Bab 14, Kisahku

663 130 17
                                    

"Shaq, gua akan cerita, tapi gue butuh bantuan lu kali ini."

"Apa?"

"Gue nggak pernah cerita ke orang lain sama sekali. Gue nggak nyaman ngomongin ini." Aku memang memutuskan untuk bercerita, tapi ternyata tidak semudah itu. Tubuhku menolak. Aku merasakan tubuhku menegang.

"Kalau lu nggak bisa cerita, nggak apa-apa kok, Mo." Dia sampai mengubah posisi duduknya agar dapat lurus melihat ke arahku.

Aku duduk kaku. Tubuhku tegang dan tangan mencengkeram lutut erat. Kepalaku menunduk dalam. Lalu perlahan aku menarik kakiku, meringkuk memeluk lutut, menyembunyikan wajahku di sana.

"Mo..."

Kuabaikan suara khawatirnya. Aku sedang berjuang dengan emosiku sendiri. Tapi kelebat teriakan Ibu, tangisan Ibu, kemarahan Ayah, sampai tubuh Ayah yang terlempar tidak bisa kuhilangkan begitu saja.

"Mimo..." Dia menarik tubuhku yang tetap meringkuk. "Nggak usah cerita, Mo." Tubuhku tetap kaku dalam pelukannya. Aku terus menata hatiku. Terus berusaha bisa bernapas normal.

Sampai kapan aku akan begini?

"Mimo..."

Dia memelukku. Ini seperti Ibu yang memelukku. Walau berbeda, tapi aku bisa merasakan sedikit ketenangan. Dan tangannya yang mengelus rambutku, itu seperti tangan Ibu.

Apa aku akan baik-baik saja?

Ini seperti bercerita pada Ibu.

Tapi aku tak perlu bercerita pada Ibu, Ibu tahu semua tentang aku. Dan mimpi burukku.

"Lu mau pulang, Mo?"

Aku tahu, aku sudah cukup lama meringkuk seperti ini. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya terus diam dan dia pun diam.

Saat-saat seperti ini adalah neraka. Tapi kehadiran seseorang yang walaupun dia bukan Ibu, membuatku merasa nyaman. Sampai aku bisa mengangkat kepaku, walau daguku sudah bersandar di lutut, tapi aku sudah bisa melihat lurus ke depan. Pandangan kosong.

"Mo..."

Dia menyodorkan botol air mineral yang sudah terbuka. Aku tak mau minum, tapi aku merasa dia menyuruhku minum. Kuteguk sekali lalu kukembalikan botol padanya.

"Mimo, apa yang bisa bikin lu enak? Bisa bikin lu nyaman?"

Aku sedang mencari itu.

Menangis?

Aku tak pernah menangis. Ibu melarangku menangis. Tak ada yang perlu ditangisi dari kematian seorang pengkhianat.

"Gue..." Aku mencoba bersuara. "... nggak baik-baik aja." Tangannya masih di pundakku. Aku bisa merasakan tekanan tangan itu. Dia tidak hanya meletakkan tangannya saja. Dia memegang bahuku. "Tapi... gue akan berusaha gue baik-baik aja."

"Mimo... kalau cerita bisa bikin lu nyaman, gua ada di sini. Tapi kalau bikin lu nggak nyaman, gua nggak akan paksa." Tangannya turun mengelus punggungku.

"Lu ingat dulu pernah nanya tentang bokap?" Akhirnya dengan penuh perjuangan aku bisa memulai.

Dia mengangguk satu kali. "Dia selingkuh sama sahabat nyokap. Bisa dibilang soulmate Ibu. Ibu sakit banget. Sejak itu dia ngecap semua lelaki buaya." Aku berbicara cepat. Tapi aku tidak merasa lebih baik. Rasanya masih sesak.

"Kapan kejadiannya?"

"Gue belum TK."

"Itu nggak ada hubungannya sama lu. Lu masih bocah, belum ngerti apa-apa."

"Tapi gue ngelihat Ayah mati ketabrak mobil pas mau nyelamatin gue, Shaq."

"Astaga, Mimo...." Dia memelukku lagi. "So sorry..."

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now