Bab 21, Tiga Puluh Detik

594 119 20
                                    


Tak ada akses lagi. Nomor terblokir dan jendela terkunci. Perlukah aku menunggu merpati pos?

Ini sudah hari kelima dari malam itu. Sejak pulang dari toko, kulihat Ibu berkali-kali melongok ke luar. Seperti ada yang dia tunggu. Lalu suara mobil terdengar dari sebelah. Shaq datang.

Ibu menghilang ke kamar, lalu keluar membawa sebuah document keeper. Tapi Ibu meninggalkan saja aku bertanya-tanya sendirian. Ibu melesat menuju pintu dan bergegas melewati pagar. Instingku mengatakan aku harus mengikuti Ibu.

Ibu masuk ke rumah sebelah lalu menggedor pintu.

"Bu, ini tengah malam."

"Diam!"

Tak lama Shaq keluar. Dan sebelum dia berkata apa-apa Ibu langsung menyerangnya.

"Rumah ini sudah saya beli." Ibu membuka document keeper di tangannya. Mengeluarkan isinya. Sebuah map berwarna hijau tua dengan logo burung garuda. Sertifikat tanah. "Kamu harus pergi malam ini juga."

Aku mendelik sempurna. Lalu kusambar map di tangan Ibu. Kucek, benar, itu data rumah ini. Darimana Ibu mendapatkan sertifikat rumah ini?

"Sudah yakin itu sertifikat asli rumah ini?" Ibu bertanya padaku. Bukannya menjawab aku malah memandang wajah Shaq.

Awalnya, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Terkejut atas kedatangan Ibu dan terkejut atas pengusiran Ibu. Tapi tak lama dia bisa menguasai dirinya. Wajahnya kembali terlihat tenang. Dia menatap ke arahku. Tatapannya seakan berkata semua akan baik-baik saja. Tapi ada kebenaran yang harus aku sampaikan ke Ibu.

"Bu, jangan lebay dong. Nggak ada apa-apa antara kami berdua." Aku nyaris merengek. Malu dan ... entahlah.

"Bagus kalau gitu."

"Ya kenapa Ibu ngusir dia?" Suaraku naik setengah nada. Antara merengek dan merajuk,

"Sebelum ada apa-apa, lebih baik dia nggak ada." Ibu menjawab tegas dengan tatapan lurus ke mataku.

"Bu, Mimo malu, Bu. Dia nggak pernah ngomong apa-apa. Kami cuma teman."

"Kalian belum jadi apa-apa saja sudah begini. Bahkan dia belum ngomong apa-apa. Sebelum kalian ngapa-ngapain, lebih baik dia pergi." Kali ini mata tegas itu menyala.

"Bu...."

"Kalau dia ngomong, jangan percaya. Kalau dia nembak kamu, itu cuma alasan biar dia bisa ngapa-ngapain kamu." Suara Ibu semakin tajam, matanya mendelik, dan kali ini Ibu mendengus menahan marah.

"Bu...." Sungguh, aku malu sekali. Shaq, dengan banyak wanita yang kecantikannya terlihat seperti dewi di mataku, dengan badan sintal berisi seperti gitar spanyol, dia tidak akan melirikku. Aku hanya seperti upik abu di matanya.

Tapi bagaimana aku mengatakan ini pada Ibu? Seorang Ibu selalu menganggap anaknya adalah gadis tercantik di dunia.

"Mimo, Ibu percaya sama kamu. Dia belum ngegombalin kamu dengan sejuta kata cinta." Tangan Ibu melambai meremehkan. "Dia cuma mainin kamu, Nak. Setelah dia dapat apa yang dia mau, dia akan pergi. Lebih baik dia pergi sekarang sebelum dia dapat apa yang dia mau. Dia pergi dan dia nggak akan datang lagi."

"Bu..."

"Sebelum kamu tertipu, mending dia pergi sekarang. Kalau dia nggak mau pergi, Ibu akan bikin dia pergi. Dan itu sekarang! Sebelum semuanya terlambat."

"Bu..."

"Pergi kamu sekarang!" Ibu mendesis ke arahnya sambil menunjuk pagar.

Aku nyaris pingsan melihat kemarahan di wajah Ibu. Dan melihat respons Shaq, sungguh, aku malu. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now