21

39.6K 3.1K 24
                                    

Mora celingukan mencari kakaknya, pasalnya mereka berdua disuruh membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Tapi setelah sampai di supermarket, kakaknya itu hilang entah kemana.

"Isshh, kak Nanta mana sih? Masa dia ninggalin gue yang cantik paripurna ini. Gimana kalau gue di culik om-om pedo? Jadi kakak gak ada tanggung jawabnya banget."

Mora mendumel sepanjang jalan, kedua tangannya membawa kantong kresek. "Kakak laknat! Gue doain lo gak dapat jodoh! Tahu rasa lo jomblo seumur hidup!"

Tanpa Mora sadari, sedari tadi kakaknya berada di belakang dirinya. Keusilan Nanta sedang keluar, jadi dia membiarkan adiknya membawa belanjaan itu sendiri. Lumayan, hemat tenaga.

Nanta cekikikan sendiri mendengar sumpah serapah Mora pada dirinya. Apa semua perempuan kalau ditinggal suka mendumel? Atau semua orang? Baik itu laki-laki atau perempuan, menyumpah serapahi orang yang meninggalkannya?

Sekitar sepuluh menit, Mora sampai di rumahnya. "MOMMYYY, BANTUIN MORA! KELUAR CEPETAN!"

Freya berjalan dengan tergesa-gesa, takut terjadi gak yang tidak diinginkan. "Kenapa teriak-teriak?"

Mora mengerucutkan bibirnya, "mommy bawa kedalam sendirian sana! Mora capek bawa sendiri dari supermarket, berat!"

Freya mengerutkan keningnya, matanya menatap ke belakang tubuh Mora. "Kenapa gak minta tolong bawain sama kakak kamu?"

"Gimana caranya? Kakak aja ninggalin Mora sendirian disana. Pokoknya, Mora gak akan pernah mau lagi belanja sama kakak!"

"Lah, itu kakak kamu jalan di belakang kamu" kata Freya menunjuk belakang tubuh Mora.

Mora membalikan badannya, dan ternyata benar jika kakaknya ada di belakang Mora. Pantas saja Mora merasa ada yang mengikuti dirinya, ternyata kakak laknatnya ini.

Mata Mora menyipit melihat kakaknya yang cengengesan gak jelas. "Jadi dari tadi kakak ada di belakang aku? Tapi gak ada niatan sedikit pun buat bantuin aku yang lagi kesusahan bawa belanjaan sebanyak itu?!"

Nanta menggaruk pelipisnya, "hehehe, kamu juga kuat kan?! Jadi gak usah kakak bantu, mandiri dong."

"Hihihi, kimi jigi kiit kin?! Jidi gik isih kikik binti, mindiri ding. Cuman kakak doang yang gak punya perikeadikan di keluarga ini!"

"Heh, belajar dari mana kamu kayak gitu?! Gak sopan."

Mora menghentak-hentakan kakinya di lantai, "pokoknya Mora mau ngambek sama kakak. Lihat aja!"

Nanta terkekeh, ada ya orang ngambek bilang-bilang. Apa dia memberikan kode pengen dibujuk? Mungkin iya.

"Ngambek kok bilang-bilang, dek." teriak Nanta, karena Mora sudah masuk kedalam rumah.

Freya hanya geleng-geleng saja melihat kelakuan kedua anaknya, Freya mengambil belanjaan yang ditinggalkan Mora. Saat akan masuk kedalam rumah, kantong belanjaan itu di ambil paksa oleh Nanta.

"Ratunya Nanta gak boleh bawa yang berat-berat, nanti tangannya kasar."

"Ohh, perhatian juga anak mommy ini. Jadi makin sayang deh."

Nanta mengerjapkan matanya, kemudian dia tersenyum sampai menghilangkan matanya. "Nanti daddy cari yang baru kalau mommy tangannya kasar" lanjut Nanta.

Dan tanpa rasa bersalah, Nanta meninggalkan mommynya yang sudah seperti akan memakan orang.

"Sabar, Freya. Resiko punya anak yang sifatnya gak ada yang bener ya kayak gini, ngebatin setiap hari. Kalau gak inget gimana rasa sakitnya waktu melahirkan mereka, udah dimasukin lagi kedalam perut."

Freya akhirnya mengikuti Nanta yang sudah jauh dari penglihatannya.

"Taroh dimana, mom?" tanya Nanta.

"Di dapur aja, sekalian masukin kulkas. Yang rapih!"

Nanta menatap datar Freya, "dikasih hati malah minta jantung! Tahu gitu gak akan gue bantuin." dumel Nanta.

Tetapi dia tetap melakukan yang disuruh oleh Freya, dia takut dikutuk seperti cerita dongeng yang jadi batu. Masa cakep-cakep begini harus jadi batu, apa kata dunia!

Sebenarnya Freya tahu jika Nanta sedari tadi mendumel, hanya saja Freya membiarkannya. Yang penting, Nanta melakukan apa yang dia suruh. Itu sudah lebih dari cukup. Mau Nanta ikhlas atau tidak, Freya tidak peduli.

"Mom, kakak mana?" tanya Mora yang sedang menuruni tangga.

Freya menunjuk kearah dapur, dimana Nanta yang masih asik menggerutu sambil memasukan belanjaan pada kulkas.

Mora terkekeh melihat bibir kakaknya yang sedari tadi komat kamit, dia menghampiri kakaknya dan duduk di meja pantri. "Cieee, yang jadi babu. Gimana rasanya?"

Nanta menatap sinis adiknya, bukannya membantu malah mengejeknya. "Rasanya, ah mantap!"

Mora tertawa kencang, komuk kakaknya mengaduk-ngaduk perutnya.

"Bantuin kek, malah ketawa kayak kunti!!"

"Hahaha, Mora dari tadi bantuin kakak loh. Gak tahu berterima kasih banget."

"Bantuin apa? Dari tadi kamu diem aja tuh." sewot Nanta.

"Bantu doa."

°°°°

Nisa berjalan memasuki rumahnya, selama tiga hari kemarin, dia ada study tour ke luar kota.

Kening Nisa berkerut melihat pipi mamahnya yang membiru. "Pipi mamah kenapa?"

Sinta menatap Nisa dengan intenst, tangannya terulur mengusap rambut putrinya. "Oh, pipi mamah. Kemarin waktu mamah lihat Sandra, dia melakukan perlawanan. Jadi ya gini."

"Loh, bukannya tante Sandra di ikat ya? Kenapa bisa melawan mamah?"

Sinta tersenyum lembut, "kepala dia kan gak diikat. Waktu itu posisi mamah emang lagi deket banget sama dia, mungkin itu kesempatan Sandra buat mencelakai mamah."

Rahang Nisa mengeras, ini tidak bisa dibiarkan! Dia akan memberikan pelajaran kepada tantenya itu. Berani sekali dia melawan dikandang musuh!

"Nisa bakal aduin sama papah, biar tante Sandra dihukum!" kata Nisa menggebu-gebu dan hanya dibalas anggukan puas oleh Sinta.

°°°°°

"Gimana pak? Mereka semua sudah ketemu?" tanya Bima pada polisi yang bertungas menangkap keluarga Daniarta.

Polisi itu menggeleng, "maaf pak. Sampai sekarang, mereka belum dapat kami temukan. Tapi bapak jangan khawatir, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan jejak mereka."

Sean menghela napasnya kasar, kapan kasus ini selesai? Kenapa semuanya malah menjadi rumit. Adiknya yang koma, dan bundanya yang entah berada dimana sekarang.

Apa bundanya baik-baik saja? Apa dia makan dengan layak? Apa bundanya tahu jika adiknya koma? Kenapa keluarganya menjadi hancur seperti sekarang? Apa ini karma dari perlakuan mereka selama ini?

Jika iya, bisakan karma itu cepat berlalu, sejujurnya Sean sudah tidak sanggup lagi. Melihat tubuh adiknya yang penuh dengan alat penunjang kehidupan, dan dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Sean merasa tidak berguna sebagai seorang abang.

Apa Zea merasa belum cukup menghukum mereka? Mungkin jika Sean tidak tahu hukumnya bunuh diri, dia sudah melakukannya jauh-jauh hari.

"Apa tidak ada jejak sama sekali, pak? Sedikit aja gitu?" tanya Sean penuh harap.

Polisi itu kembali menggeleng, "tidak ada sedikit pun. Saat kita kembali ke rumah Daniarta, rumah itu sudah sepi. Tetangga bilang, jika mereka baru saja pergi membawa koper dengan tergesa-gesa."

"Kemungkinannya ada dua. Pertama, asisten rumah tangga itu memberitahukan perihal surat penangkapan. Atau mungkin mereka memang sudah merencanakan untuk pindah jauh-jauh hari."

"Apa bapak bisa mempercepat pencarian mereka?"

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin, pak. Kami juga tidak akan membiarkan mereka berkeliaran dengan bebas setelah apa yang telah mereka perbuat."

_______

Spam apapun terserah kalian, yuk👉

Extra Love Story Where stories live. Discover now