Bab 18, Everything is Okay, Mimo....

610 118 11
                                    

Tapi tidak kuceritakan soal itu kepada Shaq. Ketika dia bertanya aku hanya menjawab everything is under control. Dia hanya memberi emo ibu jari saja.

Sebenarnya aku ingin bercerita, tapi aku juga berpikir, cerita itu bisa menyerempet ke hal-hal yang lebih personal. Kecurigaan Ibu bisa menjadi pemicu pertanyaan-pertanyaan lain dari Shaq. Aku sudah nyaman dengan hubungan ini. Aku masih berpikir seribu kali setelah mendengar gaya hidupnya. Aku tidak tahu bagaimana dia sekarang. Kami tidak pernah membicarakan itu lagi. Pun dia sudah berhenti, berbagai jenis penyakit bisa bersarang di badannya. Itu cukup untuk membuatku menjaga jarak. Apalagi jika dia masih begitu, lebih baik aku menjaga badan dan perasaanku dengan menjalankan doktrin Ibu.

Sudahlah, biar saja interogasi Ibu menjadi rahasiaku. Ajakannya untuk pergi hanya kujawab nanti dan nanti saja. Dia pun tak terlalu memaksa.

Hubungan kami tidak terendus orang lain. Sudah kukatakan, gang buntu ini sepi. Dan jarak pagar rumah Shaq dan rumahku hanya sejengkal. Pagarnya menempel dengan pagarku. Begitu dia keluar, selangkah saja dia bisa menyelinap masuk pagarku. Dan itu pun tak sering.

Aku merasa aman. Semua baik-baik saja. Sampai di suatu malam, sepulang kami dari toko, aku menemani Ibu beristirahat sambil menonton TV. Ada film zaman dulu yang Ibu tonton untuk bernostalgi. Membuat Ibu mengundur waktu tidurnya. Kutemani Ibu sambil chat dengannya.

Dan kejadiannya adalah saat aku harus ke belakang. Begitu aku keluar dari kamar mandi, Ibu sudah berdiri dengan mata menyala menatapku.

"Kamu pacaran sama dia?" tuduh Ibu membentak kasar tanpa basa-basi. Ibu sering memarahiku-kami hanya ibu dan anak biasa-tapi tak pernah semarah itu.

"Apaan sih, Bu?" Aku mengulur waktu. Aku sudah tahu ke mana maksud tuduhan Ibu ketika kulihat Ibu memegang ponselku. Dia genggam erat di tangan kanannya.

"Jangan bohong, Mo." Tangan Ibu terangkat menunjukkan ponselku. "Kamu chat sama Shaq!"

"Masa chat doang langsung dituduh pacaran sih, Bu." Berlagak tenang tanpa dosa.

"Mimo!"

"Bu, nomor dia aja nggak Mimo save."

"Buat apa kamu save kalau sudah hafal karena setiap hari kamu chat sama dia!"

"Nggak. Bu. Sumpah. Mimo nggak ada hubungan apa-apa sama Shaq."

"BOHONG!"

"Mimo harus gimana biar Ibu percaya?"

Bahwa apa yang dilihat tidak bisa serta merta diterjemahkan dengan mata. Tapi, apa yang tidak terlihat biasanya bisa dirasakan oleh hati.

"Kamu nggak pacaran aja kayak gitu, gimana kalau kamu pacaran?" bentak Ibu lagi. "Kamu harus putus!"

"Ibu, gimana bisa diputusin kalau disambung aja nggak pernah?"

"MIMOSA JOLIE!"

Ini bukan marah yang biasa.

Ibu seperti akan meledak. Wajahnya memerah, bahkan matanya pun ikut memerah. Napasnya menderu, hidungnya sampai kembang-kempis berusaha bernapas normal. Ibu masih berdiri kaku tanpa bersandar di dinding. Tangannya mencengkeram erat kedua pahanya. Bertahan untuk tidak menyerangku. Lalu perlahan kulihat wajahnya berubah. Dia yang tadinya memerah sekarang memucat seperti tak berdarah. Berdirinya yang tadinya kaku menjadi limbung.

Instingku mengatakan, aku harus khawatir dengan kondisi Ibu.

"Bu..." Aku bergerak maju. Menyentuh bahunya. Tapi tangan Ibu menepis tanganku. Aku mundur beberapa langkah.

Tapi Ibu pun mundur, hingga punggungnya menabrak dinding. Dia bersandar di sana. Awalnya Ibu terlihat lebih baik, tapi itu hanya beberapa detik saja. Perlahan Ibu melemah lalu tiba-tiba Ibu merosot.

Ruang Rindu [16+ End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang