08

61.9K 5.7K 186
                                    

Sedangkan di lain tempat, Keluarga Alexander sedang bersedih. Karena Zea dinyatakan koma.

"Kamu kapan bangun sih dek? Gak kangen apa sama abang? Abang aja udah kangen sama kamu."

Sean tersenyum pedih, kangen? Zea tidak mungkin kangen dengan dirinya. Apa yang harus Zea kangenkan? Selama ini tidak ada kata bahagia dalam hidup Zea. Mungkin Zea merasa keadaannya yang sekarang lebih baik dari pada yang dulu.

"Kamu mau ayah sama bunda sayang sama kamu kan? Lihat, ayah sama bunda udah sayang sama kamu. Tapi kamunya tidur, cepet-cepet bangun ya. Biar nanti kamu ngerasain di sayang mereka."

°°°°

"Buset, silaunya langsung kena mata gue. Nih kamar kenapa kaya kamar tk, anjir."

Mora mendumel, kalian bayangkan saja. Meski saat menjadi Zea tidak di sayang, tapi permasalahan pakaian dan yang lainnya, keluarga Alexander tidak pernah menutup mata. Kamar miliknya dulu berwarna abu-abu sama putih, dan sekarang menjadi warna pink cerah. Bisa gila ini mah kalau tinggal disini lama-lama.

"Ini lagi satu, bajunya di jahit selesai gak nih? Masa kayak gini. Kayaknya nih si Mora suka pake baju yang belum selesai di jahit, masa tangannya cuman satu. Satu lagi kemana woy?!! Ini lagi warnanya kenapa sama, sama tembok? Mau cosplay apa gimana ini." Zea pusing melihat semua yang ada di kamar Mora tidak jauh dari warna pink.

"Belanja lagi dah ini mah, mana kagak punya duit lagi."

"Berisik banget sih dek, kenapa coba? Ada masalah apa sekarang?" tanya Marcel tiba-tiba masuk ke kamar Mora.

Mora melihat Marcel dengan berbinar, kalau dirinya gak punya uang pasti abangnya punya. Abangnya kan udah mulai ikut kerja di perusahaan daddynya.

Melihat binar cerah di mata adiknya, Marcel jadi tidak enak hati. Dia yakin kalau adiknya akan meminta sesuatu kepadanya. "Kenapa?"

Mora tersenyum manis, "abang punya duit gak?"

Marcel mengerutkan keningnya, nah kan. Kalau udah ada kata duit, gak akan jauh minta di jajanin. "Ada, kenapa emang?"

Mora semakin tersenyum manis, "rencananya aku mau rombak nih kamar, tapi gak punya uang. Jadi.."

Kan, Marcel sudah tahu kemana arah bicaranya. Pasti minta duit. "Berapa?"

Mora dengan semangatnya mengangkat lima jarinya. Kening Marcel mengerut. "Lima ratus?"

Mora menggeleng, "lima juta."

"Buset, ini minta atau malak berkedok minta?!" ucap Marcel. Sebenarnya Marcel tidak masalah dengan uang segitu, hanya saja masa ngerombak kamar sampai lima juta. Palingan juga ganti cat doang, sejuta juga selesai.

Mora mengerjapkan matanya, "emang apa bedanya malak sama minta? Bukannya sama aja ya?"

"Beda lah, kalau minta itu. Di kasih ya diambil, kalau enggak ya enggak. Nah, malak itu dipaksa buat ngasih."

Mora mengangguk-anggukan kepalanya, "kalau gitu Mora gak jadi minta, mau malak abang aja biar di kasih."

Marcel menganga, ini adiknya belajar dari mana coba. Mana tadi dia menjelaskan secara rinci menurutnya lagi. Ini mah dia lagi di palak adiknya, mau ngasih takut jadi kebiasaan. Tapi kalau gak dikasih nanti malah ngambek, repot juga ternyata jadi seorang kakak.

"Belajar dari mana itu? Tau malak segala."

"Kan abang barusan, udah lah. Aku tetep minta lima juta, kalau enggak, aku bakal bilang sama daddy kalau abang itu pelit."

Marcel bersidekap dada, pandangannya menatap remeh pada Mora. "Bilang aja, lagian kalau kamu tahu abang pelit kenapa masih minta? Minta aja sama sugar daddy kamu sana, abang jamin pasti langsung di kasih. Apa sih yang enggak buat anak kesayangannya."

Mora mengerjapkan matanya, setelah itu langsung loncat dari kasur dan berlari keluar. Tetapi tak lama Mora balik lagi dan berdiri di hadapan abangnya. "Makasih sarannya." setelah mengucapkan itu, Mora kembali keluar lagi.

Sedangkan Marcel masih melongo melihat adiknya yang loncat dari kasur, setelah sadar dari keterkejutannya Marcel berteriak. "ADEK KENAPA LONCAT? MAU MASUK RUMAH SAKIT LAGI, HAH?!"

°°°°

Mora turun dari lantai dua, sampai di ruang keluarga dia melihat mommy nya sedang bersantai ria. "Daddy mana mom?" tanya Mora setelah duduk di samping mommy nya.

Freya menoleh, kemudian tangannya terulur mengusap rambut Mora sekilas. "Paling lagi di ruang kerjanya, kenapa emangnya? Kamu lagi ada perlu sama daddy?"

Mora mengangguk, "ruang kerja daddy dimana mom?"

Freya mengerutkan keningnya, kenapa Mora tidak tahu dimana letak ruang kerja daddy? Tapi setelah itu Freya mengangguk, dia lupa jika anak gadisnya ini sedang lupa ingatan. "Di lantai tiga, disitu kan khusus ruang kerja aja."

"Kalau gitu Mora ke atas dulu ya mom, ada perlu sama daddy. Ada urusan negara" Mora beranjak meninggalkan mommy nya, sedangkan Freya hanya geleng-geleng saja. Paling mau minta uang, udah ketebak semua anaknya kalau lagi nyari daddy nya ya berarti butuh uang.

"Gue kok belum lihat kak nanta ya? Emang urusan apa sih yang lagi dia urus, penting banget kayanya sampai gak pulang seminggu ini."

Mora asik berbicara sendiri saat menuju ruangan daddynya, setelah sampai di lantai tiga ternyata memang benar jika lantai tiga khusus untuk bekerja.

Tok... Tok...tokk...

"Daddy anak gadismu yang cantik dan baik hati serta tidak sombong mau bersilaturahmi kepada daddy. Apakah di perbolehkan masuk?"

Sedangkan Samuel yang berada di dalam tertawa kecil mendengar ucapan anaknya, "masuk aja sayang. Tumbenan juga kamu ngetuk pintu dulu, biasanya di serobot aja meski ada rekan kerja daddy."

Mora membuka pintu ruang kerja daddynya dan menyembulkan kepalanya saja, setelah merasa situasi aman. Mora langsung masuk dan menutup pintunya. "Dad, Mora niatnya mau ngerombak kamar sama ganti semua baju Mora. Kira-kira daddy setuju gak?"

"Kenapa mendadak? Tapi gak papa sih kalau emang mau ganti suasana. Ya udah, daddy setuju."

Mora cengengesan, "tapi Mora kan gak punya uang, minta sama abang gak dikasih karena kebayakan katanya. Jadi Mora mau minta sama daddy aja."

Samuel terkekeh geli, jadi ini yang membawa anak gadisnya mengunjungi ruang kerjanya. Ternyata ada maksud tertentu. "Berapa emang tadi kamu minta sama abang?"

Mora menunjukan kelima jarinya, dan respon Samuel sama dengan Marcel, mereka mengerutkan keningnya. "Lima ratus juta?"

Mora membelalakan matanya, lima ratus juta?! Ya kali cuman mau ngerombak kamar sama ganti semua baju sampai lima ratus juta, nih daddynya rada-rada kayaknya. Ngomong lima ratus juta kayak lagi ngomongin duit recehan.

"Ih, lima juta aja dad. Banyak banget lima ratus juta."

Samuel semakin mengerutkan keningnya, "lima juta cukup buat beli apa? Kayanya beli cat juga gak cukup kalau uangnya lima juta, belum lagi kamu harus bayar yang ngerombaknya. Belum beli bajunya, lima ratus juta belum cukup kayaknya kalau menurut daddy."

Etdah buset, orang kaya kalau ngomongin duit gak pernah kaleng-kaleng, lima ratus juta kayak lagi ngomongin duit lima ratus rebu. Lagian cat apaan yang harganya lebih dari lima juta? Kalau gitu Mora juga mau jadi tukang cat aja, biar bisa kaya cepet.

"Ish daddy, Mora cuman minta lima juta. Gak mau nerima selain lima juta!" Mora memalingkan wajahnya, pertanda jika dia sedang ngambek.

Samuel menghela napasnya pelan, orang mah kalau di kasih duit lebih dari yang di minta seneng, lah ini anaknya malah gak mau. "Dua puluh juta atau enggak sama sekali?"

Mora mengerucutkan bibirnya, dia kan butuhnya lima juta. Tapi kalau gak diambil nanti sumber duitnya gak mau ngasih lagi, "ya udah deh. Dua puluh juta, gak boleh lebih!"

Samuel tersenyum puas, "nah gitu dong. Senang berbisnis dengan anda."

_____

Extra Love Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang