Bab 19, Backstreet

612 112 30
                                    

Shaq menemaniku sampai dia izin terlambat masuk kerja. Dia meninggalkan aku ketika dirasa aku sudah bisa menguasai emosiku. Waktu itu Ibu sudah masuk kamar perawatan untuk observasi lebih lanjut. Tak ada sakit berarti yang pernah Ibu rasakan. Tak ada catatan di medical record-nya. Dokter harus tahu kenapa Ibu tiba-tiba pingsan. Tentu saja kuceritakan 'apa adanya'. Tapi ketika Shaq menanyakan hal yang sama, kejadian sebelum 'apa adanya' itu tentu kuceritakan juga. Bahwa Ibu roboh setelah melihat chat kami. Responsnya hanya membuang napas kasar. Lalu berbalik membelakangiku, menengadah, sambil menarik keras rambutnya. Aku hanya diam menunggunya. Lalu tangannya bergerak dan tenggelam di saku celananya tapi kepalanya masih menengadah. Setelah beberapa waktu, dia berbalik dan berucap hanya satu kata.

Maaf.

Matanya menyiratkan kesungguhan dan ketulusan. Dia sungguh menyesali kejadian itu.

Dua hari Ibu di rumah sakit, aku menghindari menyebut nama Shaq. Dua hari itu Ibu manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk beristirahat. Ibu lebih banyak tidur daripada sadar. Dan ketika bangun pun, Ibu tak banyak cakap. Itu jauh lebih baik untukku.

Ibu tak bertanya bagaimana dia bisa sampai di rumah sakit. Aku pun sama sekali tidak ingin menjelaskan soal itu. Sangat kecil kemungkinan Ibu akan berubah pikiran ketika mengetahui siapa yang membantuku saat Ibu sakit. Aku lebih yakin Ibu semakin jengkel jika tahu yang menolongnya adalah Shaq.

Ibu tak perlu tahu bagaimana kalutnya aku. Pun Ibu tak perlu tahu bahwa Shaq menemaniku sepanjang masa panik itu.

Sudahlah.

***

Aku memaksa Ibu untuk melanjutkan istirahatnya di rumah. Tapi itu hanya bertahan tiga hari. Hari keempat Ibu sudah kembali aktif. Tapi kulihat Ibu memang sudah sehat. Waktu lima hari ternyata sudah cukup untuk mengembalikan kesehatan Ibu. Tapi ada yang berubah setelah lima hari itu.

Setelah kejadian itu, Ibu jadi tahu apa yang aku lakukan saat tiga jam di rumah, Ibu tak mengizinkan aku sendiri lagi. Aku ke toko atau Ibu ke rumah. Aku mengurung diri di kamar.

Aku tak bisa bergerak.

Sejak tahu bahwa penyebab Ibu roboh adalah chat kami, Shaq tidak pernah mengirim pesan lagi. Namanya tenggelam nyaris di dasar di list chats WA. Aku tak mau mencari ribut dengan Ibu, kubiarkan chat itu terus berada di bawah. Dan itu sudah sejak seminggu lalu.

Seminggu itu kuhabiskan banyak waktu dengan memikirkan dia. Mengingat sosoknya dan mengulang kebersamaan kami selama ini dalam kepalaku. Aku jadi banyak melamun. Waktu tiga jamku kuhabiskan di kamar dan melamun. Dan termenung. Kejadian Ibu sakit menakutiku. Dan kejadian di rumah sakit menyiksaku. Di rumah sakit itu aku menyadari satu hal; aku belum siap untuk sendiri dan mandiri. Dan kehadirannya waktu itu membuatku sadar, Ibu memang tak selamanya bisa menemaniku tapi aku bisa mencari orang lain untuk menemaniku.

Menemani sepanjang sisa usiaku?

Dan tanpa aku sadari, aku mulai merasa butuh pasangan hidup. Doktrin kemandirian yang Ibu dengungkan seumur hidup perlahan terkikis hanya oleh sebuah kejadian singkat.

Bagaimana ini?

Aku mulai kesulitan membendung perasaanku. Logikaku mulai melupakan ketakutan-ketakutanku atas bahaya dirinya. Bahaya yang mungkin terbawa dari gaya hidupnya, bahaya patah hati, dan terutama bahaya pengkhianatan. Kenapa bisa hal sesederhana itu menggoyahkan falsafah hidup yang selama ini kuanut? Tidak ada yang istimewa dengan perlakuannya. Mengantar tetangganya ke rumah sakit lalu menemaninya di sana. Sampai memastikan segalanya baik-baik saja. Termasuk membangkitkan optimisme hidup tetangganya. Semua itu bisa dilakukan tetangga yang lain. Bisa dilakukan temanku. Bisa juga dilakukan saudaraku. Kenapa dia yang ada di sana dan melakukan semua itu? Cuma karena aku yang memanggilnya, aku yang menggedor pintu rumahnya.

Ruang Rindu [16+ End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang