Bab 7, Aku dan Bahagiaku

762 139 24
                                    

MIMOOOOO...

Suara itu lagi.

Berteriak kencang memanggilku, memperingatkan aku akan bahaya yang hanya berjarak sejengkal dari diriku.

Terengah, aku bernapas kasar. Tak tahu kapan waktunya menghirup dan mengembuskan udara. Udara seperti beracun.

"Mimo,'" suara cemas Ibu bersamaan dengan suara pintu yang dibuka cepat. "Kamu kenapa, Nak?"

Ibu duduk bersimpuh di sampingku. Aku yang masih tersengal duduk di tengah ranjang dengan kaki tertekuk tak jelas bentuknya. Sprei yang basah dan berantakan, pasti akibat ulahku.

"Minum dulu." Segelas air sudah ada di depanku. Aku tak haus, aku tak mau minum. Tapi aku tak bisa menolak, akhirnya kusesap sedikit air itu. Ibu membiarkan gelas itu tetap di depan wajahku. Tak menyuruhku minum tapi tidak menjauhkan gelas itu juga. Akhirnya kembali kudekati wajahku. Aku minum perlahan dengan tegukan kecil. Setelah beberapa tegukan yang teratur, aku berhenti minum, dan Ibu menjauhkan gelas itu dari hadapanku. Ibu lalu meluruskan kakiku.

Diam.

Ibu hanya mengusap keras punggungku. Begitu keras sampai aku terdorong maju mundur seirama usapan tangannya. Ibu mengalirkan segalanya melalui usapannya. Mengalirkan kekuatan, kesetiaan, dan terutama mengalirkan cintanya.

Ibu terus mengusap-menggosok-punggungku. Sampai aku merasa usapannya melembut lalu berubah menjadi belai.

"Kamu sudah lama banget nggak mimpi buruk, Mo." Ibu duduk di hadapanku, kakinya lurus melewati tubuhku. "Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa."

"Ibu perhatiin seharian ini kamu lemas banget. Kayak nggak bergairah."

Kapan aku bergairah?

Hidupku begitu datar. Orang melihatku hanya sebagai anak yatim yang pendiam yang dipenuhi cinta ibunya. Berdua hidup sederhana dari toko kelontong yang Ibu bangun sejak kami pindah di sini sebagai mata pencaharian kami. Orang tak melihat riak di hidupku. Aku rapi menyembunyikan badaiku.

"Mo, puluhan tahun kita berdua aja. Kita baik-baik aja. Kita kuat, bahkan semakin kuat. Nggak ada yang pernah menghina kamu, menghina Ibu. Untuk apa kamu masih ingat yang dulu? Ibu aja sudah lupain dari kapan tau."

Setiap kali mimpi itu datang, Ibu akan memulai ceramah panjangnya tentang betapa kami baik-baik saja setelah dia tidak ada. Setelah itu, Ibu akan mulai isi ceramah yang berapi-api tentang kejahatan mereka. Dulu, waktu aku masih kecil, Ibu tak sedetail itu menceritakan kisahnya. Semakin aku besar, semakin banyak yang Ibu ceritakan, termasuk arti kata selingkuh dan pengkhianatan. Termasuk sakit hatinya.

"Ingat ya, Mo. Semua laki-laki itu bajingan. Di depan kita dia manis, tapi di belakang kita dia sudah siapin belati beracun." Ibu sudah memasuki bagian akhir ceramahnya. "Kita nggak butuh mereka. Kita nggak butuh lelaki. Berdua saja seperti ini cukup. Semua bisa kita kerjakan sendiri. Kalau kita nggak bisa, cukup bayar orang aja. Selama kita sehat, kita bisa kerja, kita bisa punya uang untuk beli dan bayar. Cukup. Kita nggak butuh orang lain lagi."

Tapi untuk jatuh cinta semua butuh orang lain sebagai tempat menjatuhkan cintanya.

***

Kapan kau tahu bila cinta itu datang?

Aku?

Aku tak tahu.

Di usiaku yang nyaris tiga puluh ini aku tak pernah mengenal cinta. Cinta pada lawan jenis tentunya. Aku seorang gadis yang menghabiskan waktu di rumah saja.

Bahkan ketika pertama aku melihatnya, aku tahu dia hanyalah pria biasa, seperti semua pria yang biasa aku temui.

Banyakkah pria itu?

Jika yang kamu kira pria-pria itu adalah pria yang pernah singgah di hatiku, tentu saja salah. Sudah kukatakan aku tak tahu bila cinta datang. Itu karena aku tak pernah jatuh cinta. Yang kumaksud dengan pria-pria biasa adalah pria-pria yang bisa kalian temui di sembarang tempat. Entah itu di pasar, di jalan, di kantor, atau di mana pun. Pokoknya, pria biasa.

Dia adalah tetangga baruku. Rumah kosong yang berada tepat di sisi timur rumahku yang sudah hampir dua tahun tak berpenghuni. Baru tiga hari ini berpenghuni. Seorang lelaki biasa tapi dengan pembawaan tak acuh.

Apa itu melegakanku?

Biasa saja.

Aku tak peduli rumah itu berpenghuni atau tidak. Berpenghuni manusia atau makhluk lain. Terserah. Yang penting, siapa pun penghuni rumah itu, dia tidak menggangguku. Karena aku juga tidak akan mengganggunya.

Itu dulu.

Malam itu, selepas Ibu meninggalkanku sendirian di kamar ini, aku memikirkannya. Memikirkan gayanya yang begitu menyebalkan. Memikirkan suara gelaknya yang lepas. Memikirkan ulahnya yang mengesalkan. Memikirkan tatapannya yang menjengkelkan. Memikirkan senyumnya yang lebar. Memikirkan rasa tangannya di bahuku.

Selama ini, aku terdoktrin bahwa semua laki-laki adalah buaya bajingan.

Apa dia termasuk makhluk seperti itu?

Apa aku masuk perangkapnya seperti dulu Ibu masuk perangkap Ayah?

Apa aku berharap dia tidak seperti itu?

Jika iya, apa lagi yang kuharap darinya?

Apakah aku jatuh cinta padanya?

Aku tak tahu.

Tapi menurutku bukan. Ini hanya karena dia begitu bertingkah sehingga perhatianku banyak teralihkan padanya. Dan tidak ada orang lain yang kuperhatikan sebelumnya.

Lalu kenapa aku jadi memikirkan dia? Itu pertanyaanku. Dan kupikir jawabannya adalah; aku bermimpi buruk karena pertanyaan dari dia. Dan kenapa dia kuhubungkan dengan cinta? Itu karena dia lelaki dan Ibu selalu menghubungkan lelaki dengan cinta palsu dan buaya darat. Lalu kenapa aku memikirkan doktrin Ibu? Karena dia tidak terlihat sebagai buaya darat. Dari mana aku bisa berpikir dia bukan bajingan? Itulah masalahnya. Aku tidak punya pengalaman sama sekali. Baik dengan lelaki baik maupun dengan bajingan. Jadi kembali ke pertanyaan awal. Kenapa aku memikirkan dia? Aku tidak tahu kenapa.

Selama ini pengetahuanku tentang hidup hanya berasal dari referensi Ibu. Cerita Ibu dan pengalaman Ibu. Selama ini yang kutahu hanya cinta Ibu. Tak ada cinta lain. Cinta murni dari hati. Dan Ibu pun selalu menjejali kepalaku dengan mantra itu.

Kamu cuma butuh Ibu. Cuma Ibu yang sayang kamu. Selain Ibu, bohong. Mereka cuma memperalat kamu.

Jadilah aku gadis menjelang tiga puluh yang tak pernah berpikir untuk menikah. Aku sudah kebal dengan pertanyaan basi; kapan nikah. Mungkin doktrin Ibu yang membuat aku kebal dengan pertanyaan itu. Pertanyaan yang bisa membuat gadis di akhir dua puluh tersayat tercabik bisa kuhadapi dengan senyum mencibir.

Jika ada yang bertanya seperti itu, aku akan tersenyum lalu melengos meninggalkan si penanya.

Aku single dan aku baik-baik saja. Aku bahagia dengan hidupku, bahagia dengan pilihan hidupku.

Temanku dari TK sampai kuliah tak banyak. Dan ketika aku lulus, teman yang sedikit itu semakin sedikit. Teman dari lingkungan rumah sudah banyak yang pindah. Teman rumah bisa berarti teman sekolah dari TK sampai SMA. Teman dari jauh-teman kuliah-terlalu jauh lalu lost contact. Atau aku yang menghilang?

Aku menghilang.

Mengganti nomor ponsel dan tidak membuat sosmed pribadi apa pun. Sosmed yang ada di ponselku semua bernama Mimosa Cakery. Grup-grup yang kuikuti adalah grup memasak. Itu pun aku tak aktif. Aku lebih banyak mengambil ilmu dari grup itu tanpa membagi ilmuku. Bukan aku pelit ilmu, aku hanya malas berinteraksi intens dengan mereka yang berakhir dengan kopdar.

I'm totally home body person.

Begitulah hidupku selama ini.

Duniaku begitu kecil. Hanya sekeliling tembok rumah dan sejauh jarak rumah dan toko.

Bahagia?

Tentu saja.

Jika merasa nyaman dengan hidupku sendiri adalah bahagia, ya, aku bahagia.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now