Bab 5, Si Kucing Garong

808 154 10
                                    

Suara dari ponsel menghentikan desir aneh itu. Itu suara dari ponselku. Tergagap, aku memutus kontak mata kami.

Ibu.

Segera kugeser ikon berwarna hijau.

"Ya, Bu. Bentar lagi Mimo ke sana." Aku tahu kenapa Ibu meneleponku.

"Kamu nggak kenapa-kenapa kan?" Suara cemasnya nyata sekali.

"Nggak, Bu."

"Kenapa lama sekali?" Walau terdengar lega, tapi cemas itu masih ada.

Aku melirik sekilas ke arahnya yang hanya mengedikkan bahu malas. Lalu kembali mencari-cari sesuatu di samping sink.

"Ada kucing garong masuk ngacak-ngacak dapur." Dia mendelik lalu tertawa diam, hanya mulutnya yang terbuka. Dia berhasil menemukan spons cuci piring, tangannya mulai meremas spons itu.

Kujauhkan ponsel dari wajahku. "Nggak usah, nanti aja pulang dari toko gue cuci piring." Aku berbisik sambil sebelah tanganku menahan tangannya dan sebelah lagi mengembalikan posisi ponsel.

"Mo?" Suara Ibu lagi di ujung telepon. "Kamu ngomong sama Ibu?" Kubayangkan dahi Ibu berkeryit.

"Eh, nggak, Bu." Tergagap.

"Kamu ngomong sama siapa?" Ibu mulai mencecar.

"Kucing garong." Kulirik dia yang kembali terkekeh tanpa suara. Tangannya sudah lincah mencuci piring.

"Hah?"

"Ya sudah, Bu. Bentar lagi Mimo ke sana. Bersih-bersih dapur dulu ya." Segera kuputus sambungan telepon.

"Kelakuan si kucing garong...." Dia bernyanyi dengan suara pelan dan sangat santai sambil menggosok pantat panci.

"Spatula gue tadi mana ya?" Aku menggeretakkan gigi.

"Sudah gue cuci sih, tapi belum dibilas. Penting banget tu spatula?" Dia menoleh dan melirik dari bahunya.

"Banget, buat ngusir kucing garong."

"Sudah, beresin aja tu ompreng. Kucing garongnya bentar lagi pergi, nggak perlu diusir. Sudah kenyang dia." Wajahnya kembali ke depan, ke arah sink, melanjutkan mencuci piring. Santai, seperti tidak pernah terjadi apa pun.

Kali ini aku menuruti perintahnya. Bantuannya mencuci piring bisa mempercepat dapur kembali bersih. Aku memang tidak terbiasa meninggalkan dapur berantakan. Dan jika Ibu pulang lalu melihat dapur belum bersih, tentu pertanyaan Ibu akan berlanjut yang mungkin nanti membuatku sulit mengelak. Kebiasaanku, selesai masak, dapur kembali bersinar.

***

Dia menungguku mengunci pintu sambil menenteng jeans-nya. Aku mengabaikan dia yang berdiri di pagar lalu berjalan acuh melewatinya begitu saja.

"Eh, ayo, bareng ke depan," ujarnya sambil berbalik dan menyejajari langkah kakiku.

Aku berhenti sejenak, "Nggak usah, lu duluan aja," lalu melanjutkan melangkah.

"Lu sudah ditungguin nyokap dari tadi, biar cepat aja. Naik cepetan, sebelum gue geret masuk." Kali ini dia nyata memaksa. Membuatku semakin jengah.

Tak menjawab, aku melengos melewatinya.

"Astaga... pala batu beud ya ni cewek." Kudengar gerutunya di belakang.

GUK...

"WHOAA..." Terkejut, aku mundur beberapa langkah dengan langkah cepat ketika tiba-tiba seekor anjing hitam muncul dari kegelapan. Jalan ini tak terlalu gelap, tapi anjing itu tak terlihat, atau aku yang tak fokus? Mungkin hanya beberapa milisekon kami—aku dan anjing—bersitatap, tapi percayalah, seberapa pun sebentarnya, bersitatap dengan anjing terasa sangat lama.

Dia sudah terkekeh—lagi—melihatku lompat mundur terkejut. Membuat tanduk mendadak keluar dari kepalaku. Suara kekehnya terdengar semakin menjengkelkan di telingaku.

"Ayo, naik."

Kenapa anjing itu tidak beranjak sedikit pun dari depanku? Si anjing hanya diam mematung sambil terus memperhatikan aku yang mulai meragu. Dan hewan dengan intuisi tajam seperti anjing, dia langsung tahu bahwa tadi aku terkejut dan sekarang mulai takut. Aku seperti melihat seringai jahat di moncongnya.

"Ayo. Mo," ajaknya lagi.

Aku memang takut, tapi gengsiku masih menang. Aku bergerak sedikit ke kanan, berusaha melewati si anjing. Tapi hewan pintar ini seperti bisa membaca arah gerakku dan dia tidak mau melepasku begitu saja. Mungkin dia mengajakku bermain. Atau ingin bermain-main denganku? Ingin menggangguku? Dia mengenaliku tentu saja. Kami sudah lama bertetangga. Biasanya jika aku melewati rumahnya dia hanya menyalak santai—menyapa—dari balik pagar majikannya.

Mungkin arti tatapannya adalah pertanyaan, kenapa aku takut padanya. Tapi aku tadi sungguh terkejut karena tidak melihat anjing hitam itu sama sekali.

Aku bergerak sekali lagi, dan anjing itu kembali bisa membaca arah gerakku.

Aku mati langkah.

Malas berdebat, kutelan gengsiku lalu berjalan ke arah mobil. Kalau anjing itu menyusulku, tentu Shaq akan turun tangan. Tapi anjing itu benar hanya menyapaku. Ketika aku berbalik, dia tetap diam ditempatnya. Kami—aku dan Shaq—bersamaan masuk ke mobil dan membanting bokong di jok depan sambil memangku ransum Ibu.

"Anjing siapa itu?" Dia sudah men-starter mobil. Ketika dia mulai menjalankan mobil, anjing itu langsung menepi tanpa salakan dan kepalanya mengikuti gerakan mobil.

"Orang depan gang. Biasanya nggak dilepas kok."

"Makasih ya, Pulgoso, butuh kamu untuk bikin gadis keras kepala ini masuk ke mobil."

"Pulgoso?" Sedikit banyak aku terkekeh—dalam hati—dengan pilihan nama anjingnya.

"Suka-suka gue, masa Bleki mulu. Bosan."

Kulirik spion kiri, anjing itu berlari kecil di belakang kami, lalu berbelok masuk ke rumah majikannya. Apa dia datang hanya untuk menyuruhku naik ke mobil?

"Gue turun depan situ aja." Aku menunjuk mulut jalan dengan daguku.

"Nggak depan toko aja?" Pertanyaannya menunjukkan keterkejutan dan ketidaksetujuannya.

"Nggak usah, nanti pertanyaan Ibu tambah panjang." Dia ingin mendebat membantah, tapi aku sudah membuka pintu mobil walau dia belum benar-benar menghentikan mobil. Sebelah kakiku sudah terjulur keluar ketika dia berusaha menepi. Gerakanku membuat dia menghentikan mobilnya meski posisi mobil masih salah. Masih di belokan, masih bisa mengganggu pengguna jalan yang lain.

"Astaga... Kepala kamu dicor pakai apa sih? Keras banget." Gerutunya kali ini kuanggap wajar, tapi aku merasa sangat puas berhasil membuatnya jengkel.

"Makasih." Aku sudah utuh di luar mobil, menutup pintu, lalu berjalan santai di depan mobil menuju sisi lain mulut gang.

"Gue yang makasih untuk makan malamnya. Enak banget, sumpah." Aku bisa mendengar senyum sepanjang dia mengucapkan itu. Aku terus berjalan tanpa perlu menoleh lagi ke belakang. Tapi aku tahu, dia belum berlalu. Tatapannya seperti menusuk punggungku membuatku sedikit gugup ketika menyeberang jalan. Mungkin jika posisi mobilnya tdak seperti itu, dia akan turun membantuku menyeberang. Pemikiran itu membuatku berusaha segera sampai di seberang. Bisa saja dia nekat membantuku kan? Itu yang aku tidak mau.

Jangan nengok, jangan nengok, jangan nengok, mantra yang kuucapkan sepanjang beberapa puluh meter menuju toko. Ketika aku masuk ke toko, aku berjalan dengan posisi agak menyamping, sekilas kulihat ke arahnya. Kaca jendelanya baru bergerak naik. Tak menunggu kaca itu menutup sempurna, mobilnya sudah bergerak.

Fyuhhh...

Ibu memberondongku dengan banyak pertanyaan yang kujawab singkat sambil menata bawaanku. Toko cukup ramai, tapi kami bisa makan cepat bergantian. Membuat perhatian Ibu teralihkan dan berhenti menjadi penyidik kucing garong.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now