18 - experience

29 0 0
                                    

"Jangan tanya-tanya lagi aku serius atau tidak!" Julia mengomel sembari memutar-mutar cangkir. "Ikuti saja kata-kataku. Semua akan beres."

"Tapi, Julia. Produser sekaligus kepala departemen? Itu posisi strategis. Perlu orang yang berpengalaman dan profesional di bidangnya."

"Aku tahu."

"Lalu, kenapa? Kupikir kau hanya akan menjadikanku koordinator tim atau sejenisnya. Pengalamanku cuma di situ."

"Bukannya kau dan timmu pernah mengembangan testing game?" Julia mengungkit-ungkit proyek yang menjadi bagian pengembangan G4 tersebut.

"Mengembangkan game untuk keperluan internal dengan mengembangkan game untuk dijual itu jelas berbeda."

"Ah, sama saja!" Julia menyangkal.

"Eh? Tapi...!" Bayu bingung memilih kata-kata. Ia yakin Julia paham akan perbedaan itu, tetapi sepertinya lebih memilih tak mau ambil pusing. Jadi, Bayu bimbang melanjutkan ucapannya. Takut berakhir adu jotos.

Julia sendiri lanjut berucap, "Sudah kubilang, kan? Kau akan naik jabatan. Kau tak bisa menolak!"

"Lalu, nasib timku di sini? G4 bagaimana?"

"Tentu saja akan ada yang menggantikanmu. G4 akan terus dikembangkan. Hanya saja, proyek game ini prioritasnya lebih tinggi. Harus cepat selesai."

"Kapan tenggat waktunya?" Meski tak terang-terangan, Bayu menyerah. Ia sudah tak mau adu mulut. Ia beralih mode dari menentang menjadi mengumpulkan informasi.

Julia memegangi kepala. "Aku masih negosiasi dengan Tuan Mahrus." Ia lalu mendorong cangkirnya yang kerontang. "Isi lagi cangkirku!"

Bayu menyorot cangkir yang disodor.

"Kau sudah minum banyak," tegurnya pula. Seingatnya, ia sudah tiga kali menuang teh untuk wanita di depannya itu. Ia mulai khawatir bahwa Julia sebenarnya lebih memerlukan air putih ketimbang minum teh.

"Tidak bisakah kau ikuti saja semua kata-kataku hari ini?"

Bayu menangkap rasa putus asa dari kalimat yang terlontar. Ia akhirnya menjemput cangkir milik Julia dan membawanya ke pojok ruangan. Saat ia mulai menuang teh dari teko listrik, Julia mulai bercerita. Terdengar lirih dan letih.

"Semua kekhawatiranku terbukti, Bay. Rival bisnis Tuan Mahrus sudah bergerak, bahkan sebelum aku tahu soal wawancara itu." Jika bukan karena informasi dari Bianca, Julia takkan tahu. Ia tengah berjibaku dengan masalah perusahaan cabang di Balikpapan. Kabar dari Bianca membuatnya segera terbang ke Jakarta.

"Profesional?" lanjut Julia. "Aku dan timku sudah jungkir balik untuk bisa dapat orang-orang yang kompeten. Tapi, tidak membuahkan hasil. Produser, sutradara, programmer, concept artist, hingga writer, semua orang profesional di bidangnya sudah dikontrak oleh perusahaan lain."

Bayu meletakkan cangkir yang sudah kembali penuh, mengepulkan uapnya dengan aroma teh yang khas.

"Tunggu dulu. Semua? Tidak hanya produser? Tidak hanya kepala departemen?"

Julia mengangguk pelan. Jemarinya mengulur pelan menarik cangkir. Ia mulai menyeruput teh.

"Khusus manajemen perusahaan seperti direktur, kepala departemen, hingga staf, aku berhasil mengumpulkan orang-orang dari internal Mahsed Group. Tapi, aku gagal mengumpulkan profesional untuk tim produksi. Aku terpaksa merekrut orang-orang yang tak pernah mengerjakan proyek game."

Bayu tak tega melihat gurat sendu di wajah sahabatnya. Ia kembali ke kursi seberang.

"Aku lupa bertanya. Game untuk platform apa yang akan kalian buat?"

Woles World Legend: AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang