Bab 4

15 4 0
                                    

Waktu makan malam tiba, dan aku masih gelisah. Aku membukakan pintu untuk para tamu, yang terakhir masuk adalah Paman Pumblechook. Dia adalah seorang saudagar jagung kaya dari kota sekitar, sebenar-benarnya dia adalah pamannya Joe, meskipun Nyonya Joe telah menganggap Paman Pumblechook sebagai pamannya sendiri. Dia adalah pria yang bertubuh besar dan lambat, dengan mulut seperti ikan. Dia sekarang sedang memberi Nyonya Joe botol-botol anggur yang merupakan hadiahnya yang biasa, dan menyapanya dengan kata-kata yang persis sama yang dia gunakan setiap hari Natal.

Bahkan jika aku tidak merampok dapur, aku memang seharusnya merasa tidak nyaman; bukan karena aku terjepit ke dekat meja, bukan karena aku tidak diizinkan untuk berbicara, bukan juga karena aku diberikan potongan daging babi dan daging ayam yang tidak diinginkan oleh orang lain. Tidak; seharusnya aku tidak keberatan jika saja mereka meninggalkanku sendirian. Namun, mereka mengatakan kepadaku lagi dan lagi betapa jahat dan tidak tahu terima kasihnya diriku.

Joe mencoba menghiburku dengan cara apa pun yang bisa dia lakukan, dan karena kuahnya banyak hari ini, dia menyendokkan sebanyak mungkin ke piringku.

"Minumlah sedikit brendi, Paman," kata Kakakku.

Oh surga! Dia akan menganggapnya tidak berasa, dan aku takut sekali! Aku berpegangan erat pada kaki meja dan menunggu nasibku.

Kakakku membawa botol batu dan menuangkan brendinya. Dia mengangkat gelas itu, melihatnya, dan meletakkannya lagi—memperpanjang penderitaanku. Kemudian, saat aku memegangi meja dengan tangan dan kakiku, aku melihatnya mengangkat gelas, tersenyum, dan meminum brendi itu. Seketika, kami semua terkejut saat dia melompat berdiri dan bergegas keluar. Dia kemudian terlihat membuat wajah paling jelek, seolah-olah dia sudah menjadi orang yang hilang akal.

Aku berpikir sejenak bahwa aku telah membunuhnya, tetapi dia dibawa kembali oleh Joe dan Nyonya Joe. Dia duduk di kursinya, dan berkata dengan penuh arti, "Air tartar."

Aku telah mengisi botol dari kendi yang salah, dan aku tahu dia akan menjadi lebih buruk selang beberapa lama.

"Kenapa, bagaimanapun, air tartar bisa masuk ke sana?" kata Kakakku dengan heran.

Namun, Paman Pumblechook, yang kata-katanya sudah seperti hukum, tidak mau mendengar lagi tentang ini, dan meminta gin yang dicampur dengan air panas. Kakak perempuanku, yang sedang berpikir dengan keras, harus menyibukkan diri untuk membuat minuman, jadi untuk sementara waktu aku terselamatkan.

Perlahan-lahan aku menjadi tenang, dan mulai berpikir aku akan melewati hari ini dengan baik-baik saja, sampai ketika Kakakku berkata kepada tamunya, "Kamu harus mencicipi pai babi yang gurih."

Aku mendengar kakakku pergi untuk mengambilnya, dan melihat Tuan Pumblechook mengambil pisaunya. Aku tidak akan pernah tahu apakah aku berteriak ketakutan atau tidak, tetapi aku sudah tidak tahan lagi. Aku melepaskan meja dan berlari untuk hidupku.

Namun, di pintu, aku bertemu dengan sekelompok tentara, salah satunya mengulurkan borgol sambil berkata, "Ini dia, ayo!"

Semua orang terkejut, tetapi sersan itu masuk dengan borgol di satu tangan dan tangan lainnya di bahuku, menjelaskan bahwa dia sedang dalam pengejaran atas nama raja. Kunci pada borgolnya tidak berfungsi, dan dia ingin si pandai besi untuk memperbaikinya.

Joe berkata dia perlu menyalakan api bengkel, dan pekerjaan ini akan memakan waktu hampir dua jam.

"Kalau begitu, maukah Anda segera melakukannya," kata sersan, "dan anak buah saya bisa membantu. Seberapa jauh rawa-rawa dari sini?"

"Hanya satu setengah kilometer," kata Nyonya Joe, yang sudah lupa akan pai babinya. "Apakah kalian sedang mengejar narapidana, Sersan?"

"Ya," jawab sersan itu, "dua. Mereka cukup diketahui untuk berada di rawa-rawa, dan tidak akan mencoba kabur sebelum senja. Ada yang pernah melihat mereka?"

Great Expectations (Charles Dickens)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang