09 - destinasi

24 0 0
                                    

Setelah berhasil masuk gedung, Malika kembali ke kantor Unit Pengembangan Hubus. Kantor sudah sepi, Bayu dan yang lain sudah pulang. Meski Bayu berkata tidak ada lagi lembur, Malika tetap melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian, jam tangannya bergetar.

Pesan masuk dari Vika. Malas membukanya di ponsel, pesan itu ia buka di komputer.

"Ngapain masih di kantor? Pulang sana!" begitu isinya. Lengkap dengan emoticon marah.

Malika mendesah. Pesan ia tutup. Begitu pula semua aplikasi yang memuat pekerjaannya.

"MAYA, aku pulang." Malika beranjak dari depan komputer.

"Hati-hati di jalan," sahut suara datar dari langit-langit. Komputer dan lampu satu per satu padam.

Tak seperti rekan-rekan kerjanya, Malika tak meninggalkan gedung untuk pulang. Ia memutar ke sisi lain gedung setelah keluar dari fasilitas unit. Dengan menyusuri sebuah koridor panjang yang sepi, ia tiba di deretan kamar-kamar gudang. Langkahnya berlanjut hingga di depan pintu salah satu yang paling ujung.

Kartu identitas ditempelkan pada gagang pintu. Kunci terbuka. Begitu daun pintu bergeser, Malika mendapati seseorang sudah ada di dalam. Duduk di sofa, menonton TV, ditemani secangkir teh dan setoples biskuit. Meski berada di kompleks pergudangan dalam gedung, ruangan yang satu ini sudah seperti apartemen satu kamar seharga hampir 1 miliar. Lengkap dengan berbagai perabotnya.

"Eh, Mayika. Seyamat atang...!" ucap Elwa. Mulutnya masih mengunyah biskuit. Sadar ucapannya jadi ngawur, segera ia lumat dan telan habis. "Aku sudah masak. Mandi dulu baru makan, ya."

"Aku tidur dulu. Makannya besok saja." Malika melewati Elwa. Tujuannya lurus menuju kamar.

"Eh, nggak boleh begitu! Mandi dan makan dulu!" Leher Elwa berputar mengikuti arah hilangnya Malika. Akan tetapi, tak ada sahutan. Lekas ia meninggalkan sofa untuk menyusul ke kamar.

Malika sudah berbaring dengan kedua kaki menjuntai di bibir kasur. Matanya yang sudah tanpa kacamata menerawangi langit-langit. Kedua tangan bersedekap di atas perut. Lalu, ia menghela.

"Aku tak bisa tidur," ujarnya datar.

"Bagaimana bisa tidur, kau sudah empat hari belum mandi!"

Malika menaikkan lengan sebelah kanan. "Masih wangi."

"Tapi dakimu menumpuk!" Elwa mengambil handuk yang menggantung di dekat pintu. "Buka bajumu!"

Malika malah menyilangkan tangan di dada. "Kenapa Kak Elwa harus menginap malam ini? Aku masih ingin sendiri."

Ruangan ini dan segala isinya adalah properti yang dikhususkan untuk Malika. Namun, karena diskresi dari Bayu, beberapa orang memiliki akses untuk masuk, salah satunya adalah Elwa. Salah duanya? Tentu saja Vika.

Elwa bertelekan pinggang. "Pak Bay yang minta."

"Aku benci Pak Bay."

"Vika juga minta aku untuk menemanimu. Kalau tak ada urusan keluarga mendesak, ia mungkin akan menginap di sini." Tak usah ditanya. Pasti Vika dapat informasi dari Elwa bahwa ia belum pulang.

"Aku dengar, Kak Elwa punya pacar. Kasihan pacarnya ditinggal sendiri malam ini."

"Pacar yang mana? Sesama jomblo dilarang mengejek!"

Malika lagi-lagi mendesah.

Elwa akhirnya hilang kesabaran.

"Ini gara-gara sering lembur!" ujarnya kemudian menangkap kaki Malika. "Ayo, cepetan mandi!"

Dan, dilucutinya piama gadis itu tanpa belas kasih.

***

Julia masih di kursinya hingga pesawat mendarat di Tokyo. Keluar dari bandara, ia sempat berpamitan dengan Dina. Namun belum jauh mereka berpisah, ia menawarkan diri untuk menemani Dina jalan-jalan. Ia tergoda menemani gadis itu setelah melihatnya berdiri bengong di pinggir jalan.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang