Bab 26, Menghangat

595 121 12
                                    

Hari-hariku memang berlangsung seperti biasa. Tapi ada yang lain yang sering menggangguku. Keinginan untuk menyapanya.

Kerinduan?

Ya...

Aku membiarkan hubungan ini kembali menggantung. Sudah nyaris sebulan tak ada satu huruf pun terkirim untuknya. Kami pun masih belum berteman di Facebook. Tetap tak ada friend request darinya. Tapi beberapa kali-oke, baiklah, sering kali-aku bertandang ke akunnya.

Tak ada apa-apa. Dia bukan lelaki yang cerewet di sosmed. Hanya status-status singkat tentang kesehariannya dan joke-joke ringan khas Shaq. Tak ada cerita panjang dan jarang sekali foto.

Sampai suatu malam-tengah malam-aku sudah di ranjang bersiap tidur. Bersandar di kepala ranjang, kusambar ponsel dari nakas. Bermaksud beristirahat sambil berselancar di dunia maya. Tapi nyatanya dunia maya yang kumaksud adalah aplikasi sosial media yang ada akunnya di sana. Aku langsung menuju aplikasi itu dan mengetuk kolom pencarian. Namanya ada di paling atas-tanda nama yang terakhir dan paling sering kucari. Kulihat dia baru beberapa jam lalu mengganti profile picture. Aku langsung semakin fokus. Temannya cukup ramai berkomentar, tapi hanya dia balas seadanya saja. Bahkan ada yang hanya mendapat emo tertawa saja darinya.

Kuperhatikan foto itu lebih saksama.

Foto itu hanya penampakan meja kerjanya yang berantakan. Termasuk segelas kopi yang tidak terisi penuh dengan bibir gelas penuh ampas kopi. Pandanganku menyapu cepat foto di layar ponsel. Sebuah penampakan membuatku tersengat. Di sekitar gelas kopi.

Bukan gelas kopi berampas itu yang menyengatku. Sebuah plastik pembungkus yang menyentakku. Di sudut foto, sangat tidak mencolok. Seperti hanya sampah sisa makan yang belum dia buang ke tempat sampah. Logo di plastik itu pun terpotong, tak tertangkap lengkap. Tapi aku sangat mengenal logo itu.

Itu bungkus Mimosa Cakery kemasan lama. Logonya sudah kuganti sejak ada coffee shop.

Caption foto itu singkat saja.

Pengobat lelah... dan rindu.

Nyaris jatuh ponselku ketika melihat bungkus itu. Lusuh, tapi masih ada. Dan kemasan lama. Jika kemasan baru aku bisa saja berpikir bahwa dia memesan dari toko. Tapi kemasan lama...

Mendadak aku limbung. Dan ruang rinduku terasa sangat sesak.

Kututup mulutku yang mengnganga dengan sebelah tangan dan mataku masih mendelik menatap bungkus itu. Foto ter-zoom maksimal di sudut yang menampakkan bungkus Mimosa Cakery. Aku masih terpana, tapi aku harus bergegas sebelum berubah pikiran. Dengan tangan bergetar aku membuka aplikasi pesan singkat sosmed itu. Tanganku masih bergetar ketika mengetik pesan singkat.

Mimosa Cakery : aku ke sana besok.

Dan balasannya langsung masuk. Aku hanya diam menatap pesannya yang masuk satu per satu.

Shaq Rajendra : Masuk aja langsung ya, Mo.

Shaq Rajendra : Aku nggak pulang malam ini.

Shaq Rajendra : Nggak tau siapa duluan sampai sana.

Mimosa Cakery : oke

Dia menutup chat kami dengan emo senyum.

***

Katanya dia tidak pulang semalam. Artinya dia pulang hari ini. Entah pagi atau siang. Mengingat itu, aku merasa tidak perlu terburu-buru ke sana. Aku tergoda membawakan penganan untuknya. Bahkan aku bermaksud membawakan dia makan siang. Tapi seharian ini Ibu di rumah. Membawa wadah ke luar berarti memancing pertanyaan dan bisa memancing keributan.

Aku pergi melenggang saja.

Sudah bukan pagi tapi belum tengah hari ketika aku sampai. Ruangan ini gelap, Tidak ada tirai yang terbuka.

Dia belum pulang. Itu kesimpulanku.

Aku belum pernah ke sudut lain ruangan ini. Walau ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dan dapur berada di satu ruang mungil, aku hanya pernah menyentuh loveseat-nya saja. Ada dua pintu yang terlihat. Pintu balkon dan kamarnya. Kuperiksa dapur. Tak ada tanda kehidupan di dapurnya. Kubuka lemari es. Sama saja. Dia tidak perlu benda ini di rumahnya. Ini lebih parah dari perkiraanku. Aku harus membeli bahan dan semua bumbu jika ingin memasak.

Baiklah.

Di bawah ada fresh market. Pasti di sana cukup lengkap jika aku hanya ingin membuat ayam kecap dan bukan rendang. Setelah memastikan tungkunya berfungsi, dan ada alat masak seadanya di lemari, aku berbalik arah ke pintu depan. Tapi pintu kamarnya menggodaku. Memanggilku ke sana. Membuat arah kakiku berbelok. Perlahan kubuka pintu itu.

Aku terkejut mundur selangkah ketika kulihat ada sosok yang tidur di sana. Sosok yang langsung kukenali sebagai dia. Tidur terlentang dengan satu kaki menjuntai ke bawah. Dadanya naik turun pelan teratur. Tidurnya begitu lelap sampai tak sadar ada yang masuk sampai ke kamarnya seperti ini.

Kutatap sosok itu. Begitu kelelahan. Dia bahkan belum berganti baju. Masih berpakaian lengkap dengan kaus kaki. Aku menikmati pemandangan ini. Dia yang lelap, lelah bekerja, membuat hatiku menghangat. Sedikit terenyuh melihat kondisinya. Tak terurus. Seperti kondisi ruangan ini. Tidak terlalu berantakan tapi aku tahu, ruangan ini jarang tersentuh sapu.

Aku terus mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Sampai pandanganku terhenti di meja rias. Lampu notifikasi berkedip. Tapi tatapanku tak berkedip melihat bungkus kemasan Mimosa Cakery yang tertindih ponsel. Berdampingan dengan jam tangan dan kacamata. Perlahan, aku berjalan ke sana. Seperti menegaskan penglihatanku. Kuambil bungkus itu, sudah sangat lusuh. Dan kusut.

Lima tahun.

Tanpa kusadari kuremas bungkus itu ketika menoleh ke sosoknya. Degub jantungku tak berhenti walau kutahan dengan tangan yang meremas kemasan lama Mimosa. Tanpa sadar aku terus menoleh ke arahnya. Dia masih tidur. Tetap lelap. Tak terpengaruh kekacauan yang dia timbulkan dalam hatiku.

Aku terus berdiri diam bersandar di meja rias. Sampai aku bisa menenangkan badai ini, baru kukembalikan kemasan itu kembali ke tempatnya semula. Kuusahakan tidak berubah posisi.

Di luar kamar, aku berdiri bersandar di pintu. Menghitung satu sampai entah hitungan ke berapa, sampai badai itu lebih mereda dan aku bisa melangkah.

***

Bahan yang kubeli sangat seadanya. Sekadar cukup untuk dia makan. Bahkan beras pun aku beli. Aku benar-benar tidak yakin dia menyimpan sebutir beras di rumahnya.

Tak lama, aku sudah di dapurnya. Aku sangat tidak suka jika menemukan rambut di makanan. Kugelung asal rambutku, kutusuk dengan sumpit yang kutemukan di meja. Benar-benar sebelah sumpit, bukan sepasang. Lalu aku mulai bekerja. Aku cepat beradaptasi dengan dapurnya yang super mungil. Dan yang aku masak hanya ayam kecap dan tumis pokcay. Aku tak bisa banyak bergerak dengan kondisi isi dapur yang kosong melompong. Tapi aku memang selalu menikmati kegiatan memasak. Bahkan di dapur baru, aku sudah merasa akrab dan menjadi penguasa dapurnya.

Aku benar-benar terkejut ketika tiba-tiba sepasang tangan memeluk perut dan sebuah hidung mendengus di tengkuk. Tubuhku langsung menegang, kaku.

Jeritanku tertahan panas napas di tengkukku.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now