Bab 2, Aku dan Hariku

1.1K 199 8
                                    

Lalu apa yang kulakukan dengan tiga jam itu? Setelah makan malam, aku membuat coklat panas, menyiapkan dua jenis penganan dalam dua stoples berbeda, lalu melanjutkan membaca. Tentu musik sudah terdengar. Aku langsung larut dalam cerita. Musik yang lembut dan penganan di atas pangkuan membuatku berada di dunia yang lain.

Seperti kebanyakan gadis lain, aku suka membaca novel romance. Kehidupan percintaan mereka semacam hiburan bagi hidupku yang monoton.

Kehidupan percintaanku sendiri?

Aku tidak peduli urusan itu. Yang kuyakini, pangeran berkuda putih benar-benar hanya ada di novel saja. Lelaki tampan dengan otot tubuh terpahat sempurna yang baik hati dan tidak sombong dengan harta berlimpah dan calon penghuni surga yang sangat rajin beribadah dan bersedekah sekaligus pengurus masjid dengan pergaulan yang luwes sudah tidak diproduksi lagi. Kalau pun ada sisa stok, itu sangat jarang. Mungkin termasuk barang antik. Atau barang bekas pakai yang berbonus. Itu pun sering menjadi rebutan. Belum lagi bumbu drama perebutan lelaki. Aku tidak mau masuk ke kekacauan hidup seperti itu.

Larut dalam cerita, aku sudah melupakan si tetangga baru sampai waktunya aku ke toko. Sudah hampir jam sembilan. Setelah menyelipkan bookmark dan menutup buku, kumatikan pemutar musik dan kurapikan toples penganan.

Toko itu di jalan utama tak jauh dari jalan masuk ke rumah. Aku cukup berjalan kaki tak sampai sepuluh menit. Dan aku selalu berjalan kaki. Selain karena motor dipakai Ibu, aku juga suka berjalan kaki. Ketika aku mengunci pagar, tetangga baruku juga sedang menutup pagar lebarnya. Ada dua pagar di rumah itu. Pagar lebar untuk mobil dan pagar kecil untuk keluar masuk orang. Pagar kecil menempel dengan pagarku.

“Hai, Mo. Mau ke mana?” tanyanya ramah.

“Ke Ibu.” Aku masih mengunci pagar. Tak perlu digembok. Gang itu masih cukup ramai untuk ukuran gang rumahku. Para pekerja banyak yang baru pulang dan sedang melepas lelah santai sambil menikmati makan malam dan bercengkerama dengan keluarganya. Terlihat lampu rumah-rumah tetanggaku menyala terang terutama di ruang tengahnya.

“Di mana?” tanyanya lagi.

“Depan gang.” Aku berjalan tak acuh melewatinya.

“Bareng yuk,” ajaknya.

Aku berhenti sejenak, lalu kembali berjalan. “Makasih, gue jalan kaki aja. Dekat kok.”

“Ayolah, gue mau pulang dulu ke kos, pasti lewat jalan depan kan?” Dia masih berusaha mengajakku.

“Lain kali aja, Mas. Makasih ya.” Wajahku campuran antara berterima kasih dengan tawarannya, dan waspada. Lelaki dan orang baru. Perkawinan dua genus yang harus dihindari sejauh mungkin.

“Ya ampun, masih pake mas-mas-an. Shaq aja lah,” protesnya sambil berdecak malas.

“Makasih, Shark.” Jawabanku membuatnya terbahak lebar. “Eh, Shaq,” ralatku cepat.

Dia kembali berdecak. “Ayolah bareng, lu kayak bocah aja. Harus waspada sama orang baru.”

Deg!

Dia bisa membaca isi kepalaku. Apa ekspresi waspadaku sejelas itu?

“Kita kan tetangga.”

“Nggak kok, Shark, eh, Shaq. Gue memang mau jalan. Sekalian olahraga.” Kutatap matanya tajam, memintanya untuk tidak memaksaku. Seandainya dari tadi aku jalan, sepertinya aku sudah sampai di toko.

Yo wesh-lah, Mo.” Dia mengangkat alisnya sambil memajukan bibirnya. “Lain kali aja. Kita bakal sering ketemu kok. See you, Mo.” Dia melambai dan langsung masuk ke mobil. Tak lama, suara klakson terdengar sebagai salam dan pamit mendahului. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis sebagai balasan.

Toko masih ramai. Bisa dibilang waktu-waktu seperti sekarang adalah puncak keramaian toko kue ini. Itulah mengapa tenagaku dibutuhkan di sini. Ibu sedang memotong sponge cake sedangkan pekerjanya melayani pembeli lain. Beberapa orang sedang melihat-lihat etalase kue sambil melirik price tag di depan kue. Di sisi lain, seorang pekerja lain sedang melayani pembeli di toko sembako ibu.

Toko kue ini memang bersatu dengan toko sembako ibu. Ada empat bangunan milik Ibu. Ruko dua lantai. Satu Ibu jadikan toko sembako, yang tiga mulanya dikontrakkan. Ketika aku memulai usaha membuka toko kue, satu ruko yang menempel dengan toko Ibu kupakai dengan “mengusir” pengontrak sebelumnya. Hanpa perlu sedikit perbaikan lalu kami menggabung keduanya. Penggabungan ini membuat pekerja bisa saling membantu di tempat yang sedang ramai.

“Ibu sudah makan?” tanyaku sambil mengambil pisau, bersiap memotong kue, membantu Ibu memperpendek antrian.

“Sudah lah,” tangannya mengambil kotak lapis legit. “Ini dipotong berapa kuenya?” tanya Ibu kepada pembeli sambil tersenyum ramah.

“Tiga puluh aja, Bu.”

“Nggak ketipisan?” Ibu bertanya sambil tangannya bergerak mulai memotong.

“Nggak apa-apa, Bu. Biar banyak,” jawabnya. Ibu tersenyum sebagai jawaban. Tangannya semakin bergerak lincah memotong kue sesuai permintaan. Aku mengambil kotak lain dan melakukan yang sama. Bertanya, lalu memotong. Tapi berbeda dengan Ibu, aku hanya satu kali bertanya dan langsung memotong sesuai pesanan dengan senyum setipis kertas.

Waktu-waktu seperti ini memang sering menjadi puncak keramaian toko. Para pekerja yang pulang banyak yang singgah di toko agar membawa oleh-oleh untuk dibawa ke rumah. Sambil melirik toko sembako, mereka pun berbelanja sedikit, seingat yang berkelebat di kepalanya saja. Atau bisa juga sebaliknya. Awalnya mereka berbelanja di toko Ibu, tapi melirik toko kue. Mungkin tergoda harum kue. Lalu pulang dengan tentengan ekstra berisi kue.

Begitulan simbiosis mutualisme dua toko kami.

Makin hari toko ini makin ramai. Dulu hanya Ibu yang berjaga di sini. Lalu ketika pelanggan makin banyak, seorang pekerja membantu Ibu. Dan ketika toko kue semakin ramai, Ibu menambah seorang pekerja lagi. Dua toko kami bersinergi mengundang pelanggan.

Jarum jam sudah melewati angka sembilan ketika toko mulai sepi. Aku sudah bisa melihat-lihat nota order untuk besok sambil mengingat bahan apa yang harus kubeli. Tepatnya kuambil dari toko dan kubawa pulang. Biasanya yang kubawa pulang hanya bahan-bahan tambahan. Bahan pokok akan diantar langsung dari supplier ke rumah. Lepas itu, kami bersiap menutup toko. Dan tepat jam sepuluh, Ibu menarik pintu vertikal dan toko kami selesai beroperasi hari ini. Kami berboncengan pulang dengan motor Ibu merangkap motor operasional toko.

Sampai di rumah, Ibu langsung menyalakan TV dan aku membuatkannya secangkir teh panas. Aku sering menemaninya menonton TV sambil bertukar cerita. Ibu akan menikmati tehnya sampai sejam ke depan, lalu dia pergi menjemput mimpi.

Seperti itulah hariku berjalan, dari pagi sampai malam. Bisa dibilang, kami tak pernah libur. Toko kami buka tujuh hari seminggu. Hanya para pekerja yang libur satu hari seminggu. Kuatur waktunya agar empat orang itu bergantian libur di hari kerja. Selama bertahun-tahum rutinitas itu terasa baik-baik saja. Aku tak tahu, kapan aku merasa kemonotonan hidupku terasa membosankan. Aku menikmati hidupku, ritmenya yang datar tidak membuatku bosan.

*** 

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang