Bab 30, Shaquille, Kamu Terlalu Banyak Janji

741 112 19
                                    

Aku butuh sendirian. Menunggu waktu aku cukup segar untuk melihatnya melalui ponsel.

Ponselku! Ponsel Jolie!

Bergegas kususupkan ke bawah bantal.

Tapi wajah cemas yang muncul dari arah kaki membuatku nyaris mati dengan cara lain.

"Ya Tuhan... Mimo kamu kenapa?" Dia menerjangku. Duduk berlutut di sampingku. Meraba wajahku. "Kamu nggak demam kok, Mo." Meraba pipiku. "Kamu sudah minum obat?" Aku menggeleng. "Makan?" Aku menggeleng lagi.

"Aku beli makan sebentar ya." Dia mengangkat tubuhnya. Dalam posisi setengah berdiri, kutahan tangannya.

"Don't go, Shaq."

"I won't." Dia kembali berlutut. "Tapi kamu harus makan."

"Order aja."

"Lama sampainya, Mo."

"Aku nggak akan langsung mati nunggu setengah jam."

Dia langsung meraih ponselnya. Mengetuk dan mengetik cepat.

"Obat kamu di mana?"

Aku menggeleng. "Kosong." Masa periodik yang sakitnya hanya sesekali muncul dan kadang tak butuh obat. Kalaupun ada, mungkin sudah kedaluarsa.

Dia kembali mengetik di ponselnya. "Apa?"

"Asam mefenamat aja. Kalau nggak ada, ibuprofen." Aku memberi opsi.

Dia kembali mengetik.

"Kamu butuh apa lagi?"

Aku menggeleng.

All I need is you.

Aku ingin menangis, lalu aku mulai terisak. Dia langsung duduk di kursi di sampingku. Aku tetap meringkuk.

"Kamu kenapa, Mo?"

Aku menggeleng.

Salahkan saja semua hormon yang bekerja periodik menyiksa wanita. Tanpa hormon-hormon sialan itu wanita sangat mudah terbawa perasaan. Dan kondisiku yang galau membuat semua bersinergi menjengkelkan. Mungkin ketika dini hari tadi aku tidak bisa mengontrol emosiku karena horman sialan ini juga.

"Kamu kenapa? Seharian WA di-read aja tapi nggak di-reply. Aku gelisah." Dia membelai keningku. Menghapus keringatku.

"Nggak apa-apa, Shaq. Aku cuma lagi dapat aja."

"Sakit banget ya?"

Aku mengangguk.

"Tiap bulan begini?"

Aku menggeleng. Lalu kurasakan tangannya membelai di pinggang. Cukup keras untuk disebut memijat.

Tuhan, ini nyaman sekali.

"Kamu sudah tidur, Mo?"

Aku menggeleng, dia tetap memijat pinggangku.

"Kamu?"

"Tidur aja kalau kamu bisa tidur." Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tapi lingkaran hitam sangat jelas di matanya.

Tidak tidur, tidak makan, dan periode yang datang. Pantas tubuhku berontak seperti ini.

"Ibu ke mana, Mo?"

Aku ingin membunuhnya!

Kenapa dia mengingatkan aku tentang Ibu di saat dia memberiku kenyamanan seperti ini?

"Kamu mau pulang?" tanyaku.

Dia menggeleng.

"Aku gelisah kamu nggak reply chat. Aku nggak mikir Ibu. Aku cuma terjebak di meeting yang nggak bisa aku tinggalin. Makanya aku nggak bisa langsung ke sini. Sekarang seharusnya meeting lagi, tapi aku rescheduling aja."

Ruang Rindu [16+ End]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora