Bab 8, Kembali ke Ritme Semula

690 129 5
                                    

Pagi ini, walau seperti pagi yang lain, tapi terasa ada yang berbeda. Aku tak bisa menjelaskannya dengan kalimat sederhana. Seperti sederhananya butiran debu yang mengikuti embusan angin. Seperti sederhananya sapaan matahari di pagi hari.

Pagi ini memang pagi yang sama seperti pagi-pagi yang lain yang telah berpuluh tahun aku lewati. Tapi pagi ini aku merasa ada yang menghangat di hatiku. Aku bangun dengan geliat manja dan senyum simpul di wajah. Itu bukan hal yang biasa untukku. Biasanya, aku bangun dan aku bergerak sigap. Tak ada libur untuk pemilik toko.

Pagi ini tak biasa. Aku sudah sepenuhnya terbangun. Dengan mata terbuka lebar aku menatap langit-langit kamar. Dan senyum bodoh itu berkali-kali hadir di wajahku. Setelah senyum bodoh dan geliat manja yang terakhir, aku bergelung dalam selimut. Merasakan kehangatan di dinginnya udara pagi.

Kulirik jam di dinding, aku masih bisa melanjutkan acara bermalas-malas sampai setengah jam ke depan. Malah mungkin satu jam ke depan dengan catatan aku sedikit mempercepat gerakan membersihkan rumah.

Lepas menghitung waktu, aku bergelung semakin kecil sambil menyambar bantal dan memeluknya erat. Dan tanpa sadar isi kepalaku berlabuh di sosoknya.

Satu sisi, aku menunggunya, ingin melihatnya. Tapi di sisi lain, aku ingin bersembunyi seperti kemarin.

Semalam, dia memaksa mengantarku ke toko sampai ujung jalan seperti malam sebelumnya. Dia bahkan ingin mengantar sampai ke toko. Jadi kuasumsikan dia tidak menginap di rumah sebelah-rumahnya.

Tapi suara deru mobil di pagi buta mengganggu geliat manjaku. Entah untuk apa, entah mengapa, tapi aku bergegas ke balkon. Yang kulihat adalah mobilnya sudah bergerak menjauh.

Tadi malam dia menginap di sebelah.

Jadi dia sudah pindah ke rumah itu? Mungkin saja dia tadi malam kembali ke sebelah kan? Lalu ke mana dia pergi semalam lepas mengantarku ke mulut gang? Um, ke mananya itu tidak penting. Sepertinya lebih menarik jika aku bertanya, untuk apa dia mengantarku ke mulut gang?

Bolehkah aku melambung ketika yang terbesit di kepalaku adalah dia sengaja mengantarku?

Tidak!

Tidak boleh.

Segera aku kembali ke bumi. Kalau benar dia hanya mengantarku, tentu ketika aku pulang dia sudah ada di sebelah. Padahal aku yakin sekali rumah itu kosong ketika aku pulang. Aku yakin karena aku jelas memperhatikan rumah itu sambil menggembok pagar. Dan sampai aku tertidur, aku tidak mendengar suara-suara dari sebelah.

Aku masih terus berdiri di balkon memandang ke arah mobilnya yang menghilang.

Ini pertama kali aku bertingkah aneh seperti ini. Tapi selalu ada yang pertama untuk segala hal bukan?

***

Malam ini kunikmati tiga jam milikku di ruang tamu. Pintu setengah terbuka. Kukecilkan volume musik sampai hanya terdengar sangat lirih. Seperti biasa, sebuah novel dan stoples kudapan sudah ada di tangan. Tapi halaman yang kubaca nyaris tidak bertambah. Aku terlalu sering melirik ke depan. Bahkan mulutku tak aktif mengunyah. Meski begitu, tetap kulanjutkan acara 'membaca sambil mengunyah' walau tanpa progress yang jelas.

Tapi sampai jarum jam hampir menyentuh angka sembilan tidak ada kehidupan lain di sekitar rumahku. Tak ada suara pagar terbuka. Tak ada sapaan kurang ajar. Tak ada siapa pun. Denting sendok beradu mangkuk dari penjual bakso keliling dan klakson penjual siomay terdengar jauh di mulut gang. Bukan suara yang kutunggu.

Setengah membanting badan sambil mendengus kasar, aku berdiri dari sofa ruang tamu yang kali ini terasa seperti batu kerasnya. Aku harus ke toko sebelum Ibu meneleponku dengan suara cemas.

Perlahan, kukunci pintu dan pagar. Dan masih sempat beberapa kali melirik ke sebelah. Seperti ada yang kutunggu. Setelah selesai, aku berjalan kaku melewati rumah sebelah. Masih sama seperti seharian tadi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Melewati rumah itu, jalanku melemah. Dering suara telepon dari dalam sebuah rumah membuatku teringat, Ibu pasti menungguku di toko. Kupercepat langkahku. Aku mendengus kasar sambil menggeleng satu kali, membuang isi kepala yang mengganggu hariku.

Benar-benar mengganggu. Aku menjadi aku yang aneh yang nyaris tidak aku kenali. Dan aku jengkel dengan aku yang seperti itu. Membulatkan tekat, aku akan menghilangkan keanehan itu sebelum semakin aneh lagi. Kupercepat langkah seiring tekat yang semakin membulat.

Benar saja. Ibu sudah berdiri di tangga depan dengan tatapan ke mulut gang. Tangannya memutar-mutar ponsel. Terlambat lima menit, Ibu akan meneleponku. Jika tak terangkat, Ibu akan menyusul ke rumah. Dan ketika Ibu melihatku, bahunya langsung melorot santai. Tak lama, aku sudah di depannya.

"Nelepon aja sih, Bu. Daripada nunggu kayak gitu," sapaku sambil berjalan masuk. Ibu mengikuti masuk.

"Ya kamu aja yang nelepon kalau telat ke sini," jawab Ibu sambil kembali ke pekerjaannya, mengiris kue setelah bertanya terlebih dulu kepada pembeli.

"Kan Mimo belum telat. Belum jam sembilan." Aku menyambar sehelai tisu lalu mengelap meja potong merangkap meja kasir. Ada remahan kue di sana.

"Ya makanya Ibu nggak nelepon." Ibu menutup kotak kue sedikit lebih keras dari seharusnya, memasukkan kotak ke plastik, lalu menyerahkan pada kasir.

Perjanjiannya memang seperti itu. Jika jam sembilan aku tak muncul, baru Ibu menelepon. Tiga kali dering tak dijawab, Ibu menyusul. Tapi tak pernah sampai kejadian seperti itu. Ibu patuh dengan janjinya, aku pun taat dengan peraturannya. Tiga jam milikku, ya milikku. Batasnya sampai jam sembilan.

"Ngapain aja sih? Tumben sampai mentok," tanya Ibu sambil tangannya mulai sibuk bergerak lagi.

Bisa saja aku menjawab perutku mulas dan harus dikosongkan. Tapi, dari pada aku berbohong lebih baik aku tak menjawab. Aku lalu mencari kesibukan lain. Menghindari pertanyaan Ibu yang lain, aku berjalan ke lemari display lalu merapikan susunan kue yang berantakan. Ibu pun kutinggalkan seperti itu tak menuntut jawab.

Dan malam itu berlalu seperti malam yang lain. Datar. Tapi terasa semakin datar bagiku. Mungkin karena aku yang mendatarkan lagi riak di hati.

***

Keesokan harinya hariku kembali ke ritme semula. Bangun pagi langsung bergegas bergerak. Merapikan rumah dan pekerjaan domestik lain. Menyiapkan peralatan tempur. Memasak, menghias kue, menikmati tiga jam dengan novel, musik, dan penganan, lalu ke toko membantu Ibu. Lalu pulang, beristirahat, bersiap untuk esok hari.

Ya, begitulah. Semuanya kembali nomal. Aku tak merasakan waktu berjalan. Hari-hari berlalu kembali seperti biasa. Aku menikmati hidupku apa adanya.

Aku nyaris melupakan dia. Hanya kelebat tentang kehadirannya yang begitu sekilas. Lalu aku merasa hidupku kembali normal. Menyisakan riak kecil yang tidak terasa. Ternyata dia hanya sepenggal kisah saja. Terlalu singkat untuk diingat.

That's all.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now