21 - kaget

30 0 0
                                    

Di kelas sepuluh, ada satu siswi dengan postur lebih tinggi dibanding siswa-siswi kelas sepuluh yang lain. Rata-rata teman-temannya hanya setinggi dada atau pundak. Andai ia tak sedang memakai seragam SMA, orang-orang mungkin menganggapnya sudah berkuliah atau siswa di Sepolwan. Panitia PPDB saja sempat kecele mengira dirinya sebagai wali murid saat prosesi pendaftaran.

Selain berbadan tinggi, ia juga memiliki tubuh yang atletis. Oleh karena itu, ia direkrut oleh tim putri Ekstrakurikuler Basket. Bahkan di dalam tim itu, tak ada seorang pun yang mengalahkan tinggi badannya yang menjulang. Siswi itu bernama Ester Dwiyanti.

Karena jam istirahat masih lama, Ester dan beberapa temannya sepakat menyambangi gedung olahraga indoor di belakang sekolah. Mereka melewati taman di mana Hamid dan Dina saat itu sedang pendalaman materi terkait teknologi ede.

Sayangnya, gedung yang mereka incar tengah dipakai oleh tim bulu tangkis. Mereka tengah berlatih karena akan mengikuti sebuah kejuaraan. Sekolah mereka sebenarnya juga punya lapangan outdoor. Lebih luas malah. Namun, saat ini masih ditutup karena renovasi.

Meski sempat ditegur karena masih memakai seragam, Ester dan teman-temannya tetap meminjam bola basket dan bermain di luar gedung. Mereka bermain lempar tangkap bola.

Hingga kemudian, lemparan Ester agak sedikit tinggi. Temannya tak berhasil menangkap. Bola melesat ke belakang, lalu mengenai kepala seorang murid perempuan yang baru saja keluar dari gedung olahraga.

Siswi itu terhuyung. Kacamatanya jatuh. Usai meringis singkat, ia kemudian kalut meraba-raba halaman gedung olahraga.

"Maaf, maaf. Aku nggak sengaja!" Ester menghambur ke arahnya. Ia ikut menjongkok. "Kamu nggak apa-apa?"

Siswi yang terkena bola menggeleng-geleng. Ia masih meraba.

Perilakunya itu jelas membuat Ester bingung. "Kamu cari apa?"

"Kacamataku. Lihat kacamataku?"

Ester ikut menyapu pandangannya di halaman gedung. Akan tetapi, justru temannya yang lebih dulu menemukan. Kacamata itu segera kembali ke si pemilik, Karin.

"Terima kasih," ucap Karin usai mengenakan kacamata dan berdiri. Nyaris ia menyundul Ester.

"Aku minta maaf. Kamu nggak apa-apa? Jidatmu merah."

Karin merasai keningnya. "Nggak sakit. Nggak apa-apa." Lalu, ia buru-buru menutup jidatnya dengan rambut.

"Kamu yakin? Aku bawa ke UKS, ya?"

Karin menggeleng-geleng. Tersenyum. "Beneran nggak apa-apa, kok."

Ester masih merasa tak enak. "Aku beneran minta maaf."

"Nggak apa-apa, aku tadi juga nggak lihat-lihat, kok. Aku pergi dulu, ya? Permisi."

Karin kemudian berjalan lurus menuju koridor yang menghubungkan gedung olahraga dengan gedung utama. Sementara Ester yang merasa bersalah, akhirnya sepakat dengan teman-temannya untuk berhenti bermain. Bola basket segera dikembalikan.

Keluar dari gedung olahraga, teman-temannya segera menyambut. Seperginya Ester tadi, siswi yang terkena bola terlihat berjalan sempoyongan, lalu malah berbelok ke taman. Seorang di antara mereka khawatir dan bergegas menyusul.

"Dia cuma senyum, sih. Katanya, lagi banyak pikiran. Jadi, katanya dia pengen ngadem di taman dulu," papar seorang temannya yang sempat menyusul Karin.

Pada akhirnya, mereka bersepakat lagi untuk kembali saja ke kelas. Dalam perjalanan melintasi taman, mereka melihat Karin sudah bersama Dina duduk di kursi. Tak berkacamata. Hamid juga ada di situ, mengulurkan tangan bagai menyodorkan sesuatu. Dari jauh, ketiganya tampak mengobrol seperti teman akrab.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang