Bab 6, Ternyata Tidak Semenyebalkan Itu.

880 154 17
                                    

Pagi ini tidak biasa.

Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Bergegas kukerjakan semua hal yang berhubungan dengan halaman dan depan rumah agar aku tak perlu bertemu dengannya. Entah mengapa, desir itu berkelanjutan sampai mengganggu tidurku dan mengacaukan jadwalku. Aku tak mau hariku rusak. Aku yakin, dialah perusak hariku kemarin. Termasuk urusan adonan tumpah.

Masih jam enam tapi semua sudah selesai. Aku kembali ke kamar. Kamar yang dibuat ketika kamar lamaku menjadi dapur Mimosa Cakery. Agar menghemat biaya, Ibu membuat mezzanine di atas dapur untuk kamarku. Lantai ini hanya berisi kamarku dan kamar mandi mungil apa adanya. Meskipun mengambil dinding dapur, kamar loteng ini tidak terlalu rendah dan menjadi sejajar dengan jendela kamar di lantai atas rumah sebelah yang konturnya lebih rendah dari rumahku. Sebenarnya, aku bermaksud untuk tidur lagi, membayar bangunku yang terlalu pagi. Tapi setelah tiga puluh menit aku hanya bergulang-guling saja, aku akhirnya bangun lalu berjalan—menaiki tangga—ke rooftop kecil yang tak terpakai. Dibuat hanya sebagai ganti talang air agar rumah tak mudah bocor. Tapi sebagai pengaman, rooftop itu tetap berpagar.

Rooftop itu menghadap depan, rumah ini menghadap selatan, matahari masih sangat rendah, kulirik, rumah sebelah hanya sedikit terkena sinarnya.

Ah, kenapa pulak aku selalu melirik rumah itu?

Aku kembali menatap jalan di depan, cukup lama aku bersama lamunanku yang kosong tak berbentuk sampai aku sadar matahari semakin meninggi. Lalu terdengar bunyi pagar terbuka, dua pekerjaku sudah datang, berarti sudah jam delapan.

Kenapa dia belum datang?

Aku mendengus jengkel.

Apa urusanku dengan keberadaannya?

Berdiri malas, aku menggeliatkan tubuhku, lalu berjalan santai ke bawah. Saatnya memulai hari.

***

Hari ini begitu sibuk. Pesanan sangat banyak. Sebenarnya sebagian pesanan ini untuk besok, tapi karena mereka membutuhkannya pagi hari, aku harus membuatnya sekarang. Sudah biasa akhir pekan menjadi puncak kesibukanku. Banyak orang berpesta, termasuk merayakan ulang tahun.

Lepas istirahat siang, aku berkutat dengan lelehan dan batangan coklat, juga icing warna-warni. Untuk urusan menghias tanganku sulit dilawan. Harga pun tergantung tingkat kesulitan icing. Icing bertema berarti harganya berbonus bagi rekeningku.

Menjelang waktu kerja selesai aku berhadapan dengan order bertuliskan Finding Nemo. Entah mengapa, aku spontan melirik ke rumah sebelah.

Masih kosong.

Dia menyewa rumah yang full furnish, seharusnya tidak ada aktivitas mengisi rumah. Kemarin mereka hanya membersihkan dan mengecat rumah saja. Maklum saja, dua tahun rumah itu kosong. Mungkin hari ini sudah selesai.

Lalu kenapa justru penghuni rumahnya tak datang?

Aku mengibaskan tanganku dalam angan, mengusir pikiran aneh itu. Kembali fokus menggambar kehidupan bawah laut. Tentu Nemo si ikan nakal yang menjadi sentralnya. Dia menjadi gambar terbesar di sana. Setelah Dori dan terumbu karang, ada sedikit celah kosong yang bisa kugambar. Nyaris tanpa sadar, aku menggambar hiu bergigi tajam dengan seringai lebar.

***

Di daun yang ikut mengalir lembut

Terbawa sungai ke ujung mata

Dan aku mulai takut terbawa cinta

Menghirup rindu yang sesakkan dada

Jalanku hampa dan kusentuh dia

Ruang Rindu [16+ End]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα