Bab 12 Anytime

662 133 11
                                    

Seperti biasa, pagiku dimulai dengan aktifitas personal lalu dilanjutkan bersih-bersih. Begitu aku keluar pagar, aku disambut sosoknya yang mendadak muncul.

"Mo, gue bisa jelasin semua." Wajahnya menunjukkan keseriusan dan penyesalan.

"Apaan?"

"Soal semalam." Suaranya lirih sementara tangannya menyapu kasar wajahnya sambil mendengus.

"Apaan?"

"Dia bukan siapa-siapa, Mo." Tangannya bergerak menyisir kasar rambutnya. Dainya sampai berkerut.

"Ohh... Tenang, Bro. Gue nggak akan lapor Pak RT kok." Aku mulai menyapu.

"Hah?" Kulirik dia. Wajahnya sungguh heran dengan jawabanku.

"Pak RT kita memang agak ketat soal aturan bertamu. Tapi kan semalam tamu lu nggak lebih dari 24 jam. Kan di mana-mana tulisannya 2x24 jam wajb lapor."

"Apaan sih, Mo!" Jengkel.

"Ya kalau dalam waktu sesingkat itu lu enaena ya gue kan nggak tau. Nggak bisa lapor lah. Fitnah." Aku kembali menyapu. Tidak akan selesai pekerjaan ini jika ada makhluk seperti dia di depanku.

"Mimo..." Suaranya memelas. "Gue serius, Mo."

"Ya gue juga serius, Shaq."

"Mo..."

Kembali, aku berhenti menyapu. Sapu lidi hanya kupegang saja, lalu kutatap wajahnya.

"Gue tuh siapa lu sih, Shaq? Sampai harus ikut campur urusan lu?" Aku serius bertanya.

Dia berbalik menendang angin sambil menarik keras rambutnya.

"Shit!"

Setelah memaki, dia berbalik lagi menghadapku. Mulutnya bergerak-gerak ingin bersuara.

"Sudah, berangkat kerja gih. Gue nggak bakal comel ngegosipin lu kok. Tapi jangan diulang aja. Kalau yang lain tau, gue nggak tanggung jawab kalau lu digrebek ya." Aku kembali menyapu.

"Gu... gue... gue..."

"Minggir ah, gue mau nyapu." Aku mengusirnya dengan menyapu area pijakannya. Dia bergerak menghindar. Tapi aku malah menyapu mengikuti arah gerakannya. Mengusir dia lebih jauh.

"Sorry, Mo..." ucapnya lirih sebelum berbalik, lalu langsung menaiki mobil. Meninggalkan aku bergelut dengan kebingunganku.

***

Aku berusaha menegaskan posisi diriku terhadap dirinya. Aku berusaha menghilangkan semua hal tentang dia. Mengabaikan permohonan maafnya yang seharusnya tak perlu dia mohonkan. Dan sepertinya aku cukup berhasil. Bahkan ketika wanita itu-Deb-datang menanyakan keberadaan Shaq, aku dapat menjawabnya dengan sangat santun.

Iya, Deb sempat datang dua malam kemudian. Dia berdiri di depan pagar sambil melongok ke dalam rumah. Aku yang akan menggembok pagar menjadi tempat dia bertanya. Kujawab apa adanya bahwa aku tidak tahu jadwal tetanggaku itu tapi di rumah itu memang sering kosong. Jadi ketika dia bertanya kapan tetanggaku pulang aku tentu menjawab tidak tahu dengan memasang senyum yang berarti itu sama sekali bukan urusanku.

Semalam-malam di mana Deb datang-dia tak pulang. Atau aku yang tak sadar kapan dia pulang dan kapan dia pergi?

Lalu aku menyadari bahwa aku mengamati jadwalnya. Tidak pernah ada jadwal tetanggaku yang pernah kuurusi seperti ini. Aku sering tak tahu, rumah mereka berisi atau tidak. Dan jika ada yang menanyakan, pun aku tak pernah tau mereka ke mana.

Ini hari ketiga dia tak terlihat. Lalu aku merasa jengkel. Bukan karena dia dan jadwalnya yang tak menentu. Aku jengkel pada diriku. Kehadirannya membuat ada riak dalam hidupku. Untuk apa aku mengurusi kepulangannya? Sampai menghitung berapa hari dia tak pulang. Ayah bukan, saudara pun bukan, apalagi suami.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now