Bab 10, Dia yang Terlelap

686 130 15
                                    

Lalu dia kembali menghilang tanpa kabar. Seminggu berlalu hanya dengan melihat last seen-nya di ponsel. Tapi itu hanya beberapa hari saja. Selebihnya, hari berlalu seperti hari-hari sebelum dia datang. Ibu pun tak lagi mengungkit soal order khusus di tengah malam. Mungkin Ibu melihat aku yang biasa saja dan rumah sebelah yang jelas terlihat tak berpenghuni.

Semua biasa saja. Termasuk caraku menikmati tiga jamku. Dengan perut kenyang kunikmati musik, novel, dan penganan di sofa ruang tamu. Sampai ketukan tiga kali di pintu mengganggu semuanya. Aku menoleh ke arah pintu.

"Hai." Seseorang menyapa ramah dan langsung masuk tanpa diundang.

"Hai." Aku kembali melanjutkan membaca.

"Jalan yuk," ajaknya sambil duduk.

"Males ah."

"Lapar nih. Makan yuk." Ajakannya mulai memaksa. Aku langsung bersiaga. Kira-kira teknik apa yang akan dia gunakan untuk memaksaku meninggalkan rumah?

"Sudah kenyang." Aku masih asyik dengan bacaan dan tangan meraih isi stoples di pangkuanku. Tapi itu tak lama, karena stoples itu langsung dia ambil dan dia peluk.

"Gue yang traktir." Dia mulai merayu sambil mulai mengunyah. Tak akan mempan. Aku bukan pemburu barang gratisan. Apalagi dari dia.

"Bayar utang itu mah namanya," balasku sinis. Kuambil stoples lain di meja.

Dia terkekeh. "Ya sudah, temenin gue makan aja. Lu baca di sana juga nggak apa-apa." Dia terus berusaha.

"Males."

Jangan terpancing, santai saja. Kali ini dia tak boleh menang. Aku mengatur strategi dalam hati.

"Masa gue minta makan ke lu lagi." Tak mau meminta makan tapi suara kunyahan geliginya jelas terdengar.

Bleh!

Aku harus menurunkan tekanan darah. Memicingkan sebelah mata, kulirik dia.

"Ada noh bekatul. Anggap aja sereal." Kuikuti saja gaya asal bunyinya. Dan aku bisa membalas santai.

Dia terbahak lepas. "Ayo ah." Dia menarik tanganku. Tak siap, aku tertarik berdiri.

"Apaan sih?" Aku menjatuhkan bokongku ke kursi. "Lu kalau nggak paksa orang gatal-gatal ya?" Ini bisa membubarkan strategiku. Tak ada ide dan cara menolak paksaan fisik dari dia dalam rencanaku.

"Iya." Dia menarik tanganku lagi.

"Kalpanax di kotak obat."

"Lu panuan, Mo? Kok nyetok Kalpanax?" Lalu melepas tanganku dengan gaya yang menjengkelkan. Kuhadiahi saja lemparan bantal. Yang dia tangkap lalu dia peluk sambil membanting bokongnya di sebelahku. "Ayo, Mo. Gue lapar nih."

Kulirik dia yang duduk di sebelahku. Lalu dengan wajah datar aku kembali menekuri buku yang sudah tak menarik lagi. Dia terkekeh melihat lirikanku.

"Gua nggak akan mati kalau dilirik gitu doang mah."

Aku diam saja. Berusaha tenang memikirkan apa lagi yang harus aku antisipasi.

"Nih." Dia menyodorkan jinjingannya ke hadapanku. Dan ketika aku mengabaikan, dia menjatuhkan jinjingan itu ke atas buku yang sedang kubaca.

"Tuhan, tolong hadirkan kedamaian lagi dalam hidupku. Aamiin." Kuusap wajah, seperti benar orang selesai berdoa.

Dia malah membongkar isi jinjingannya ke atas pangkuanku. Kacang dan pie susu.

"Habis jalan-jalan lu?" Kuambil sebuah pie, dan kunikmati kelembutannya. Makanan enak tidak boleh disia-siakan entah dari mana asalnya.

"Kerja lah. Boro jalan-jalan. Gue napas aja nggak sempet." Duduknya merosot santai, kakinya terjulur ke depan dan tangannya menopang kepalanya. "Semalam nggak pulang, sore baru pulang. Masih mau tidur, perut lapar. Eh nggak ada yang mau nemenin makan."

"Lu ajak Pulgoso aja. Mau dah." Pie susu di tangan nyaris habis. Kulirik bungkus kacang. Dua stoples masih terisi setengah.

"Dia nggak enak diajak makan. Nggak bisa diajak ngomong."

Dia menguap lebar bahkan sampai mengeluarkan suara keras. Aku yang terus menikmati pie mengabaikan saja kelakuan barbarnya. Sudah biasa.

"Lu yang harus ngertiin dia dong. Ngobrol dari hati ke hati kan bisa. Nggak selamanya ngomong harus pakai suara."

Kali ini bantal yang tadi kulempar hinggap di kepalaku. Tapi belum sempat aku memaki dia sudah menjatuhkan kepalanya ke bahuku. Aku yang terkejut, masih bisa menahan diri tak lompat menjauh. Tapi tentu, aku tidak bisa menyamarkan tubuhku yang mendadak kaku. Aku yakin dia bisa merasakan kekakuan itu, tapi dia abai dan tetap bersandar santai di sini, di bahuku. Kuhitung satu sampai sepuluh untuk mengambil sikap. Ketika belum ada keputusan aku kembali menghitung. Tapi tak lama kudengar suara napas yang teratur. Kuhitung lagi satu sampai sepuluh. Lalu aku yakin, dia sudah terlelap di bahuku.

Apa yang harus aku lakukan?

Kulirik jam. Jam tujuh lewat. Tiga jamku masih lama.

Apa yang harus aku lakukan?

Tidurnya semakin nyenyak. Kepalanya semakin jatuh. Kumiringkan bahuku ke depan sedikit untuk menahan kepalanya. Tapi ketika kepalanya semakin turun, perlahan aku bergerak berdiri. Membiakan kepalanya langsung bersentuhan dengan sofa. Kurapikan kacang dan pie yang berantakan di sofa.

Aku pindah duduk di kursi lain.

Sebenarnya, aku ingin melanjutkan membaca, tapi sosok terlelap di dekatku mengganggu konsentrasi. Akhirnya buku hanya terbuka sia-sia di pangkuanku. Aku lebih sering melirik bahkan memandang dan menatap sosok yang semakin jauh ke alam lain.

Sosok yang menjengkelkan ketika sadar, tapi cukup menyenangkan ketika dia tidak sadar. Kenapa jika dia ada emosiku selalu naik? Dia sangat santai memainkan emosiku. Tapi jika dia tidak ada, aku semcam menunggu ulahnya.

Sampai sosok itu bergerak, kulirik jam di dinding. Tiga jamku hampir habis. Ketika mataku kembali ke wajahnya, kulihat matanya berkedip. Tanpa menggeliat, dia bergerak pelan. Duduk dengan siku menopang di lutut sementara kedua telapak tangannya menutup wajahnya. Lalu suara dengusan terdengar di balik tangan yang mengusap kasar wajahnya. Tak lama, matanya terlihat melihatku. Masih dengan posisi duduk yang sama.

"Lu mau ke toko? Gue antar ya." Dia menyisir rambut dengan jemari sambil menarik napas panjang.

"Nggak usah, lu pulang gih. Tidur lagi aja," tolakku. Pun toko jauh, aku tak mungkin membuat orang semengantuk itu mengantar ke toko.

Dia menggeliat, lalu menggerakkan cepat lehernya ke kanan dan kiri. Dua bunyi 'krek' terdengar. "Nggak apa-apa. Sekalian cari makan. Sakit beneran gue kalau nggak makan lagi."

Deg.

Aku merasa bersalah menolak menemaninya mencari makan. Bahkan tidak menawarinya makan. Padahal nasi dan lauk di meja makan pasti cukup untuk makan malamnya.

Untuk menghilangkan rasa bersalahku, aku mengiyakan tawarannya. Di dalam MPV middle class-nya yang sangat sebentar, kami hanya diam. Aku tentu tidak memaksa turun dengan membuka pintu ketika mobil masih bergerak. Di mulut gang, setelah dia menepi dengan benar, dia menghentikan mobil. Aku hanya mengucapkan terima kasih yang dia balas dengan anggukan dan senyuman.

Kutatap sosoknya yang tersembunyi di dalam mobil sampai menghilang di belokan jalan.

***

Bersambung

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now