Bab 1, Tetangga Baru

1.6K 227 30
                                    

2017 di pinggir lain Jakarta

 

Aku sungguh tidak tahu apa yang akan terjadi detik berikutnya dari hidupku. Aku pun tak tahu apa arti sebuah senyum kecil yang kuberikan sebagai basa-basi ketimuran. Aku pun tak tahu kapan aku jatuh cinta. Aku tak tahu masa depan. Tak ada yang tahu. Orang bisa merencanakannya, tapi tetap, tak tahu ke mana angin bertiup.

Pagi itu sama seperti pagi-pagi yang lain. Aku menyiram tanaman di depan rumah sambil menikmati pagi dan mataharinya ketika pertama kali kulihat dia. Dia tersenyum dan menganggukkan sedikit kepalanya padaku yang kubalas dengan hal yang sama.

Sudah.

Aku melanjutkan menyiram dan menyiangi tanaman dan dia membuka pagar rumah di sebelah rumahku.

Mungkin calon penghuni baru, pikirku tak acuh.

Sudah hampir dua tahun di pagar rumah itu diikatkan sebuah poster bertuliskan disewakan/dijual. Lengkap dengan nomor kontaknya.

Hhmm...

Dia bisa memegang kunci rumah, berarti dia penghuni baru. Entah penyewa atau pembeli, tapi rumah itu tidak kosong lagi. Tapi itu bukan masalah untukku. Kosong atau terisi, aku tak peduli. Aku makhluk soliter yang bisa, biasa, dan terbiasa bertetangga dengan dinding dan rumah kosong.

Selesai urusan tanaman, kulirik jam di dinding ruang tamu. Hampir pukul tujuh. Seperti biasa, satu jam kedepan akan kugunakan untuk menyapu dan mengepel.

Ukuran rumah ini sedang saja. Cukup besar untuk dihuni dua orang. Pada dasarnya, rumah ini hanya di bagi dua bagian kiri dan kanan. Di belakang ruang tamu mungil adalah ruang kerjaku. Ruang paling besar di rumah ini. Di belakangnya dapur dan kamar mandi. Sementara di samping ruang tamu adalah kamar Ibu. Dibelakang kamar Ibu, bergabung dengan dapur adalah ruang keluarga. Ruang kerja dengan dapur tidak terpisah utuh, hanya dinding setinggi perut yang menjadi batas. Dibuat terbuka seperti itu karena ada lantai mezzanine di atas dapur yang menjadi kamarku. Jika dinding tertutup semua, dapur akan terlalu sumuk. Denah yang sangat sederhana, dibuat sendiri oleh Ibu tanpa bantuan arsitek ketika membangun rumah.

Dengan rumah sekecil itu, selama satu jam, aku bisa santai menyapu dan mengepel.

Setelah tugas domestik selesai, waktunya untuk bekerja mencari nafkah. Tak perlu keluar rumah. Dua pekerja akan datang membantu di sini. Di rumah mungilku. Ketika aku di ruang kerja kulirik rumah sebelah. Seseorang—dia—sedang membuka pintu jendela. Dan jendela lain terlihat sudah terbuka.

Sebenarnya, pagar pemisah dua rumah sudah cukup tinggi, tapi karena perbedaan kontur tanah, aku bisa melihat rumahnya yang berada di bawah rumahku. Aku tak berniat mengintipnya. Tapi begitulah keadaannya. Ketika aku melihat keluar jendela, otomatis rumah sebelah menjadi pemandanganku.

Harum masakan ibu mulai menggoda perut laparku. Bergegas kuselesaikan semuanya. Ruang kerja kubersihkan tapi hanya selewat saja, karena setiap selesai bekerja, ruang itu harus bersih sebelum para pekerja pulang. Dan pagi sebelum bekerja mereka akan membersihkannya lagi.

“Kamu mau makan sekarang, Mo?” Pertanyaan Ibu menyambutku. “Apa mau nunggu yang lain?”

“Sekarang aja, Bu. Mimo lapar berat nyium nasgornya.” Aku sudah duduk di kursi meja counter.

Tersenyum, Ibu menyendokkan nasi ke piring dan meletakkannya di sebelah gelas teh manis hangat. Milikku.

“Tetangga baru sudah datang ya, Mo?” Ibu pun sudah duduk berhadapan piring nasinya, bersebelahan denganku.

“Dia kapan lihat-lihat rumahnya sih, Bu? Tau-tau sudah masuk aja.”

“Ada juga Ibu yang nanya kamu, Mo. Kan kamu yang di rumah terus.”

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now