Bab 31, Mimo Pergi, Bu...

975 132 15
                                    

"Kenapa, Mo?" tanyanya.

Aku tidak bisa menjawab ketika melihat muka Ibu memerah dan mata mendeliknya menatapku dengan tatapan semarah merah wajahnya.

Murka.

Kemana perginya suara derit pintu?

Dia tahu ada sesuatu di belakang punggungnya yang membuatku terbelalak seperti itu.

Dia menoleh. Dan hanya sedetik kemudian Ibu berderap maju. Menarik tanganku. Aku tersentak ke depan. Sepertinya isi perutku yang setengah mati dia usahakan masuk akan keluar.

"Mimo sakit, Bu." Shaq menahan tangan Ibu. Tapi Ibu tak mau kalah. Menarikku lagi. Shaq menahan tubuhku dengan tubuhnya. Sentakan Ibu hanya membuat dadaku menabrak punggung Shaq.

Inilah mimpi buruk itu. Aku merasa pandanganku mengabur. Kepalaku jatuh bertumpu di punggungnya. Dia langsung menoleh.

"Are you okay, Mo?" Penjagaannya lengah. Ibu bisa menarik tanganku lagi. Aku begitu lemah. Kembali tersentak mendorong maju punggungnya.

"Bu, please."

"Pergi kamu!" Tangannya menunjuk ke arah pintu dan suaranya mendesis. Tatapan marah menusuknya tetap tak hilang. Aku tidak pernah melihat Ibu seperti ini.

"Saya akan pergi. Tapi tolong, Mimo sakit, Bu. Jangan gituin dia."

"Don't, Shaq. Don't go." Aku berbisik di punggungnya. Tanganku meremas kemejanya di bagian pinggang. Menahannya. Kali ini aku menahannya. Tidak akan ada lagi tiga puluh detik hanya karena aku tidak menahannya pergi. Napasku menderu dan kepala ini kembali berputar.

"Remember my promise, Mo. Just remember it. I won't go." Dia berkata tanpa menoleh ke arahku. Tetap menatap Ibu, berjaga.

"Pergi kamu!" Ibu mendorong bahu Shaq sekuat tenaga. Dia yang hanya duduk di ujung sofa sangat mudah tersungkur. Ketika Shaq tersungkur itulah Ibu melihat ke sofa. Meraih ke sana. Lalu melemparnya.

"Pergi!"

Brak.

Ponsel Jolie.

Hancur terburai.

Bersamaan dengan Shaq yang tiba-tiba melengos dan memegang pipinya.

Darah.

Tak banyak. Hanya luka tergores. Entah potongan apa dari ponsel itu yang mengenai wajahnya. Tapi darah itu cukup membuat suasana semakin berdarah-darah.

Kepalaku berputar semakin cepat. Pandangan mengabur. Sepertinya aku akan pingsan. Aku sakit. Tapi aku takut Ibu sakit lagi. Melihat Shaq terduduk di lantai, Ibu menarik kerah kemejanya, memaksa Shaq berdiri.

"Pergi!"

Aku tahu, dia pun lelah. Lemah. Tak tidur dan seharian bekerja. Lalu murka Ibu membuat kekuatan Ibu berkali lipat. Tapi aku juga tahu, Shaq memang tidak mau melawan. Dia tidak pernah mau melawan Ibu.

Tersuruk, dia berhasil berdiri dengan bantuan tarikan Ibu. Kemejanya kotor bekas tumpahan bubur. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Seperti anjing kurap tertangkap tangan mencuri tulang. Aku yakin, dia masih memiliki tenaga untuk sigap berdiri, tapi itu bisa membuat Ibu semakin waspada. Ini seperti menghadapi ular. Bergeraklah perlahan, jangan membuat ular terkejut.

"Shaq..." Sakit di perut sudah hilang. Sekarang seluruh tubuhku sakit. Terutama hatiku.

Ketika dia berhasil berdiri itulah aku tersungkur di lutut Ibu.

"Bu, Mimo nggak tau salah Mimo apa sampai Ibu begitu. Tapi itu salah Ayah bukan salah Mimo apalagi salah Shaq, Bu." Kupeluk lutut Ibu. "Kalau selama ini Mimo sendiri, itu memang karena jodoh Mimo belum datang. Kalau Shaq lalu muncul dan kami dekat, mungkin itu artinya jodoh Mimo sudah datang, Bu." Aku menangis dan meracau di sela lutut Ibu.

Ibu tetap diam seperti batu.

"Mimo nggak bisa menghindari jatuh cinta. Seperti Ibu yang nggak bisa mencegah Mimo patah hati. Seperti Mimo yang nggak bisa mencegah Ibu sakit hati."

Ibu bergeming. Lututnya kaku.

"Tolong, Bu. Izinkan kami. Bahkan waktu lima tahun nggak bisa memisahkan kami. Tolong, Bu."

Di saat yang sama aku memohon, di saat itu juga kulihat Shaq meluruh berlutut lalu bersimpuh. Sebelah tangannya terkepal menumpu di lantai sebelah lagi tertahan di lutut. Kami hanya berjarak sedepa saja.

"Jadi selama ini kalian-"

"Nggak, Bu. Kami baru ketemu lagi."

Di kepalaku, terputar lagi penggalan-penggalan kisah sepanjang pertemuan kami kembali. Beberapa kali pertemuan di apartemennya. Bisa dibilang hanya terisi kesunyian dan kesedihan. Merenungi kisah ini. Begitu memenuhi kepala dan lari menyesakkan dada. Tapi di antara sunyi dan sedih itu kami mendekat, dan itu menyenangkan. Aku meminta lebih bukan karena aku tidak bersyukur dengan pertemuan kedua kami. Aku meminta lebih hanya agar kami tidak melewati garis terlalu jauh. Sudah cukup batas itu kami lewati dengan chat-chat, vcal-vcal, dan pertemuan-pertemuan kami selama ini tanpa perlu kelamin kami bertemu.

"Kamu bohongin Ibu, Mo." Ibu menarik paksa lututnya, aku terdorong ke belakang. Punggungku jatuh menabrak sofa. Aku mengaduh. Kulihat Ibu bersandar di bufet. Sampai bergoyang LCD di atas bufet terkena hantaman tubuh Ibu.

Shaq bergegas ke arahku. Dia ingin membantuku duduk di sofa. Aku menolak bantuannya.

"Apa kamu yang sakit, Mo?" Aku menggeleng. Aku ingin menjerit, menolak tuduhan Ibu.

Tapi berbohongkah aku selama ini?

"Ibu, Mimo sakit, Bu. Tolong tunda dulu marah Ibu." Kami benar-benar mengenaskan. Aku yang tak mau pindah duduk membuat dia pun tetap bersimpuh di lantai. "Saya yang datang ke sini. Semua salah saya."

"Bu..." Aku merintih. "Mimo nggak pernah minta apa-apa ke Ibu. Tapi kali ini, Mimo mohon, Bu."

"Pergi kamu!"

"Saya akan pergi..." kucengkeram lengannya. "Tapi tolong jangan giniin Mimo lagi." Dia berusaha bangun. "Mimo anak Ibu."

"Shaq..."

"I promise, Mo."

Bagaimana caranya?

Bagaimana caranya dia menepati janjinya?

"Ibu, kami bukan remaja lagi yang hanya ingin bersenang-senang. Kami sudah cukup dewasa. Sudah sangat dewasa. Tolong jangan perlakukan Mimo seperti ini, Bu. Hargai dia."

"Shaq..."

"Kamu tenang aja. Kamu akan selalu bisa kontak aku."

Entah apa yang ada di kepalanya, dia masih bisa berusaha menenangkan aku. Padahal aku sudah nyaris semaput ketakutan.

"Aku pulang dulu, Mo."

"Aku ikut, Shaq."

"Mimo..."

"MIMOSA!"

"Ibu sudah tahu hubungan kita. Semua nggak akan sama lagi di rumah ini. Aku nggak siap, Shaq." Aku menggeleng kuat-kuat.

"Sabar, Mo."

"No, Shaq. Ibu sudah cap aku pembohong. Aku tahu bagaimana sikap Ibu ke Ayah dengan cap itu." Aku berusaha bergerak. Punggungku sepertinya cedera. "Aku nggak siap dengan cap itu sepanjang hari entah sampai kapan."

"Mo."

"Baik aku pergi aja. Ibu sudah buang aku juga. Seperti Ibu buang Ayah." Aku berhasil berdiri, tertatih menuju ke arahnya. "Mimo pergi, Bu. Maafin Mimo."

Aku akan kembali tersungkur jika dia tidak menangkap tubuhku.

"Ibu, Mimo sama saya dulu. Nanti saya urus," ujarnya ke Ibu. "Ayo, Mo. Kamu harus tenang dulu."

Apakah aku benar-benar akan meninggalkan rumah ini? Meninggalkan Ibu yang semakin menua?

Aku semakin kepayahan. Sakitku dan semua keriuhan ini membuat tenagaku habis. Tapi dia berhasil membuatku tetap berdiri.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang