes menghampiri kasur. "Jangan lupa tutup pintu."

Lampu kamar malah kembali menyala. Rozes tak jadi merebah, padahal punggungnya sudah membungkuk dan tubuhnya siap sedia melandas di kasur. Segera ia pun berputar. Adiknya menyambut sembari bertelekan pinggang di dekat sakelar lampu.

"Bangun lebih pagi, Bang. Biar lebih segar, biar lebih cepat berangkat!"

Rozes menghela. "Mau sepagi apa pun bangunnya, pesawatnya tetap terbang jam delapan."

"Tapi, Yuli ada kuliah pagi. Biar Yuli bisa antar Abang lebih cepat! Oke, oke?"

Rozes mengerutkan dahi. Dilihatnya betul-betul wajah gadis berambut sepundak itu. Meski ini masih di pagi buta dan ia sedikit mengantuk, Rozes yakin matanya tak salah lihat. Adiknya menyeringai. Matanya berbinar. Segurat senyum juga menggores di bibir. Seolah-olah, amat sangat antusias.

Rozes akhirnya berkata "Aku yang berangkat, kok, kamu yang semangat?"

"Ah, masak?" Adiknya mengangkat ponsel yang ditemukan di meja. "Ini pacar Abang lebih semangat. Sudah seratus kali menelepon dari jam dua pagi."

"Pacar gundulmu!" Rozes melemparkan handuk. Jelas ia jengkel karena difitnah sudah punya pacar.

Yuli meliuk. Handuk mengenai dinding lalu jatuh ke lantai. Dengan ujung kakinya, ia kemudian menyepak handuk tersebut hingga bergeser agak ke depan pintu.

"Eh, kurang ajar!" Rozes bangkit memungut kembali handuknya.

Adiknya seakan tak peduli. "Siapa ini namanya pacar Abang?" Ia gulir-gulir layar ponsel.

"Sudah dibilang tak punya. Kan, sudah putus gara-gara ulahmu!"

"Ah, bohong! 'Malik Sayang' ini siapa?" Yuli menunjukkan layar ponsel. Terpampang sebuah kontak tanpa foto. Tertera nama "Malik Sayang" dengan berderet panggilan tak terjawab di bawahnya.

Rozes mendelik. Tak pernah rasanya ia menyimpan kontak dengan nama sevulgar itu. Bahkan, kontak pacarnya dulu, yang kini sudah menjadi mantan, ia simpan dengan nama lengkap, bukan nama sapaan.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang