25 - kontrak

11 0 0
                                    

"Dina, kok, kirim foto-foto itu, sih?" Jingga merebut ponsel dari tangan Dina. Dina menjelirkan lidah, lalu tertawa terbahak-bahak. "Jahad!"

"Aku cuma mau kalian balikan." Dina masih terpingkal-pingkal.

Jingga cemberut. "Aku tak mau balikan. Hamid playboy! Ogah punya cowok macam dia."

Dina manyun. "Bantu aku, please. Kalian jadian lagi, ya? Biar Hamid lupa sama aku. Ya? Ya?" Alis Dina turun naik.

Jingga tiba-tiba diam. Jempolnya berhenti menggulir layar.

"Kenapa diam? Lanjut nulis PR, gih!" tegur Dina.

Jingga menoleh. Ia menyahut lirih, "Aku galau...!"

Dina serta-merta bengong. "Eh?"

"Hamid nembak aku lagi! Nggak sudi!" Jingga melempar ponselnya ke arah Dina, lalu menelungkup di meja. Beruntung, Dina cekatan menangkap ponsel itu. Lekas-lekas ia membuka pesan.

"I love you," begitu tertulis pesan yang baru saja masuk. Pengirimnya jelas-jelas Hamid. Posisinya pas sekali di bawah foto-foto Jingga yang Dina kirim tanpa izin.

Dina mengernyit. Matanya memincing. Kepalanya sampai dimiring-miringkan kiri dan ke kanan berkali-kali. "Cepet amat," komentarnya pula. "Baru dikirim foto begituan, udah langsung klepek-klepek."

"Bukan foto 'begituan'!" protes Jingga. Ia rebut ponselnya. "Bener, kan, Hamid playboy! Dina, kok, bisa-bisanya temenan sama cowok kayak begitu?"

Dina tampak kebingungan. "Hamid nggak playboy, kok. Dari SMP sampai sekarang, dia sukanya cuma sama aku."

Siswa yang tadi pagi menyembur layar ponselnya dengan liur, kali ini membasahi mejanya dengan teh yang baru saja ia seruput. Dina tertawa-tawa.

"Ini buktinya! Dia tiba-tiba nembak aku lagi!" Jingga menunjukkan layar ponsel.

"Ya, selamat!" Dina menepukkan tangan. "Itu artinya, dia masih ada rasa sama kamu. Terima, gih!"

"Ogaaah!" Jingga lagi-lagi menelungkupkan wajah.

"Ya, sudah. Aku bantu balas." Dina tarik ponsel dari tangan Jingga, memasukkan enam angka terakhir nomor ponsel Hamid sebagai PIN, lalu mulai mengetik pesan, "I love you too."

Dikirim.

"Aaa! Dina jahaaaaad!" Jingga histeris. Ia tarik kembali ponsel yang sempat berpindah tangan. Tubuhnya seketika beku ketika melihat pesan yang dikirim Dina telah bercentang biru.

"Telat, Mbak." Dina mengambil pulpen. "Hamid sudah baca." Ia selipkan pulpen tersebut di antara jemari Jingga. "Ayo, lanjut nulis PR!"

"Gimana aku bisa nulis kalau keadaannya kayak beginiiiii?" Jingga merasa gumpalan daging di tempurung kepalanya sudah tidak berfungsi.

Dan, bel tanda masuk pun bergema. Jingga lagi-lagi menelungkup.

"Habis sudah. Tamat sudah. Masa depanku hancur. Kenangan SMA-ku gelap."

Dina geleng-geleng. Setelah itu, ia celingukan. Kursi di samping Wayan masih kosong.

"Ng..., Hamid mana, ya? Kok, belum balik-balik?"

"Udah mati!" jawab Jingga asal. Ubun-ubunnya langsung digetok Dina.

***

Malika pelan-pelan menutup pintu kamar. Vika sudah tidur. Jadi, ia tidak ingin membangunkan gadis itu yang sepertinya sudah terlihat sangat letih. Dua koper besar berisi pakaian dan segala pernak-perniknya di-packing seorang diri oleh putri bungsu pengusaha yang terjun ke dunia politik tersebut.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang