Bab 4, Menyebalkan!

957 171 23
                                    

Sebenarnya aku ingin melarikan diri dari pengaruh hiu martil itu. Tapi, bahan makanan di kulkas harus segera bermutasi menjadi lauk jika tidak mereka harus bertrasmigrasi ke tempat sampah. Jadilah pelarianku gagal disabotase udang dan gurame. Sudah kuhubungi Ibu agar menunggu hasil olahan itu sebagai makan malam kami.

Kutengok-tengok, gurame ini mirip si hiu. Atau itu hanya halusinasiku saja? Berharap ada hiu yang bisa kucabik-cabik.

Memasak memang self healing untukku. Aku sangat menikmati keberadaanku di dapur. Aku penguasa dapur ini. Aku bisa melupakan segala hal ketika memasak. Apalagi ketika bau gurame goreng tepung dan cah kangkung udang saus tiram bercampur dengan harum nasi pulen dari rice cooker. Saus asam manis untuk gurame pun sudah menggelegak di wajan. Aku sudah lupa daratan.

Ketika semua api sudah mati, kusiapkan wadah untuk kubawa ke toko. Aku tak berharap kami bisa makan bersama, toko ramai, kami akan makan bergantian.

Aku sedang menyiram saus asam manis ke potongan-potongan gurame berselimut tepung ketika tiba-tiba sepasang tangan menapak di meja di depanku.

“ASTAGA!” Aku kembali terlempar beberapa langkah ke belakang. Dengan tangan memegang panci berisi sisa saus asam manis yang masih panas yang belum sempat kutuang semua, aku sulit mempertahankan panci itu tetap di tanganku.

Kompor empat tungku di belakangku masih berisi minyak panas sisa menggoreng ikan.

Semua terjadi dalam sepersekian detik. Tangan yang mengejutkan aku sudah menarik tubuhku, menjagaku agar tidak mundur lebih jauh lalu masuk ke wajan berisi minyak panas. Dia berhasil menghindari aku dari jatuh ke belakang, tapi dia gagal menjaga tanganku. Panci itu jatuh, menumpahkan isinya ke—

“Aww…” Kepanasan dan kelabakan, dia berusaha cepat melepas jeans-nya. Ikat pinggang dan retsleting celana itu sepertinya tidak bersahabat. Tersangkut di jalan. Aku yang ikut panik tapi masih bisa menyambar lap dan segera membasahi lap itu dengan air. Sambil menunggu dia bergelut dengan retsletingnya, aku mengelap tumpahan saos di jeans-nya. Semoga bisa mengurangi panas saus yang tumpah di atas lututnya. Untung saja yang tumpah hanya sisa saus saja. Apa jadinya jika tadi aku belum sempat mempertemukan saus ini dengan pasangannya.

Ketika dia berhasil memenangkan pertarungan dengan retsleting, dia bergegas melepas celananya. Pipa celana belum utuh terlepas tapi warna merah terlihat jelas di pahanya. Aku langsung membuka freezer, menyambar sebuah es dan langsung menempelkan bongkahan es itu di pahanya saat dia masih berusaha melepas total celananya sambil berusaha menghindari kulit yang lain terkena bekas tumpahan saus yang masih melekat di celananya. Tak usah membayangkan bagaimana posisi kami saat itu. Saat aku tetap berusaha agar bongkahan es itu tetap melekat di pahanya sedangkan dia berjibaku dengan celana.

Beberapa menit yang menghebohkan.

Sampai dia akhirnya terduduk di kursi makan lalu mengambil alih memegang bongkahan es dari tanganku.

Situasi sudah aman terkendali. Aku ikut duduk di kursi di depannya.

“Ada bioplacenton nggak?” tanyanya sambil memperhatikan lukanya.

Tak menjawab, aku langsung berlari ke dapur Mimosa. Benda itu adalah hal wajib untuk manusia yang sering berhubungan dengan api.

Sambil bergegas ke dapur, aku membuka tube dan langsung mengeluarkan isinya di ujung telunjuk. Tak menunggu perintah lagi, aku mengoleskan gel itu di pahanya yang memerah. Warna merah itu cukup luas. Tak cukup satu kali mengoles. Aku terlutut di depannya dan mengeluarkan gel dari tube langsung ke pahanya. Lalu membalurkan ke seluruh area merah.

“Sudah.”

“Untung gue abis beberes, jadi pake celana pendek. Kalau nggak…”

“Kalau nggak apa?” Masih sinis.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now