Bab 20, Caught In the Act!

604 119 32
                                    

Dan aku sungguh-sungguh meng-install Telegram. Kalau perlu akan kuinstall aplikasi berkirim pesan yang lain.

Mimosa Cakery : Shaq…

Shaq Rajendra : Hai.

Shaq Rajendra : Apa kabar?

Mimosa Cakery : Baik

Mimosa Cakery    : jangan WA gue.

Shaq Rajendra : Kenapa?

Mimosa Cakery    : Dilarang sama Ibu

Shaq Rajendra : Terus?

Mimosa Cakery    : ya Telegram-an aja.

Mimosa Cakery : Ribet amat lu.

Mimosa Cakery    : Kayak Ibu aja

Dia hanya mengirimkan berjenis-jenis emo tertawa dan emo-emo yang lain termasuk emo binaang, buah, tools, bendera negara, olahraga, musik, … mungkin semua emo di Telegram dia ketuk lalu kirim. Berjajar sampai beberapa baris.

Sepertinya hubungan ini memasuki era Telegram. Aku hanya berpikir, apa kami akan menjalani era berkirim surat dengan merpati pos?

Hubungan ini?

Ini hanya keakraban bertetangga saja.

Demi kebaikanku sendiri, kembali aku menambal lubang di bendungan perasaanku yang berkali-kali nyaris jebol.

***

Telegram membuat chat kami kembali aktif. Berbeda dengan ikon WA yang ada di samping phone book dan call, kusembunyikan ikon Telegram di sudut kanan bawah di sebuah folder yang jarang terbuka di halaman terakhir. Ini hanya upaya mengecoh Ibu saja. Jika di dekat Ibu, kuusahakan tidak memegang ponsel. Kalaupun iya, aku rajin membersihkan halaman yang aktif. Antisipasi jika Ibu tiba-tiba menyambar ponsel lalu membuka aplikasi yang terakhir aktif. Meski rasanya mustahil Ibu akan berpikir setaktis itu, tapi tetap saja kulakukan. Antisipasi saja.

Telegram menjadi jalan kami berbincang, sedangkan jendela menjadi akses kami bertemu. Jarak tiga meter dan malam yang sepi membuat kami bisa berbincang tanpa perlu mengeraskan suara. Ini seperti berbincang di ruang tengah saja. Santai. Sambil menikmati kopi dan penganan. Bahkan beberapa kali kulemparkan makanan ke arahnya. Dia akan bersungut-sungut jika lemparanku meleset. Membuat dia harus turun mengambil peluru salah sasaran itu ke halaman samping.

Telegram dan jendela, terjadi di hampir setiap malam. Tapi tetap saja, hanya hal absurd yang kami bahas. Begitu randomnya sampai aku tak bisa mengingat apa yang kami bahas. Saat ini kami membahas rencana kedai kopi. Tadi siang dia memang menanyakan kelanjutan rencana itu. Kami membahas itu lagi lebih serius sekarang.

Aku merencanakan pembangunan bertahap. Kami membahas untuk awal, kami akan menggunakan lantai dua ruko toko kue dan toko sembako. Kedepan, mungkin aku perlu “mengusir” satu per satu penyewa di dua ruko lain. Membayangkan itu saja sudah membuatku senang dan terkekeh riang. Shaq hanya tersenyum melihatku seperti itu.

Dia sudah menghitung berapa biaya yang harus aku siapkan. Ah, itu bagian dari pekerjaannya. Di situ aku merasa beruntung. Dengan patokan angka dari Shaq, aku bisa membahasnya dengan Ibu. Aku harap tabungan kami bisa menutupi itu tanpa harus berhutang.

Tapi, jika membahas itu bisa membuat Ibu bertanya, “dari mana kamu dapat angka segitu?”, lebih baik kuundur dulu. Aku meminta Shaq mencarikan tautan hitung online. Data dari sana yang akan kuajukan pada Ibu. Ternyata itu hanya perkara mudah untuknya. Dia langsung memberikan tautan padaku lalu berdasarkan tulisan di artikel itu dia mengajari aku cara perhitungannya. Sangat sederhana dan kami upayakan angkanya mendekati angka perhitungannya.

Tiba-tiba sebuah cahaya menyorot wajahku. Aku sangat terkejut. Dan terkejutku pun belum selesai ketika cahaya itu ganti menyorot wajah Shaq. Dia pun sama. Cahayanya tidak terlalu kuat menyorot, tapi malam segelap ini, tentu mudah mengenali wajah-wajah kami.

Hansip kah?

Lalu cahaya itu bergantian menyorot kami beberapa kali sampai aku sadar siapa yang melakukan itu.

Ibu.

Kali ini sepertinya tidak ada ampun bagi kami.

Aku membeku di ambang jendela. Menatap ke bawah lalu melihat ke arah Shaq. Dia pun sama. Terkejut memasang tampang terperangah. Lalu aku membali menatap ke bawah dan tak berani lagi menatap ke sebelah. Aku tak tahu apa yang Shaq lakukan sekarang saat aku pun bingung harus melakukan apa kecuali menunggu.

Lalu cahaya itu menghilang. Kepergian ibu membuat kami saling menatap masih dengan wajah kaku. Tak lama suara pintu terbuka cepat terdengar di belakangku. Aku langsung memalingkan wajah ke arah pintu.

Ibu berjalan cepat ke arahku, langsung menutup jendela lalu berkata dengan mata mendelik senpurna ke arahku.

“Tidur di kamar ibu. Sampai urusan ini selesai, kamu nggak boleh tinggal di kamar ini lebih dari lima menit.”

Aku yang masih terkejut hanya bisa diam mendengar perintah Ibu. Berusaha mencerna artinya. Tapi Ibu lebih sigap membantuku mengartikan kalimatnya. Ibu menarikku berdiri dari kursi dan menggandeng tanganku setengah menyeretku turun.

Dugaanku sepertinya benar. Kali ini tiada ampun bagiku. Entah akan jadi apa aku nanti.

“Tidur!”

Ibu menunjuk sisi dinding, aku beringsut ke sana. Ibu benar-benar akan mengurungku dengan tubuhnya. Aku tidak bisa ke mana-mana tanpa Ibu terbangun. Ponselku tertinggal di atas. Tanpa pasword. Aku tak berharap bisa berkirim kabar sekarang, hanya aku berharap Ibu tidak mengambil ponsel itu sekarang. Izinkan aku lima menit meng-uninstall Telegram.

Setelah aku tersudut di ranjangnya, Ibu pergi. Tapi tak lama. Ibu kembali sambil mengacungkan ponselku.

“Blokir nomor dia!” Ibu menyodorkan ponsel ke depan wajahku. Benar-benar nyaris menyentuh hidungku.

Mengambil ponsel itu, aku melakukan perintah Ibu.

“Mimo, dia cowok brengsek. Bukan cuma sekali dia masukin cewek ke rumahnya. Waktu malam itu ada mobil? Itu mobil ceweknya. Yang Ibu lilhat dia sudah lima kali terima tamu tengah malam.” Ibu mengacungkan sebelah tangannya dengan posisi jari terentang lebar ke depan wajahku.

Lima kali?

“Mobilnya nggak pernah sama,” lanjut Ibu lagi. “Selama ini Ibu diam saja karena itu bukan urusan Ibu.” Ibu menyambar ponselku lalu melemparnya ke nakas. “Tapi kalau dia macam-macam sama kamu, Ibu nggak akan diam.”

Aku tertunduk memainkan jari.

“Lima kali itu yang Ibu lihat sendiri ya, Mo. Yang Ibu nggak sadar, nggak tau berapa kali. Belum lagi kalau ceweknya datang nggak bawa mobil. Nggak ketauan sama sekali.”

Aku mengingat-ingat kapan kami melewatkan malam tanpa chat? Jarang. Kapan waktunya dia mendatangkan perempuan? Apalagi yang tanpa membawa kendaraan.

“Mo, cukup Ibu aja yang ngerasain pengkhianatan. Sakit, Nak. Sakit.” Ibu mulai terisak. “Kamu nggak usah ngerasain sakit yang sama. Cukup Ibu, Nak,” isaknya semakin keras. “Ibu sayang banget sama kamu. Kamu nggak boleh sakit.”

Aku sudah menyeruduk masuk ke pelukan Ibu. Lalu kami menangis bersama.

Bendungan perasaanku pada Shaq jebol bersamaan dengan tangisku.

Ibu tak mungkin berbohong. Tapi hati pun tak bisa. Aku jatuh cinta dan aku langsung patah hati.

Seperti ini saja sakit, Bu.

*** 

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora