Bab 11, That's Why I'm Here, Babe

694 139 24
                                    

Sudah lewat tengah malam ketika kulihat sosoknya di ruang tengah rumahnya. Meja penuh berkas, laptop terbuka menyala, dan dia sibuk menelepon. Kulihat wajahnya muram. Marah? Tak lama kulihat dia melihat ke ponsel lalu meletakkan ponsel itu setengah membanting ke atas meja. Tak lama dia menghilang. Lalu lampu kamarnya menyala.

Aku bergegas menutup jendela. Tapi terlambat, dia sudah melihat aku. Tanganku berhenti di tengah jalan ketika melihat dia hanya diam termangu di ambang jendela.

"Nite, Mo," ucapnya setelah beberapa lama diam menatapku.

Kujawab dengan menutup jendela dan merapikan tirainya. Dari balik tirai kulihat dia menghilang.

***

Matahari belum muncul ketika kudengar suara mesin mobil menderu. Ketika kuintip dari balik tirai jendela, kulihat mobilnya menjauh dari rumah. Lalu hari itu berlalu seperti biasa. Hampir tengah malam ketika suara mobilnya terdengar lagi. Dan hari berikutnya pun sama. Sampai kusimpulkan begitulah jadwal hariannya. Jadwal yang membuat dia tidak pernah melihat matahari di tempat yang sama denganku.

Sampai suatu malam, sepulangku dari tutup toko. Aku merapikan bawaanku di dapur Mimosa. Lalu kusadari, ada yang kurang.

"Bu, Mimo ke toko lagi ya. Lupa ambil baking powder."

"Sudah malam. Besok aja, Mo. Ibu bawain habis buka toko."

"Hhmm..." Baiklah, Ibu benar. Tapi aku tetap keluar untuk menggembok pagar.

Ketika menggembok pagar itulah aku melihat ada yang lain di rumahnya. Sebuah mobil lain terparkir di depan pagarnya. Sementara mobilnya ada di carport. Ada orang lain di rumahnya. Itu kesimpulanku. Aku hanya sekejap saja mengamati rumah itu. Hanya sambil menunggu tanganku berhasil mengunci gembok saja. Jarak aku berada dengan ruang tamunya sangat dekat. Melalui jendela samping, kulihat ada gerakan di ruang tengah. Pagar sudah tergembok, aku berjalan masuk.

Lampu rumah sudah padam. Ibu sudah masuk ke kamar. Gelap. Hanya lampu redup menyala di selasar. Ketika melewati ruang tengah itulah naluri keingintahuanku berdenging. Kubelokkan langkah ke dapur Mimosa. Mengintip dari celah tirai.

Vitraso di jendela rumah itu hanya menghalangi sedikit pemandangan dari ruang tengahnya. Dan pemandangan yang kulihat cukup membuatku terpana. Sesaat aku membatu. Dia duduk menekuri berkasnya ketika seorang wanita sangat cantik memijat mesra pundaknya. Pijatan yang semakin lama semakin turun. Dia terlihat meniknati pijatan itu sampai kulihat dia meremas sebuah plastik sementara tangan wanitanya semakin berani. Lalu tiba-tiba dia menepis tangan di pahanya. Wajah si wanita yang sudah menempel di wajahnya terlihat begitu terkejut.

Tapi itu tak lama. Si wanita justru makin berani. Dia malah duduk di pangkuan Shaq. Aku sampai harus menutup mulut melihat hal seperti itu live di hadapanku. Tapi lagi-lagi Shaq menolak. Dia mengangkat pinggang wanita itu agar si wanita pergi dan dia bisa berdiri.

Lalu mereka berdiri berhadapan tapi tak lama wanita itu mendekat dan kembali membelainya. Kali ini mereka berhadapan tanpa jarak. Ketika tangan si wanita di dadanya, tangan Shaq merengkuh pinggang ramping wanita itu. Sementara sebelah tangannya meremas rambut si wanita, membuat wajah mereka berhadapan dalam pose sangat sensual.

Aku tahu ke mana pose itu akan berakhir. Kutinggalkan dapur Mimosa dan berlari menaiki tangga. Tirai kamarku belum tertutup. Bergegas aku ke sudut. Saat tanganku nyaris menyentuh tirai, dia muncul di ambang jendela.

Kami sama-sama tak bisa menjaga ekspresi. Terkejut dan saling menatap. Tapi dia yang cepat mengatur kepalanya

"Mo."

Aku yang sudah sadar bergegas menarik tirai tapi sempat kudengar ucapannya

"Ini nggak seperti yang lu lihat, Mo."

Rasa penarasanku mengajakku mengintip dari celah tirai. Tapi gengsiku melarang.

Aku menjauhi jendela. Menerjang ranjang. Duduk kebingungan di sudutnya. Lalu ponsel di nakas berdering dan bergetar. Vcall. Dari Shaq.

Apa yang harus aku lakukan?

Ketika aku berpikir, dering ponsel berhenti berbunyi. Tak lama, denting notifikasi berbunyi tak berhenti.

+6281xxxx xxxx : Ini nggak seperti yang lu lihat, Mo.

+6281xxxx xxxx : Angkat teleponnya, Mo.

+6281xxxx xxxx : Gue bisa jelasin.

+6281xxxx xxxx : Plz, Mo.

+6281xxxx xxxx : Reply dong, Mo. Jangan read aja.

+6281xxxx xxxx : Mimosa

Lalu teleponku berdering lagi. Dia berusaha menelepon lagi.

Sungguh, aku masih bingung. Dari mana dia tahu aku mengintip aktifitasnya? Dari kesamaan waktu kami sampai di jendela, sepertinya dia naik bersamaan aku naik. Kenapa aku harus dijelaskan? Kenapa dia merasa harus menjelaskan? Siapa aku? Siapa dia? Kami hanya dua orang bertetangga. Atau dia takut aku akan melaporkannya pada Pak RT?

Tak lama kudengar ada keributan kecil dari rumahnya. Bisik-bisik yang cukup besar karena mereka berbisik di tengah malam.

Anggap saja aku perempuan penggunjing yang suka mencuri dengar pembicaraan orang. Mengabaikan kebingunganku, aku melompat ke jendela. Mengintip ke arah ruang tengah rumahnya. Tak banyak berita dari jendela. Yang terlihat hanya dua manusia berkelebat melewati ruang itu.

Aku bergegas ke rooftop. Tak ingin ada yang tahu, aku mengendap membuka pintu dan duduk di lantai bersembunyi di balik pagar. Ini pagar besi, tak bagus untuk bersembunyi, tapi warna gelap dari baju yang kupakai bisa menyembunyikan sedikit diriku.

"Shaq!"

"Jangan bikin ribut. Gue orang baru di sini. Cepetan pergi gih."

"Kamu kenapa sih norak gini?"

"Terserah. Tapi dari gue tinggalin Surabaya gue sudah bilang."

"Ya makanya gue kejar lu sampai ke sini. Kenapa, Shaq?"

"Gue bosan."

"Bohong!"

"Terserah. Cepat pergi deh. Nanti keburu orang pada bangun."

"You were so sweet, Shaq."

Jarak sedekat pintu depan sampai melewati pagar bisa menghasilkan percakapan sepanjang itu adalah karena si wanita bertahan dari tarikan dan dorongan yang terlihat jelas berusaha dia tahan agar tak mengasari wanita itu.

"Used to," ujarnya sambil membuka pintu mobil dan memaksa si wanita masuk. "Jangan ke sini lagi, Deb. Ingat perjanjian kita di awal," lanjutnya lagi melalui jendela yang terbuka.

"Shaq!"

"Now, Deb."

"Gue nggak akan segampang itu lu buang, Shaq. Gue akan tau siapa mainan lu yang baru."

"Fuck you!" Shaq memukul atap mobil.

"Lets go. Fuck me. That's why I'm here, Babe."

Dia memukul kap mobil, lalu berbalik masuk ke rumah. Gerakannya kasar tapi berhasil tidak membanting pagar dan pintu depan.

Sudah cukup informasi yang bisa kusebarkan jika aku perempuan penggunjing. Aku berjingkat masuk.

Deb.

Nama wanita itu Deb

Debby? Deborah? Deb collector?

Ketika aku masuk, kulihat ponsel kembali menyala. Dan ketika kuabaikan, kembali denting notifikasi masuk.

+6281xxxx xxxx : Mo, angkat, pleaseee...

+6281xxxx xxxx : Maafin gue. Dia tau-tau datang.

Aku harus balas apa?

Akhirnya kumatikan ponsel. Airplane mode. Aku ingin tidur tanpa gangguan. Tapi seperti yang sudah bisa diduga. Tidurku tak semudah biasanya.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now