Bab 15, Bubur Ayam Tanpa Aksesoris

651 122 12
                                    

Yang kurasakan adalah Shaq yang menjaga jarak dariku. Di tiga jamku, dia tak pernah lagi muncul walau beberapa kali kulihat dia ada di rumahnya. Sungguh hanya sesekali. Yang sering adalah dia tak ada di rumah. Dan tak terasa sudah lebih sebulan yang lalu kami berbincang.

Sampai suatu malam, saat aku akan mengunci pagar, kulihat seorang driver ojek online berdiri di depan rumahnya. Di depan pagar kecilnya yang berarti sangat dekat denganku. Dia menyapaku dan menanyakan nama penghuni rumah. Kubenarkan bahwa penghuninya bernama Shaq. Kulihat dia menbawa bungkusan berlogo sebuah restoran. Sudah lima menit dia menunggu pengorder muncul. Teleponnya pun tak dijawab.

Tapi tak lama yang ditelepon muncul. Kulihat wajahnya pucat.

"Sorry, Pak. Lagi di kamar mandi." Dia menyerahkan selembar uang berwarna merah. "Kembaliannya ambil aja. Maaf sudah nunggu lama."

Dan driver pun pergi dengan wajah sumringah.

"Sorry, Mo. Gue masuk dulu ya." Dia bergegas masuk.

"Lu sakit, Shaq?" Dia tak menjawab pertanyaanku. Hanya mengangguk lalu masuk.

Lalu paginya, ketika mengurus tanaman, kulihat ada mobil lain terparkir di depan rumahnya. Ibu yang baru datang dari toko pun melihat hal yang sama. Arah tatapannya mengatakan itu. Tapi untuk apa kami bahas? Membuat Ibu membantuku mengurus tanaman. Maka kuambil sapu lidi dan mulai menyapu.

Saat menyapu itulah pintu rumah sebelah terbuka. Menampakkan seorang wanita cantik-sangat cantik-yang bukan Deb. Tak lama, pemilik rumah pun terlihat. Masih terlihat lusuh. Tapi wanita itu tanpa sungkan memeluk dan mencium pipinya. Yang dipeluk dan dicium diam saja. Semua terjadi dalam hitungan tak sampai semenit.

Sudah cukup.

Aku kembali melihat jalan yang kusapu setelah sebelumnya aku tak melihat jalan malah melihat rumah sebelah. Tak lama suara mobil menderu membuatku mengangkat wajahku dari ujung sapu. Saat itulah pandangan kami bertemu. Jarak kami cukup jauh untuk saling membaca tatapan. Yang bisa kutangkap hanya senyumnya saja. Senyum sekilas dan dia berlalu masuk rumah.

"Dia sering ketamuan kayak gitu, Mo?"

"Siapa? Shaq?" tanyaku dan Ibu mengangguk. "Nggak tau juga. Mimo baru dua kali ngelihat ada tamu."

"Perempuan juga?"

"Iya."

"Yang tadi?"

"Bukan."

"Memang semua lelaki buaya!" Ibu masuk meninggalkan aku sendiri memegang sapu lidi.

I've told you before.

Ibu akan berpikir seperti itu tentang Shaq. Sampai saat ini, Ibu belum tahu tentang pertemuanku dengan Shaq. Setumpuk buku yang kubawa menjadi alasan kenapa aku pergi seharian. Dan Ibu tak pernah protes dengan apa pun yang aku beli. Aku bebas membelanjakan uangku. Tapi apa yang kubeli? Tak ada. Aku tak butuh banyak. Baju santai untuk bekerja harganya tak seberapa. Itu pun Ibu yang sering membelikan. Make up dan aksesoris aku tak butuh. Uangku hanya pergi ke toko buku.

Aku masuk disambut harum masakan Ibu. Aku menunda membersihkan rumah demi perut laparku. Selesai makan, aku kembali memegang sapu dan lap. Dapur Minosa hanya selewat saja. Tapi yang selewat itulah aku melihat penghuni rumah sebelah. Dari jendela besar terlihat dia duduk di kursi meja makan. Dia meminum obat. Dia masih sakit. Kutinggalkan dia duduk memegang gelas untuk melanjutkan mengepel lantai. Dan ketika sampai di dapur Mimosa kembali kulihat dia. Tubuhnya telungkup di meja dengan sebelah lengan menjadi alas kepalanya sedangkan sebelah lagi memegang perutnya.

Lalu dia bergerak. Menyendok entah apa di styrofoam. Lama memandangi isi sendoknya, lalu terlihat sangat malas menyuap masuk isi sendoknya. Dia membanting sendok kembali ke wadahnya. Lalu tangan yang sama menutup mulutnya. Gerakan kepalanya menunjukkan dia berusaha menahan makanan itu agar tak keluar lagi. Lalu dia kembali ke posisi telungkup di meja.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now