Bab 16, Pesan (Cinta?)

622 123 7
                                    

Di rumah, kusiapkan air gula merah panas dalam termos kecil. Kusiapkan juga gula merah dalam potongan-potongan sedang di wadah plastik. Kucari makanan yang bisa dia makan. Aku hanya menemukan abon sapi, dua bungkus plain cracker, dan sebungkus biskuit marie. Kulirik jam, sudah jam sembilan. Kutelepon Ibu bahwa aku akan sedikit terlambat. Setelah semua siap, aku kembali ke rumahnya.

Dia masih tidur. Ponselnya pun masih flight mode. Membuatku mendengus kasar. Yang kubawa sudah tertata di meja. Tapi karena ponselnya mati dan entah kapan akan dia aktifkan, jika kukirim pesan, entah kapan akan terbaca. Aku butuh kertas untuk menulis catatan. Ketika kutemukan sebuah notes di meja makan, kurobek selembar. Tapi di dalam notes itu kutemukan lagi plastik pembungkus Mimosa. Kali ini kubiarkan plastik itu di sana. Tidak kubuang. Tapi kepalaku mulai berpikir. Sepertinya plastik pembungkus yang tadi kubuang bukan sampah menurut dia.

Ada yang aneh dengan plastik pembungkus ini.

Aku berdiri dengan tangan memegang plastik yang setiap hari kupegang sambil menatap ke sekeliling ruangan. Tidak terlalu bersih. Khas rumah bujang (lapuk). Sampah bekas makanan termasuk bungkusnya memenuhi meja bersama berkas-berkas kerjanya. Mungkin keberantakan ini karena dia sedang sakit. Dia tidak sempat membersihkan semuanya lalu membiarkan saja isi mejanya seperti itu.

Kucari bukti lain.

Beberapa baju tersampir asal di sandaran kursi. Apa sebanyak ini baju yang dia pakai selama sakit? Sepertinya tidak. Mungkin sandaran kursi ini adalah laundry bag-nya. Saat dia akan mencuci baru baru dia memunguti pakaian-pakaian itu.

Kesimpulanku, dia tidak akan merasa bersalah membuang sampah plastik ke kolong meja.

Lalu kenapa bungkus ini ada di selipan notesnya? Aku kembali menatap dengan dahi berkeryit ke arah barang bukti di tangan.

Aku menggeleng cepat dan kasar menghilangkan pertanyaan itu. Kusimpulkan, dia simpatisan Walhi dan Green Peace yang tidak akan membuang sampah plastik sembarangan.

Dengan kesimpulan itu, aku kembali ke tujuanku mencari kertas. Menulis pesan.

Shaq

Minum air gulmer dulu sebelum makan bubur. Setengah termos aja. 15-30 menit baru lu makan bubur. Jangan pake aksesorisnya! Pake abon atau gulmer aja. Tiap tiga jam, kalau nggak tidur, ngemil cracker atau biskuit barang 1-2 keping. Kalau air gulmer habis, bikin sendiri. Satu gelas kasi tiga potong aja. Jangan makan selain yang gue kasih! Awas kalau nggak nurut!

Cepat sembuh ya

-Mimosa-

Kusisipkan pesanku di antara wadah gula merah dan cracker. Dia pasti bisa langsung melihat catatan itu lalu aku bersiap pergi. Tapi sebelum pergi, kutatap wajah tidurnya. Seulas senyum terbentuk di bibirku.

***

Ting

Ting

Bunyi notifikasi masuk ketika mobile data kuaktifkan. Suara di masjid menandakan sebentar lagi subuh. Itu yang membangunkan aku setiap hari. Dan sebelum meninggalkan tempat tidur, seperti biasa, kuaktifkan mobile data. Sambil meneguk segelas air, kucek pesan masuk. Ada pesan dari nomor yang belum kusimpan, tapi aku sudah hafal nomor itu.

+6281xxxx xxxx : Mo

+6281xxxx xxxx : Mo

+6281xxxx xxxx : kalau mau makan cracker minum gulmer dulu nggak?

Pesannya terkirim dua jam lalu. Sekarang dia tidur atau bangun ya? tanyaku dalam hati. Aku tak mau mengganggu tidurnya dengan denting notifikasi. Dia harus beristirahat sebanyak dan sebaik mungkin. Itu berarti tidur lelap tanpa diganggu apa pun termasuk denting ponsel.

+6281xxxx xxxx : Mo

Oh, baiklah. Dia sudah bangun.

Mimosa Cakery : lu sudah makan bubur?

+6281xxxx xxxx : sudah.

+6281xxxx xxxx : Jam 12.

+6281xxxx xxxx : Air gulmer 15 menit sebelum makan bubur: done.

Mimosa Cakery : kalau perut lu sudah nyaman, nggak usah minum gulmer lagi sebelum makan bubur.

+6281xxxx xxxx : nanti?

Mimosa Cakery : iya

+6281xxxx xxxx : sekarang?

Mimosa Cakery : kalau cuma mau ngemil nggak usah.

+6281xxxx xxxx : kalau mau makan bubur?

Mimosa Cakery : lapar beneran lu?

+6281xxxx xxxx : :D

Kutinggalkan saja pesan itu menggantung tanpa terbalas. Pekerjaanku berbaris antre untuk diselesaikan.

Aku seperti melihat kekehannya yang mengesalkan itu.

Bleh!

***

Mungkin benar, hariku memiliki warna lain sejak dia menjadi tetanggaku. Sebelum dia datang, hariku hanya berkutat antara rumah, dapur Mimosa, dan toko. Tiga jamku hanya habis dengan kesendirian dan bersantai beristirahat. Entah dengan buku atau dengan film. Sekarang, tiga jamku beberapa kali habis bersama dengan dia.

Membawakan makanan untuk tetangga yang sakit memang kebiasaanku dan Ibu. Cukup menyambar sekotak cake buatan sendiri urusan bertetangga beres. Berkali-kali pun tak masalah. Tidak pernah sampai aku membuat makanan khusus untuk menjenguk tetangga sakit. Tapi tadi pagi aku membuat bubur untuknya. Memang hanya bubur nasi tanpa aksesori. Tapi itu berarti aku membuatkan khusus untuk tetangga. Ini yang pertama.

Ah, itu karena dia sendirian, tidak ada yang mengurusnya, dan jika membeli bubur ayam akan sulit menghindari godaan kuah santannya. Dia juga tidak mungkin membuat sendiri. Kan dia sakit.

Itu pembelaanku.

Setelah tadi pagi kubuatkan dia bubur, malam ini aku berkunjung lagi ke rumahnya. Kali ini dia menyambutku dengan senyum lebar. Matanya tidak sesayu kemarin walau masih ada lingkaran hitam di matanya. Wajahnya pun tidak pucat lagi. Dia terlihat segar sehabis mandi. Rambutnya masih masah.

"Lu bawa apa, Mo?"

"Cah brokoli. Bubur lu masih ada kan?" Dia mengangguk cepat dan pergi ke belakang. Tak lama muncul dengan semangkuk penuh bubur.

"Porsi orang sakit segini?" Mangkuk itu penuh sampai dia harus membawa keluar beralas piring. "Kenapa nggak pancinya sekalian lu bawa?" tanyaku lagi ketika dia menyendok isi bubur ke piring lalu mengambil cah brokoli.

"Gue sudah sehat, Mo. Bubur doang nggak nendang." Dia mulai mengunyah. "Kapan gue boleh makan nasi?"

"Kalau perut lu sudah nyaman ya makan aja. Kemarin gue kasih bubur biar cepat sembuh aja." Aku duduk santai bersandar sambil menonton manusia goa makan. Membuatku tersenyum. Kalau makannya seperti itu, artinya dia sudah sembuh.

"Roti gue mana?" tagihnya.

"Ada tuh. Roti gandum. Tapi kalau beneran sudah enakan, lu sudah bebas makan apa aja. Yang pasti lu harus makan t-e-r-a-t-u-r."

Dia terkekeh.

Kekeh yang membuatku ikut terkekeh. Lalu kami berbincang santai menghabiskan tiga jamku.

Walau dia menjengkelkan, sering membuatku ingin menjatuhkan beberapa buah bata di atas kepalanya, tapi berbincang dengan dia bisa membuatku lupa waktu. Kami bisa membicarakan apa saja. Tetangga, cerita tentang kampung ini, buku, musik, ... semua. Kami bisa berbincang tentang banyak hal tapi tidak tentang satu hal. Soal hubungan ini dan perasaan kami masing-masing. Oh, itu dua hal. Baiklah, kami tidak pernah berbincang tentang kami sendiri.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now