Bab 22, Di Sebuah Kafe

598 115 31
                                    

Lima tahun kemudian

Siang dengan matahari yang marah terasa sejuk ketika aku berada di ruangan berpendingin.

Aku duduk di sudut terdalam di samping jendela besar. Table for two tapi tentu aku sendiri saja. Mejaku berisi botol air bekal dari rumah, secangkir kopi hitam pekat, dan sebuah cake yang sudah terluka sedikit di sudutnya.

Kutata isi mejaku, lalu kuambil ponsel. Acara mengambil gambar bisa menghabiskan waktu lima belas sampai tiga puluh menit. Sampai aku puas.

Apa aku akan meng-upload gambar-gambar ini di sosmedku?

Tidak.

Foto-foto ini selamanya akan menjadi koleksi pribadi. Aku hanya mengambil fotonya sebagai contoh, ide untuk tokoku. Dan iseng. Pembunuh waktu dan pengalih perhatian ketika aku sendirian seperti ini.

Setelah puas dengan kamera, kuletakkan ponsel di meja. Lalu aku kembali menyendok cake dengan potongan sedang.

Lalu...

Sudah.

Jika lagu di tempat ini sesuai dengan telingaku, maka aku akan menikmatinya. Jika tidak, aku akan memasang headset, lalu menikmati lagu dari playlist di ponsel. Sambil membaca-entah bacaan apa itu-dari ponsel atau dari buku yang kubawa, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di satu tempat. Jika aku bosan, aku akan pergi, mencari tempat lain. Akan kubeli beberapa jenis penganan yang lain untuk Ibu. Sebagai buah tangan dan tentu sebagai contoh dan bahan diskusi kami. Dalam sehari, aku bisa begitu di empat toko kue, cafe, atau kedai kopi.

Begitulah aku sekarang.

Mimosa Cakery semakin besar. Bagian atasnya kubuat menjadi coffee shop, tempat orang bisa menikmati potongan-potongan kue sambil bersantai. Sudah memasuki tahun keempat. Angan yang menjadi impian. Impian yang menjadi nyata. Aku membangun Mimosa Cakery & Coffee Shop seperti gambaran kami dulu. Ya... kami. Gambaran yang kami bincangkan di sebuah kedai kopi sampai kami lupa waktu. Berterimakasihlah pada patah hati. Aku membunuh waktu dengan bekerja. Tapi sejak dia pergi, aku sering mengambil libur. Tak harus setiap pekan, mungkin hanya satu hari dalam sebulan.

Lalu libur itu kuhabiskan dengan berjalan sesuai mauku. Kadang di jalan baru aku berseluncur di dunia maya, mencari tempat baru sebagai tujuanku hari itu. Jika bosan, aku bisa saja duduk diam di taman kota, atau membeli tiket bioskop dengan pilihan sembarang. Jika kurasa film itu menarik, aku akan menontonnya, jika tidak, aku akan tidur sampai film selesai.

Awalnya tentu Ibu tidak mengizinkanku. Ibu tidak percaya bahwa aku keluar hanya membeli novel seperti dulu. Tapi tentu Ibu tidak mungkin tidak mengizinkan aku tidak libur. Dan ketika libur, kecuali aku sakit, aku tidak mungkin di rumah. Jika aku sehat dan di rumah, sudah pasti aku bekerja.

Awalnya, seperti itu. Ibu melihatku tidak pernah beristirahat. Bersantai. Setiap hari bekerja bahkan yang disebut libur pun aku berkerja. Ibu mulai melunak. Dan mengizinkan aku pergi beberapa jam. Lama kelamaan aku bebas seharian keluar rumah.

Setelah Ibu yakin dia benar-benar pergi dan tidak berusaha menghubungiku lagi. Dan itu memang benar. Kenyataan yang harus kuhadapi. Fakta yang membenarkan hampir semua ucapan Ibu ketika mengusirnya.

Kepergiannya memang pilihanku. Tidak ada satu patah kata pun yang kuucapkan untuk menahannya. Bahkan ketika dia mengucapkan that three words pun aku tak ada usaha sama sekali untuk menahannya. Tapi itu pilihan yang berat. Kubiarkan dia pergi meninggalkan sebuah ruang di hati yang terasa semakin sesak tapi sekaligus terasa kosong tanpa dia ada di sana lagi.

Begitulah kuhabiskan hari-hariku.

Aku terlalu sering melamunkan dia. Sampai aku merasa bosan tapi tetap saja kulakukan. Dan tanpa kusadari, semuanya sudah berlangsung selama hampir lima tahun.

Lima tahun yang hambar, terasa datar, hampa tanpa warna. Riak-riak yang kurasa hanya seputar Mimosa Cakery & Coffee Shop saja. Toko Ibu menjadi swalayan. Menyatu dengan tokoku. Intinya, usaha kami semakin berkembang.

Ibu?

Ibu membiarkan aku dengan duniaku yang baru. Ibu percaya bahwa dia pergi atas mauku. Dan itu berarti aku akan setia pada janjiku. Aku tahu, Ibu bisa merasakan aku yang flat, tapi Ibu membiarkan aku seperti itu. Hanya sesekali Ibu menceritakan tentang Ayah yang itu berarti mengingatkan aku pada pengalaman pahitnya. Satu pengalaman yang menjadi rujukannya seumur hidup. Termasuk sesekali menyinggung kejadian tamu wanita Shaq.

Ah, akhirnya kusebut juga nama itu.

Nama dan tiga puluh detik permintaannya pada Ibu yang membuat hidupku berubah. Ruang hatiku tak pernah lagi sama setelah tiga puluh detik itu. Ruang yang penuh dengan sosoknya tapi juga kosong setelah kepergiannya.

Ruang yang aneh.

Ruang rindu.

Cokelat cair dari lava cake-ku sudah keluar melalui lubang yang kubuat. Lelehannya sudah mengotori piring yang menjadi wadahnya. Kuperbesar lubang itu, lelehannya semakin deras keluar. Kuambil cokelat yang meleleh seujung sendok, lalu kunikmati rasanya. Aku asyik merasai cokelat itu. Mengorek cokelat di dalam cake atau di piring lalu berlama-lama menyesap sendok.

Sampai aku tersentak ketika tiba-tiba sepasang tangan menapak di mejaku. Aku tersentak tapi aku masih bisa menahan rasa terkejut ini. Perlahan aku mendongak.

Dan yang perlahan itu terasa begitu lambat sampai aku terpaku pada wajah yang ada di sana.

"Hai." Berbisik.

Aku butuh waktu untuk melanjutkan keterkejutanku. Aku butuh masa untuk menata hatiku. Aku tak bisa serta merta membalas sapaan ringannya.

Melihatku yang hanya terdiam menatapnya, dia tersenyum, lalu bergerak mundur. Tangannya yang tadi menapak di meja menarik kursi di depanku ke arahnya. Lalu perlahan, sangat santai, dia duduk di sana. Di kursi, di hadapanku.

"Apa kabar, Mo?" tanyanya ketika dia sudah duduk di depanku. Tangannya bersedekap di meja, serius menatapku. Dan senyum tipis itu, kenapa tidak bisa hilang dari bibirnya?

"Mimo..."

"Y... ya..." Aku tergagap. Tapi akhirnya aku bisa bersuara.

"Apa aku kayak hantu sampai kamu shock begitu?"

Ya...

Dia adalah hantu. Hantu yang menghantui hidupku selama lima tahun ini. Hantu yang tak pernah kulihat wujudnya setelah dia pergi. Sangat wajar aku terkejut ketika melihat hantu di saat masih ada matahari dan di ruang publik pula.

Mulutku bergerak-gerak tapi tak satu patah kata pun keluar dari sana.

Dia berubah. Tapi tidak berubah. Masih sama. Itu masih dia. Aku bisa langsung mengenalinya dengan semua perubahannya. Rambutnya tak lagi panjang. Jemarinya tak akan bisa menarik rambut yang sependek itu. Dan tak akan ada lagi helai nakal yang sering jatuh di wajahnya. Rambut pendek itu sekarang bersemu helai putih di bagian pelipis. Satu dua helai di rambut wajahnya. Dia berkacamata sekarang.

"Kamu kalau tidur di Tupperware ya? Kok awet banget. Nggak berubah sama sekali," ujarnya lagi. Matanya menatap lekat, memperhatikan aku sangat serius masih dengan posisi tangan yang sama.

"Kamu ngapain di sini? Sendirian aja? Aku ganggu nggak?"

Semua pertanyaannya tidak bisa kujawab karena aku mendadak tuna wicara.

"Haiii... Mimosa Jolie...." Dia melambaikan tangannya di depan wajahku. Mencari perhatianku. Dan berhasil. Aku seperti kembali ke bumi setelah beberapa saat tersesat di dunia kenangan.

"Shaq..."

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα