Bab 28, Tak Bisa Lagi Sama

672 123 10
                                    

Mungkin hariku berjalan seperti biasa. Tapi aku tahu ada yang tidak akan pernah sama lagi.

Ada rindu yang tercekat, ada hasrat yang tersesat, ada mau yang tersumbat.

Dan aku harus bertahan hidup dengan semua itu. Sampai entah kapan. Mungkin sampai aku mati. Aku tak punya ide bagaimana mengubah isi kepala Ibu.

Aku tahu dia tidak akan memulai chat. Dia menunggu aku. Bukan dia tak ada inisiatif, dia hanya mencari aman saja. Kalau aku memulai chat artinya kondisi sudah aman. Dia memang tidak mengatakan itu, tapi dari betapa cepatnya dia merespons chat-ku, aku tahu, dia selalu menunggu. Dan dia selalu mengingatkan aku untuk clear chat ketika kami akan mengakhiri sesi chat hari itu. Sampai akhirnya aku jengah, kuberikan password agar dia yang membersihkan untukku. Dia hanya memberiku emo tertawa berguling-guling saja.

Tapi besok siangnya seorang kurir datang membawa paket yang tidak pernah kupesan. Nama dan alamat jelas untukku. Entah firasat atau apa namanya, aku merasa harus sendiri saja membuka paket ini.

Sebuah ponsel dengan merk dan jenis dan warna yang sama persis dengan yang kupakai. Sudah terpasang pelindungnya. Dan sebuah pelindung yang sangat identik dengan yang terpasang di ponsel itu. Layar berkedip dan aku hanya terbahak ketika melihat nama dan wajahnya di sana.

"Mo."

"Ya."

"Ganti cover HP kamu yang lama pakai yang ini ya."

"Iya."

"HP ini nggak usah dibawa-bawa. Nyalain kalau kamu mau chat aku aja."

"Iya."

"Aku sudah bikin akun pribadi buat kamu. Aku sudah install WA, Telegram. Kamu tinggal pakai aja."

"Iya."

"Nggak perlu clear chat lagi."

"Iya."

"Nanti malam seperti biasa. Di HP ini aja."

"Iya."

"Bye, Mo."

"Bye, Shaq."

Sambungan terputus dan aku langsung memeriksa ponsel itu. (Ingin) tertawa terbahak melihat nama akun buatannya. Semua sama.

Jolie Rajendra.

Masih terkekeh, segera kukerjakan instruksinya. Dan ponsel ini menjadi ponsel kembar siam yang sudah selesai operasi pemisahan.

Aku tetap harus hati-hati, salah bawa ponsel bisa berarti neraka. Tapi kupatuhi instruksinya. Kumatikan ponsel baru, kumasukkan ke nakas, kukunci nakasnya, kusembunyikan kuncinya. Dua hal terakhir tidak pernah kulakukan sebelumnya.

Menurutku, satu masalah selesai. Tapi itu bukan inti masalah kami. Inti masalah tetap kami biarkan tergantung sampai sebulan ini.

Masalah yang membuatku sering tak bisa tidur. Seperti semalam. Tidak sekejap pun aku berhasil tidur. Mataku total terbuka lebar dan menghabiskan malam bergulang-guling gelisah. Paginya, aku merasa ingin melarikan diri. Aku tak sanggup menjaga wajah ini tetap baik-baik saja. Begitu Ibu ke toko, aku pun pergi.

Sebenarnya, aku ingin ke tempat umum. Kebun Raya misalnya. Sambil mengingat sebuah kisah di sana bersamanya. Tapi kantuk mulai menyerang. Dan tempat melarungkan kesadaran yang aku ingat hanya tempat tidur Shaq. Seketika itu juga aku menentukan tujuan. Tanpa memberi kabar terlebih dahulu, aku sampai dan langsung berlaku di sana seperti akulah pemilik tempat itu.

Aku langsung menuju kamarnya. Tak peduli kamarnya masih berantakan, aku hanya menutup rapat tirainya saja dan menyambar remote AC. Lalu langsung menjatuhkan bokongku terduduk di ranjang. Ketidakberadaan dia membuat aku semakin bebas. Tapi berada di sini, dengan semua hal tentang dia mengitari aku, membuat rindu semakin terasa. Aku hanya bisa memeluk bantalnya saja. Yang sangat beraroma dia. Aku ingin menangis, dan aku menangis. Aku membiarkan bantal itu basah air mataku. Memeluk bantal itu, aku menjatuhkan tubuhku dan tanpa sadar aku tertidur.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now