24 - ikut

9 0 0
                                    

"Iya, memang aku yang bikin Karin sakit. Tapi, aku ke sini bukan mau bikin kamu sakit juga!" Ester akhirnya paham maksud ucapan Hamid. "Aku mau minta maaf!"

Hamid mengernyit. "Minta maaf?" Ada salah apakah Ester pada dirinya sehingga harus minta maaf?

Ester kembali menunduk. Ia berucap pelan, "Soal Karin. Aku minta maaf karena sudah bikin dia sakit."

Pelan-pelan, rasa takut itu menghilang. Berganti bingung.

"Kenapa minta maaf padaku?" Hamid tak paham. Ia merasa sama sekali tidak punya hubungan dengan insiden antara Karin dan siswi yang berdiri menjulang di hadapannya. Bertemu Karin saja hanya beberapa menit. Dan itu pun baru satu kali. Kemarin. Setelahnya, mereka tidak pernah berjumpa lagi.

Ester mengangkat wajah. "Soalnya..., soalnya...." Matanya berkaca-kaca. "Soalnya, Karin sakit. Dia sampai tidak sekolah. Bagaimana aku bisa minta maaf sama dia?"

Ester tiba-tiba menangis. Air matanya tumpah. Hamid panik. Sudah lama ia tak pernah lagi berhadapan dengan seorang perempuan yang menangis. Terakhir kali sudah bertahun-tahun lalu. Itu pun adiknya sendiri.

Eh, pernah. Kemarin. Karin menangis di depannya.

Tapi, itu beda. Ada Dina di sana yang menenangkan Karin. Sedangkan sekarang? Siapa yang akan menenangkan Ester? Mana mungkin Hamid sendiri. Ditambah lagi, orangnya tinggi begitu. Bentukannya sudah seperti orang dewasa. Bagaimana caranya menenangkan tangis wanita dewasa? Bujukan Hamid nantinya malah membal. Tidak ada yang mempan.

"Ke..., kenapa nangis?" ucap Hamid akhirnya dengan gelagapan. Ia mulai khawatir akan ada yang melihat. Bisa-bisa, ia dituduh yang bukan-bukan.

Ester menutup wajahnya yang basah, lalu rubuh menjongkok. "Aku minta maaf, aku minta maaf! Aku sungguh-sungguh menyesal sudah teledor. Aku janji nggak akan begitu lagi. Aku minta maaf. Kalian boleh musuhi aku, tapi jangan teman-temanku! Aku minta maaf!"

Hamid kini berdiri gamang. Semenit lalu ia merasa takut bukan main, sekarang malah merasa bersalah padahal tidak melakukan apa-apa. "Aku harus bagaimana?" benaknya galau.

Sempat terpikir untuk menghubungi Jeand, tetapi urung. Menghubungi anak itu sama saja menyelesaikan masalah dengan membuat masalah. Hamid tak mau kejadian ini jadi bahan olok-olok. Atau yang lebih parah, Ester dapat berakhir jadi pacar kesekian dari bocah playboy itu. Melihat Ester sesunggukan, walau sempat membuatnya ngeri bukan main, ia sungguh tak rela Ester jadi umpan buaya.

Bagaimana kalau Dina? Hamid mungkin akan diomeli habis-habisan, tetapi tak apa. Ikhlas dunia akhirat kalau Dina yang mengomel. Yang penting, Ester bisa tenang. Dina juga bukan perempuan berkepala batu. Masih bisa diajak bicara dan diberi penjelasan setelah semua kembali kondusif.

Ya, Dina saja.

Hamid pun membalik ponsel. Hendak kirim pesan SOS kepada Dina. Akan tetapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ponselnya tewas. Alih-alih hanya memadamkan layar saat kalut salah kirim pesan, Hamid justru mematikan ponselnya. Sekarang, ia harus menunggu alat komunikasi itu selesai booting sekitar satu menitan sebelum siap dipakai.

Sementara, di depannya kini, belum ada tanda-tanda Ester akan berhenti menangis.

"Apa aku harus ganti rugi?" Ester mendongak. Matanya kian sembab. "Aku harus bayar berapa? Karin pasti perlu obat. Karin pasti pergi ke dokter." Lalu, ia menunduk lagi. Menangis lagi. "Jangan-jangan, Karin masuk rumah sakit."

"Alamak!" Hamid sangat ingin menjambak rambutnya sendiri, tetapi tak ada guna. Ia harus secepatnya mendiamkan Ester. Ini darurat. Kalau tidak, nanti bisa meracau ke mana-mana. Akan tambah sulit untuk dibujuk.

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang