Bab 32, Love Will Find A Way

2.3K 200 132
                                    

Berat

Sangat berat untukku melangkah meninggalkan rumah. Aku tahu, begitu aku melewati pintu aku sulit kembali lagi. Mungkin tidak akan pernah.

Aku sayang Ibu. Sayang sekali. Tapi aku tidak bisa membayangkan kehidupan setelah Shaq pergi dan aku berdua dengan Ibu. Dan sekarang aku begitu kalut. Aku tak bisa berpikir jernih. Kepalaku berkabut. Aku hanya ingin pergi dari keadaan ini secepatnya.

Aku berpegangan di panel pintu ketika tanpa sadar aku menoleh ke belakang. Kulihat Ibu melemah dan memucat. Tangannya mencengkeram tepi bufet. Dan di bawah tatapan kami berdua, Ibu meluruh jatuh terduduk.

"IBU!"

Adrenalin ini bekerja sangat cepat sehingga aku bisa mengejar Shaq yang melesat ke arah Ibu. Ibu begitu lemah, diam saja ketika Shaq mengangkat dan menidurkannya di sofa. Dia berlutut di samping Ibu.

"Kita ke rumah sakit ya, Bu," ajaknya.

Aku setengah menekuk kaki ketika sebuah tarikan terasa di perut. Aku tidak akan bisa bergerak. Tanganku spontan mencengkeram bahu Shaq.

"Mimo! Kamu kenapa?" Dia menengadah dan aku tetap di posisi setengah berlutut.

"Perut aku kram." Meringis.

Dia langsung berdiri dan menahan tubuhku lalu perlahan membantuku duduk. Tak bergerak pun sakit, apalagi bergerak, tanganku yang melingkar di bahunya benar-benar bertumpu di sana. Sampai aku bisa duduk walau berlutut, dia kembali ke Ibu.

"Ibu, apa yang dirasa?" Dia meraba pergelangan tangan Ibu, tapi Ibu menepis tangan Shaq.

"Mimo, kamu bisa sendiri dulu? Aku mau bawa Ibu ke rumah sakit."

Aku mengangguk.

"Atau kamu ikut aja sekalian."

Aku mengangguk.

Terserah.

Tapi Ibu menggeleng. Membuat dia yang sudah bersiap mengangkat Ibu kembali bersimpuh. Tanpa sadar aku meringis. Mengalihkan perhatiannya.

"Kayuputih?" tanyanya.

Aku menunjuk dengan daguku ke arah bufet. Dia langsung melesat mengambil dan menuang isi botol ke telapaknya. Lalu tangan itu langsung menyelusup di bawah t-shirt-ku. Membalurkan minyak hangat di sana.

Ini gila.

Dia melakukan itu di depan mata Ibu. Entah usapannya atau kehangatan minyak yang membuat uratku melemah. Nyerinya cukup berkurang. Dia pun mengusap di punggung bagian bawah. Semuanya dia lakukan di depan mata Ibu. Tapi dia begitu tenang. Ketenangan yang membuat aku bisa lebih relaks. Dia membalur dan memijat punggungku perlahan. Ketika melihat eskpresi wajahku melunak, dia membantuku duduk di lantai. Awalnya bersimpuh, lalu akhirnya aku mampu meletakkan bokongku langsung ke lantai.

"Bisa selonjor nggak?"

Aku mencoba meluruskan kaki dan dia sigap membantu. Bahkan membantu memutar tubuhku agar aku bisa bersandar di kaki sofa, di kaki Ibu. Dia mengambil bantal kursi dari kursi tamu dan menyusunnya di punggungku.

Ini jauh lebih nyaman.

"Feel better?" Dia tersenyum.

Aku mengangguk. Dan dia langsung mengalihkan perhatiannya ke Ibu. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak ketika Ibu menolak semua bantuannya. Dia hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ada teh di termos," ujarku cepat. "Buat Ibu."

Dia langsung mengambil termos dan menuang isinya ke gelas.

"Minum dulu ya, Bu." Ibu bergeming. "Mo, kamu bisa bantu Ibu nggak?" Dia meletakkan gelas di meja.

Kram perutku masih menyisakan sedikit tarikan. Tapi masih bisa kutahan. Aku mengangguk dan bergerak perlahan kembali berlutut dan membantu Ibu duduk. Setelah Ibu berhasil duduk, aku bergerak duduk di samping Ibu. Semua dengan bantuan Shaq. Tapi Shaq kembali berlutut di hadapan kami. Dia memberikan gelas teh kepadaku.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now