Prolog

3K 253 14
                                    

Di pingggir Jakarta

“Lagi, Ayah… lagi....” Aku melihat seorang anak kecil berteriak dari atas ayunan.

Anak kecil itu mungkin berusia tiga atau empat tahun. Dia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegang rantai ayunan sekuat mungkin di sebuah taman. “Ini sudah terlalu tinggi, Mimo…” Tapi seorang pria yang berdiri di belakang ayunan terus mengayun, membuat ayunan semakin tinggi. “Memang Mimo nggak takut?”

“Nggak, Ayah… Mimo nggak takut. Lagi…” Anak kecil itu terus berteriak kegirangan.
Rumput hijau, matahari cerah, langit biru, dan sejumput awan menjadi latar yang indah bagi kebahagiaan itu. Gadis kecil dengan rambut ikal dikuncir dua berhias pita berwarna merah menyala. Senada dengan gaunnya. Gaun merah muda berhias bunga-bunga merah menyala. Rambutnya rapi, ikatan pita rambut dan di belakang punggungnya pun rapi. Flat shoes merah dengan kaus kaki putih berenda di atas mata kaki. Dia anak yang dirawat dengan baik. Dan kulihat, seorang wanita muda berdiri dengan wajah berbinar bahagia melihat keakraban gadis kecil dan ayahnya.
“Ibu… Ibu…” Gadis kecil berteriak memanggil wanita itu. Dan wanita yang ternyata ibunya berjalan perlahan menghampiri ayunan dengan senyum yang sangat lebar.

“Anak Ayah memang pemberani ya.” Lelaki itu—si ayah—terus mengayun sambil terkekeh. “Tapi ini sudah terlalu tinggi, Mimims Sayang…” Dia berhenti mengayun, membuat ayunan semakin melambat.

Setelah beberapa saat, akhirnya ayunan semakin melambat lalu berhenti. Walau memasang muka merengut, si anak tetap tersenyum ketika melihat wajah ayahnya. Kemudian si ayah mengangkat anak kecil itu, melemparnya satu kali ke atas membuat si anak berteriak ketakutan dan kegirangan. Sang ayah menangkap anaknya, lalu membungkusnya dalam dekapannya.
Lalu tiba-tiba aku merasa sesak. Dekapan itu menyesakkan dadaku. Mungkin dekapan itu terlalu kuat. Tapi, bukankah yang dipeluk itu adalah si anak? Aku hanya melihat si anak dipeluk ayahnya. Kenapa aku yang merasa sesak? Tapi kegelapan ini begitu mirip. Sesak dan gelap.

Aku takut.

Ketika dekapan itu hilang, tiba-tiba aku berada di tempat lain. Aku melihat si anak yang terbangun terkejut. Langsung duduk di tengah ranjang dan bersiaga. Matanya mendelik ketakutan. Teriakan-teriakan itu mengganggu tidurnya. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sumber suara dan mencari perlindungan. Aku mengerti ketakutan itu. Aku ingin menghiburnya, menenangkannya, menemaninya. Bergegas aku mendekat dan mendekapnya. Dekapan yang kuat dan melindungi seperti dekapan si ayah di taman.

Tapi ketika mendekap itulah aku merasa tubuhku luluh, melebur masuk bersatu dengan tubuh si bocah. Aku bisa merasakan ketakutan si bocah. Aku terus berusaha menghibur dan menemaninya. Tapi perlahan, aku merasa, akulah bocah itu. Aku yang tadi melebur seutuhnya menjadi dia.

Butuh beberapa saat agar aku sadar bahwa aku adalah si bocah. Dan sadar bahwa si bocah—aku—terbangun karena terusik teriakan-teriakan marah.

Aku menjadi si bocah, tentu aku merasakan apa yang dia rasakan.

Aku adalah bocah itu.
Ini kejadian pertama, sebelumnya tidak pernah. Itu membuatku sangat terkejut dan ketakutan. Aku meringkuk mengecilkan diri, begitu takut dan tak mengerti apa yang mereka ributkan. Suara itu bersahut-sahutan. Sesekali aku mengerti kalimatnya. Tapi aku tak mengerti maknanya.

“TEGANYA KAMU…” suara Ibu ditingkahi isakan. “BISA-BISANYA…”

Aku mencoba mengingat waktu. Yang kuingat hanya aku lelap setelah Ibu meninabobokan aku seperti biasa. Berarti ini sudah malam. Kenapa mereka berteriak? Bukankah Ibu selalu menyuruhku bersuara pelan takut mengganggu tetangga? Suara teriakan Ibu pasti mengganggu tetangga.

Lalu suara Ibu kembali terdengar. Dia menyebut-nyebut kata ‘jalang’ berkali-kali. Aku tak tahu arti kata itu, tapi sepertinya itu kata yang buruk dan Ibu membenci kata itu. Itu aku si bocah yang tidak mengerti. Tapi aku yang dewasa bisa mengerti semua. Aku merekam semuanya. Sebagai bocah dan sebagai manusia dewasa.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now