Bab 3, Hari yang Lain

1K 185 23
                                    

Pagi ini pun sama.

Aku sedang menyapu jalan di depan rumah ketika tetangga depan rumah keluar dari rumahnya. Setelah sapaan ringan antar tetangga, mereka—suami dan istri—pergi bekerja, dan aku melanjutkan menyapu jalan. Deru mobil mereka menyamarkan deru mesin yang lain.

“Hai, Mo.” Suara itu lagi. Spontan aku menoleh. Sempat kulihat pengendara dua mobil itu saling melempar senyum.

“Hai.” Tak acuh, aku kembali menyapu jalan.

“Rumah mereka yang di situ ya?” tanyanya sambil menunjuk rumah di depan rumahku ketika sudah sampai di dekatku.

“Iya.”

“Ooh…” Kulihat dia sedikit menengadah dengan mulut membentuk kerucut. “Suami-istri kerja?”

Dia pasti bertanya kepadaku kan?”

“Iya.”

“Anaknya sama siapa?” tanyanya lagi.

“Nggak punya anak.”

“Jadi kalau mereka kerja, rumah kosong?” Dia bertanya sambil melihat ke rumah itu.

“Iya.”

“Ooh....” Lagi.

Alarm di kepalaku berdenging. Untuk apa dia tahu penghuni rumah di depan? Kemarin dia mengajakku naik mobilnya, lalu—

“Woiii…” Dia bertepuk tangan satu kali tepat di depan wajahku. Membuatku mundur selangkah.

“Nggak usah curigation gitu dong.” Dia terkekeh. “Gue cuma mau kenal sama tetangga aja. Nggak mau nyatronin rumahnya tengah malam.” Dia tertawa semakin kencang. “Gue bukan maling spesialis rumah kosong. Gue maling spesialis hati kosong.”

“Eh?”

“Muka lu tuh gampang banget kebaca tauk. Kayak baca hentai.”

“Huh!” Menggerutu, aku menyudahi urusan menyapu jalan. Lalu bergerak melewati pagar.

“Eh, Mimosa.”

“Ya?”

“Apa hubungannya lu sama Mimosa Cakery di depan jalan?”

“Itu punya gue.”

“Wah.” Matanya berbinar dengan ekspresi takjub yang tidak bisa disembunyikan. “Pantes seharian lu nyiksa perut gue.”

“Siksaan itu akan terus berlanjut selama lu tinggal di sini.”

Dia terkekeh. Lagi.

“Gimana caranya biar nggak tersiksa?”

“Jadi langganan gue lah.” Cara dia bertanya membuatku tidak perlu melayani dengan serius pertanyaannya. Dia hanya tetangga baru dengan keisengan ekstra.

“Boncos dompet gue.”

“Ya kalau gitu latihlah perut lu biar tau diri,” responsku sangat santai, tanpa beban.

“Ogah.”

“Terus?”

“Kita pacaran aja biar gue bisa makan gratis.” Dia menaikturunkan alisnya. Sungguh, terlihat sangat menjengkelkan. Tak perlu merasa bersalah sedari tadi aku menjawab asbun, asal bunyi.

“Modal dong. Cowok apaan kayak gitu!” Aku membanting pagar tepat di depan hidungnya. Dan dia lagi-lagi terbahak lepas. Sangat lepas. Benar-benar tidak perlu dilayani dengan sopan-santun dan adab bertetangga yang selama ini Ibu ajarkan padaku.

Huh!

***

Walau masih jengkel, sesekali kulirik rumah sebelah. Sama seperti kemarin, dia dan dua pekerja terus membersihkan rumah. Hari ini mereka mulai mengecat.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now