Bab 13, Kisahnya

698 130 39
                                    

Ya...

Aku mengiyakan ajakannya. Dan di sinilah aku sekarang. Beberapa ratus meter dari mulut gang, menunggunya datang. Tapi itu tak lama. Karena aku tahu, dia melihatku ketika aku keluar rumah. Ini terasa aneh. Aku ada di sini demi menjaga mulut dua orang karyawanku tak ribut menggangguku. Tapi, di sudut hati yang lain, aku tak mau Ibu tahu. Ak-

"Naik, Mo." Dia menurunkan jendela di sisi penumpang. Aku bergegas naik.

"Mau ke mana sih?"

"Lu mau ke mana? Gue antar." Dia terlihat sangat santai memainkan kemudi. Suara musik mengalun santai.

"Ya lu mau ke mana?"

"Ke mana aja asal bisa ngobrol santai." Dia melirik spion, tapi aku merasa dia juga melirikku. "Lu bohong apa sama Ibu?"

"Enak aja! Gue nggak pernah bohong sama Ibu!"

Dia terkekeh. Kembali menjadi makhluk menjengkelkan. Eh, dia selalu menjengkelkan.

"Iya deh. Anak baik nggak pernah bohong. Lu kan patuh sama Dasa Darma Pramuka dan Sapta Marga Prajurit." Dia masih terkekeh. "Lu bilang apa ke Ibu sampai bisa pergi begini?" ralatnya.

Ganti aku yang terkekeh. "Beli novel ke Gramed."

"Oke, kita ke sana dulu." Dia mengarahkan mobil ke kiri.

"Eh, kanan kali."

"Kan lu nggak bilang di Gramed mana ke Ibu. Ya bisa aja gue ajak lu ke Tunjungan Plaza kan?"

"Astaga!"

Tapi di depan dia berputar di U-turn. Lalu menuju ke tempatku biasa membeli buku.

"Ke sini juga," gerutuku.

"Lu beneran mau ke Tunjungan Plaza?"

"Tadi ngapain ke kiri?" Masih menggerutu.

"Dasar cewek ye. Dia pikir jalan punya dia sendiri. Tadi kita sudah nggak bisa ambil kanan."

Aku semakin mengerutu. Itu kebiasaanku jika di atas motor.

Kami benar-benar hanya membeli buku. Kebiasaanku, mengambil setumpuk buku berdasarkan cover, lalu memilih setelah membaca blurb. Tapi dia tidak mengizinkan aku membaca blurb terlebih dahulu. Setumpuk buku yang kuambil langsung dia bawa ke kasir.

"Sering-sering aja traktir buku," ujarku berbasa-basi ketika tangannya menahan tanganku yang membuka tas.

"Receh amat sih lu, Mo. Ditraktir buku doang bahagia."

"Tau gitu gua ambil banyakan ya." Aku mengabaikan sindirannya.

"Next time," ujarnya sambil menekan tombol di EDC. "Ayo." Dia menarik tanganku.

"Buru-buru amat sih!"

"Memang lu bisa pakai alasan beli buku berapa jam?"

***

Dan di sinilah kami sekarang. Di sebuah kebun besar peninggalan penjajah Inggris. Dia membawaku ke sini tanpa meminta persetujuanku. Tapi aku senang dengan pilihannya. Tempat ini sangat tenang di tengah pekan. Sepi. Bahkan mobil bisa bebas masuk.

Mobil bergerak sangat perlahan. Dan sepanjang itu kami diam. Sampai akhirnya dia memarkir mobil di bawah sebuah pohon besar. Lalu dengan sudut matanya dia mengajakku turun. Dia hanya menyambar dua botol air mineral sebelum menutup pintu mobil.

Aku mengikutinya berjalan menuruni titian dari batu alam yang disusun di antara tanah berkontur naik turun. Tempat ini begitu sepi. Kenapa aku tidak pernah berpikir untuk libur dan menikmati alam di sini?

Ruang Rindu [16+ End]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora