Bab 24, Anytime [2]

612 117 8
                                    

Kami kembali membelah jalan. Aku tak tahu ke mana. Pun aku melihat ke luar, dengan kepala sekosong ini, aku tak tahu ini di mana. Sampai dia membukakan pintu dan mengajakku memasuki sebuah gedung. Aku masih belum tahu gedung apa. Memasuki lift, lalu keluar. Berjalan singkat sepanjang selasar menuju sebuah pintu. Aku hanya memperhatikan ketika dia membuka pintu dengan access card.

Pintu terbuka dan dia mundur selangkah, mempersilakan aku masuk terlebih dahulu. Aku berjalan perlahan dan dia mengikuti di belakangku.

Sebuah unit apartemen.

"Aku tinggal di sini, Mo."

Dia mengajakku ke rumahnya.

Rumahnya.

Rumahnya.

Dulu dia terusir dari rumahnya. Oleh Ibu. Ibuku.

Tiba-tiba aku kehilangan tenaga, tapi masih sempat tergapai sandaran love seat. Aku jatuh terduduk di sana. Kututup wajahku dan menangis di sana. Ini sudah tidak dapat kutahan lagi.

"Mo, kamu kenapa?" tanyanya panik. Dia sudah bersimpuh di depanku. Tangannya berusaha melepas tangan yang menutupi wajahku. "Kamu kenapa, Mo? tanyanya semakin panik.

"Kamu tinggal di mana waktu itu, Shaq? Maafin Ibu, Shaq. Maafin Ibu..." Kali ini kupegang tubuhnya. Kuguncang keras bahunya. "Kamu tidur di mana malam itu?"

"Ya ampun, Mimosaaa.... Kirain ada apa." Suaranya begitu lapang.

"Maafin Ibu, Shaq. Ibu memang kelewatan banget. Ngusir orang kayak gitu," ceracauku.

"Nggak apa-apa, Mo. Aku nggak masalah, nggak marah. Itu cara yang Ibu tau untuk ngelindungin kamu. Anak kesayangannya."

"Ya tapi nggak boleh kayak gitu. Maafin Ibu, Shaq. Kamu tidur di mana malam itu?"

"Hotel lah."

"Maafin Ibu, Shaq."

"Iya, sudah. Sudah aku maafin. Sudah, kamu nggak usah pikirin itu lagi."

"Nggak bisa, Shaq."

"Ya terserah kamu aja. Dipikir boleh, nggak dipikir juga nggak apa-apa. Asal jangan jadi beban aja." Memang sulit mengurus spesies wanita, apalagi sub spesies wanita menangis. Lebih baik di-iya-kan saja. "Tadi kenapa kamu mau pulang?"

Aku diam.

Dia berdiri, menghilang di balik sebuah pintu.

"Aku jarang di sini. Ini access card kalau kamu butuh tempat. Terserah kamu mau ngapain. Kamu butuh sendiri. Kamu butuh sepi. Datang kapan aja, pakai kapan aja. Nggak usah izin lagi. Autoizin. Kecuali kamu nggak mau kalau mendadak aku pulang, nah, kasih tau deh. Nanti aku nggak pulang." Dia menyelipkan kartu itu di tasku.

Kami diam.

"Tadi kamu kenapa? Muka kamu tuh langsung berubah pas aku nanya kayak gitu. Aku salah ya?"

"Aku belum bisa ngomong sekarang. Belum bisa, bukan belum mau."

"Ya sudah, anytime."

Apa yang harus aku jelaskan? Pertanyaan itu memiliki begitu banyak makna yang menyakitiku. Aku pun punya pertanyaan, tapi aku belum bisa menanyakannya sekarang.

Pertemuan ini begitu mendadak. Aku sungguh-sungguh tidak siap. Tapi, kapan pun itu, jika kami bertemu tanpa sengaja, aku tidak akan pernah siap.

Ponselku berbunyi. Pasti Ibu.

"Ya, Bu..."

"Kamu di mana?"

Aku tak mau menjawab.

Ruang Rindu [16+ End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang