Bab 29, Panik!

634 109 8
                                    

Kami hanya sekali bertemu setelah pertemuan yang sebelumnya. Lagi-lagi, di apartemennya. Dia yang menungguku di dalam langsung menyambutku dengan pelukan rindu yang mematikan. Dan sebuah kecupan di rahang yang langsung bisa membuatku melayang. Kupu-kupu kembali hadir di perutku menari dan terbang.

Kecupan di rahang itu berlanjut dengan kecupan-kecupan ringan menuju bibir. Tanpa sadar membuatku mendesah. Desah yang jelas terdengar di telingaku. Memejamkan mata, kutarik tubuh menjauh darinya. Meski bahasa tubuhnya menolak, tapi dia hanya butuh jeda sesaat untuk mengerti penolakanku meski tanpa kata penjelasan. Pertemuan itu hanya diisi bincang kaku pengisi waktu di sela makan siang.

Dia mengerti aku berusaha menjaga jarak darinya. Cukup sambutannya yang ‘hangat’ membuatku nyaris lupa diri. Aku tak yakin, sentuhan yang lain tidak membuat kami terbakar. Kami berbincang di meja makan demi menghindari sofa. Duduk di sofa berarti berdampingan.

Melihat aku yang gelisah, dia bahkan mengajakku keluar. Tapi aku yang menolak. Aku tak ingin ke mana-mana. Aku hanya ingin menyepi berdua dengannya. Tapi… beginilah adanya. Dia yang gundah akhirnya berakhir di balkon. Berdiri menatap langit terang dengan lengan menumpu di pagar. Dari dalam kupandangi sosoknya dari belakang.

Tak tahu harus bagaimana dan melakukan apa, aku berpamit pulang lebih cepat. Tapi dia tak melepasku pulang secepat itu. Lirih suaranya ketika berkata ‘aku masih rindu’ membuatku diam. Akhirnya kuterima ajakannya keluar. Setelah bosan berputar di toko buku dengan dia yang terus membuntuti, akhirnya kami berakhir di area terbuka food court mal yang sedang menyajikan live music.

Saat Ruang Rindu milik Letto terdengar, baru intronya saja sudah membuatku tersengat. Dan di refrain, pandangan kami bertemu. Tawa kecil kami tetap tidak bisa menyembunyikan senyum sedihku. Dia hanya menyisir rambutnya dengan jemarinya lalu membuang napas kasar.

Genggaman tangannya di mobil ketika aku akan turun berbicara tentang keinginan kami untuk terus bersama.

Dan kami semakin yakin, bahwa kami tidak akan baik-baik saja.

Bagaimana ini?

 

***

Sejak pertemuan terakhir itulah aku semakin kesulitan menjaga diri. Aku terlalu sering melamun. Beberapa kali Ibu mendapati aku terdiam memandang kosong ke depan.

Jika Ibu bertanya, aku hanya menggeleng dan menjawab singkat bahwa tidak ada apa-apa atau aku baik-baik saja. Lalu aku melarikan diri ke kamar. Menahan diri tak meraih ponsel yang tersimpan aman. Atau kalau aku tak berhasil, aku hanya akan membaca ulang chat kami dalam mode pesawat.

Sudah dua pekan.

Hanya dua pekan dan aku merasa rindu begitu menyiksa. Ke mana perginya lima tahun tanpa kabar sama sekali? Ke mana perginya tahun-tahun di mana dia belum hadir di kehidupanku? Hanya dua pekan dan aku merasa ini tidak akan baik-baik saja. Dan mengingat Ibu, aku merasa putus asa.

Malam ini, oh, bukan malam, ini menjelang fajar. Jam tiga pagi.

Aku tak tahan lagi. Sejak kami tertawa-tawa di chat dan sama-sama berpamit tidur, aku tak bisa tidur. Aku begitu gelisah, sampai lepas semua sprei dari tempatnya.

Terasa sangat sesak ketika aku bertahan tidak berekspresi. Dan di pukul tiga itu, aku menyerah. Kunyalakan speaker mini yang memutar lagu dari playlist. lalu kuletakkan speaker itu di depan pintu mengarah ke luar sambil mengunci pintu. Caraku berjaga dari Ibu. Lalu kuhubungi dia.

Video call

Dan belum sempat kudengar sambungan berdering, wajahnya sudah muncul.

Kacau.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now