Bab 17, Kencan (?) Kedua

632 122 20
                                    

Begitulah yang selanjutnya terjadi. Kami mendekat tanpa aku sadari. Walau tak setiap hari aku menghabiskan tiga jamku bersamanya-dia tetap sibuk dengan pekerjaannya-tapi nyaris setiap hari aku melihat sosoknya. Entah pagi, entah malam melalui jendela di kamar kami masing-masing.

Aku bermain aman. Jika dia muncul di pagi hari, kami hanya akan menganggukkan kepala, santun. Jika dia di rumah saat ada matahari, kami hanya tetangga biasa. Jika aku belum tidur ketika dia pulang, kami akan berbincang sejenak di jendela. Tak pernah ada lagi pergi ke luar.

Walau kadang aku berpikir, untuk apa aku bermain seaman itu? Dia bukan siapa-siapa. Kami bukan apa-apa. Dan kami tak pernah membahas tentang kami. Tapi, ya, sudahlah. Kami tetap melakukan itu. Hanya seperti itu tanpa komitmen apa pun. Kami tetap tak pernah berbincang tentang hubungan ini. Jangankan ke mana arahnya, bahkan status kami pun tak pernah terbahaskan. Lalu, apa yang kami bincangkan? Entahlah. Kalau kulihat dari chat-chat kami, isinya sangat random. Sering absurd dan kadang membosankan. Garing kriuk-kriuk. Tapi tetap kunikmati hubungan yang seperti itu.

Tapi sampai kapan semua ini akan begini saja? Ibu memang tidak pernah bertanya apa pun. Mimosa Cakery berjalan tanpa ada cerita lain selain memasak, menghias, dan menjual.

Alasan utamaku tentu saja Ibu. Aku sangat yakin seyakin-yakinnya, Ibu tak akan suka jika tahu aku berhubungan cukup akrab dengan lelaki walau hanya sebatas teman saja tanpa melibatkan perasaan lain.

Perasaanku?

Nah, ini bagian yang lebih rumit daripada bermain aman tadi. Aku seperti menahan sesuatu. Ada yang ingin kurasakan tapi kutekan sampai rasa itu terhimpit sesak di ruang batin.

Aku membiarkan waktu mengalir dan menikmati alirannya, tapi aku membendung perasaanku. Mungkin aku bermain api, itu karena aku nyaman dengan kehangatannya. Kehanganatan yang baru pertama kurasa. Api yang kuatur nyalanya agar tak membakar aku.

Sebenarnya, aku tahu rasa apa itu. Tapi itulah kerumitannya. Aku berusaha menekannya karena doktrin Ibu. Dan semakin hari doktrin itu semakin melemah. Aku sering mempertanyakan keabsahan doktrin itu saat melamun memikirkan dia. Tapi, pun aku sudah melepas doktrin itu, tetap saja aku tak bisa melawan petuah Ibu. Aku tak mau menjadi batu karena durhaka pada Ibu.

Sampai suatu malam di tiga jamku kami membahas bacaanku. Lalu kukatakan bahwa buku yang kemarin kami beli sudah habis terbaca. Dia langsung mengajak aku pergi lagi yang aku iyakan tanpa syarat.

Dan seperti yang sebelumnya, dia menjemputku di tempat yang cukup jauh dari toko ibu. Kali ini kami santai memilih buku. Kami sempat membahas beberapa judul, saling menghina selera baca masing-masing, lalu tergelak bersama sampai harus menutup mulut ketika beberapa petugas toko melihat ke arah kami. Kali ini kami seperti tak diburu waktu. Kami sempat makan siang di restoran cepat saji. Lalu duduk-duduk santai menunggu sore di kedai kopi.

Dia begitu serius ketika mendengar keinginanku mengembangkan Mimosa Cakery menjadi kedai kopi. Konsep yang kuceritakan dia kembangkan lagi dengan kemampuannya di bidang bangun membangun bangunan. Kami berbincang seakan besok pembangunan Mimosa Coffee Shop sudah akan dimulai. Dia begitu bersemangat mendukung keinginanku. Keinginan yang dulu hanya kuanggap angan-angan semu sekarang mendadak menjadi impian terbesarku. Kami bahkan sampai menyusun menu. Dia bisa menghidupkan imajinasiku tentang kedai kopi.

Dia mengajakku berkeliling melihat kedai-kedai kopi yang bisa menambah ide untuk kedaiku sendiri. Ajakan yang segera aku iyakan. Akan sangat menyenangkan menikmati kopi dan penganan sambil melihat dan mempelajari bagaimana mereka menyajikan pesanan kami bersama dengan orang yang mendukungku.

Itu yang membuat kami lupa waktu. Kami bukan lagi menunggu sore, tapi kami menghabiskan sore di kedai itu. Matahari yang mulai menghilang mengingatkan kami untuk pulang. Pulang seperti membuat kami kembali ke dunia nyata bahwa ada Ibu yang tidak boleh tahu ke mana aku pergi seharian ini. Bukan ke mana aku pergi, tepatnya dengan siapa aku pergi.

Dia kembali menurunkan aku di tempat tadi. Dan senyum-senyum yang kami beri terasa lebih berisi. Aku merasa lebih bahagia dari sebelum aku pergi. Ternyata, menikmati hari berdua itu lebih menyenangkan daripada sendiri.

Aku berjalan pulang dengan langkah ringan. Sambil berdendang lagi cinta tanganku yang berisi penganan dari kedai kopi terayun nyaris terlempar-lempar. Beberapa tetangga yang melihatku berjalan seperti itu hanya kusapa dengan senyum apa adanya. Mungkin mereka merasa aneh dengan tingkahku.

Ya...

Aku pun merasakan keanehan itu.

Di rumah, aku disambut Ibu yang berdiri di ambang pintu depan. Matahari benar-benar sudah hilang. Aku langsung mengganti mode jalan. Kali ini tergesa-gesa. Maghrib hampir habis. Aku memang beberapa kali mengabarkan Ibu bahwa aku masih di luar. Tapi tetap saja Ibu menungguku seperti aku menghilang berhari-hari. Begitulah Ibu. Itu salah satu caranya menunjukkan kasih sayangnya. Aku tidak terganggu.

Sekarang yang penting adalah bagaimana caranya menghilangkan seringai bodoh di wajahku. Kalau seringai itu tidak bisa hilang, aku harus mencari alasan kenapa seringai itu sampai ada.

"Kamu dari mana aja sih, Mo? Tumben amat sampai malam gini."

I"ve told you before.

"Mimo dari warkop, Bu. Mimo mau bikin warkop juga."

"Warkop? Warung kopi?"

"Bahasa kerennya sih coffee shop, kedai kopi. Ya warkop-lah."

"Apa hubungannya sama kamu pulang malam gini?"

"Ya elah, Bu. Mimo tinggalin warkopnya juga sudah mau maghrib. Ya sampai rumah malam lah."

"Ya ngapain kamu di sana sampai selama itu?"

"Mikirin konsep warkopnya." Mulai tergagap. "Biar nanti Mimo tinggal kembangin sendiri."

"Memang kamu mikirnya sama siapa?"

Dan aku tidak bisa spontan menjawab. Ibu bisa membaca itu.

"Sama teman, Bu."

"Siapa?"

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

"Siapa, Mo?"

Satu detik.

Dua detik.

"Shaq."

Ibu berkedip satu kali.

"Kamu janjian sama dia?"

"Mimo ketemu dia di jalan, Bu. Ibu kan lihat tadi Mimo berangkat sendiri."

Aku tidak bohong kan?

"Bagaimana ceritanya bisa ketemu?"

"Habis beli buku Mimo lapar, terus makan, terus santai di warkop."

"Ketemu sama dia di mana?"

"Ya di sana lah, Bu." Entah di sana di mana.

"Ngapain dia ada di sana juga?"

"Ya ampun, Bu.... Mall itu tempat umum, biasa aja kali ketemu siapa aja di sana. Baru juga sekali ini Mimo pulang malam terus ngobrol sama orang lain, eh, Ibu sudah interogasi Mimo kayak Mimo bandar narkoba ketangkap."

"Yang pertama itu bukan berarti yang terakhir. Dan yang kamu sebut orang lain itu laki-laki. Makhluk yang punya kepala tapi nggak punya otak."

Itu kepalanya yang bawah, Bu. Kepalanya yang atas sangat berisi. Dia cerdas.

Jika kujawab seperti itu, kira-kira, apa respons Ibu ya?

"Ibu nggak suka kamu kayak gitu ya, Mo." Matanya menatapku tajam. Setajam silet.

"Iya, Bu. Mimo tau."

"Sudah tau kenapa dikerjain?"

"Ya kebetulan aja kali, Bu. Masa di warkop terus diem-diem bae."

"Nggak usah ke warkop itu lagi."

"Iya, Bu."

Masih banyak warkop yang lain, kataku dalam hati. Tapi dalam hati pun aku juga berjanji untuk tidak pergi lagi dengan Shaq. Paling tidak dalam jangka waktu dekat ini.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now