37

26.4K 2.9K 75
                                    

Guys, gw lupa jurusan Marcel. Jadi disini gw ambil jurusan kedokteran yaa.... Kalau ada yang tahu Marcel jurusan apa kasih tahu gw..

•••••

Zea, atau lebih tepatnya jiwa Mora. Iya, Mora memutuskan untuk kembali pada raganya. Tetapi bukan raga Mora, melainkan raga Zea.

Karena mereka satu, jadi bisa memilih ingin masuk kedalam raga siapa. Dan Mora memutuskan untuk mengisi raga Zea.

Biarlah Zea bahagia dengan keluarganya yang sekarang. Karena Mora akan membalas semua kelakuan keluarga Alexander pada Zea.

Untuk masalah Guntur, Mora akan membiarkannya. Mungkin dia juga akan menemukan penggantinya disini.

Karena saat Mora memutuskan untuk mengisi raga Zea, saat itu juga kesempatan untuk kembali pada raganya sudah pupus. Dalam artian, jiwa Mora akan selamanya terjebak dalam raga Zea. Dan begitu juga sebaliknya.

Sebab, hari dimana dirinya bertemu dengan jiwa Zea adalah hari penentuan. Hari yang menetukan segalanya, kembali atau bertahan.

"Kamu harus bahagia disana Zea, aku yang akan membalaskan semuanya kepada keluargamu!" tekad Mora sekarang kita berada di tubuh Zea.

"Zea, kamu sebenarnya tidak tahu. Jika sebenarnya kehidupan disana bukan dunia novel, melainkan dunia nyata. Hanya berbeda dimensi."

Tunggu saja kalian keluarga Alexander! Tidak akan Mora biarkan kalian mendapatkan kata maaf dengan mudah!

°°°°

"Hoamm..."

Mata Mora mengerjap, setelah nyawanya terkumpul Mora langsung meliaht jam.

Mora membelalakan matanya, "huaaaa mommy. Kenapa gak bangunin Mora." teriak Mora saat melihat jam sudah menunjukan jam setengah tujuh.

Mora langsung loncat dari kasurnya dan berlari kedalam kamar mandi. Tidak peduli dengan jidatnya yang memar karena terjedot pintu kamar mandi.

Mora mandi kilat, menggunakan seragamnya dengan secepat yang dia bisa.

Lima menit setelah itu Mora sudah siap dengan semuanya. Langsung berlari menuruni tangga, bahkan Mora berlari melewati dua tangga.

Freya langsung berlari dari dapur saat mendengar suara seperti ada yang jatuh. Matanya langsung membulat melihat Mora yang sudah duduk dengan lututnya yang berdarah.

Freya berlari mendekati Mora, "kenapa bisa jatuh sih Ra? Kenapa gak hati-hati jalannya." omel Freya.

Samuel berjalan tergesa-gesa dari kamarnya, matanya membulat melihat anak dan istrinya sedang duduk dilantai.

"Kenapa kalian duduk dilantai sih? Kayak gak punya sofa aja."

Freya berdecak, dia yakin jika Samuel mengetahui Mora terjatuh dan luturnya berdarah pasti akan sangat panik dan heboh. Saking menyayangi putri bungsunya.

"Bantuin dad, anaknya jatuh juga."

Samuel langsung membelalakan matanya, berjalan menghampiri keduanya.

Samuel langsung menggendong Mora dan meletakannya di sofa. "Mom, panggil dokter cepat. Bilang sama dokternya, kalau sampai dalam waktu lima menit dia tidak sampai disini. Daddy bakal pecat orang itu."

Tuh kan, otaknya Samuel mulai tidak berjalan. Mana ada dalam lima menit harus sudah sampai, paling cepat juga sekitar dua sampai tiga puluh menit.

"Cepetan mom, gak lihat apa anaknya udah kesakitan gini?!"

"Iya, aku ambil ponsel dulu."

Marcel dan Nanta keluar dari kamarnya masing-masing, dahi mereka mengerut melihat Samuel yang modar mandir di depan sofa.

"Daddy kenapa? Kayak setrikaan aja bulak balik mulu." kata Marcel.

Nanta melihat Mora yang sedang menunduk, menghampiri adiknya itu dan mengangkat dagu Mora. Mata Nanta langsung membulat melihat lutut Mora yang berdarah dan kening Mora yang memar.

"Ini kenapa bisa gini? Kening memar, lulut kamu berdarah. Siapa yang lakuin ini? Daddy pukulin kamu?" tanya Nanta.

Mata Mora berkaca-kaca, bibirnya melengkung ke bawah. "Huaaa, sakit lutut Mora kak. Kepala Mora juga pusing." rengek Mora.

Nanta langsung menarik tubuh Mora kedalam pelukannya. "Udah ya, justru kalau kamu nangis nanti kepalanya tambah pusing."

Samuel langsung memeriksa kening Mora, ternyata memang benar jika keningnya memar.

"SAYANGG, KAMU DIMANA? KENAPA DOKTERNYA BELUM DATANG-DATANG? KENING MORA JUGA MEMAR. SURUH CEPAT-CEPAT DATANG!!" teriak Samuel.

Marcel langsung mengusap telinganya, daddynya kalau teriak gak kira-kira. Mana deket banget lagi dengan telinganya.

Marcel mendekati kedua adiknya itu, menarik tubuh Mora dari pelukan Nanta.

"Abang sakit" adu Mora.

Marcel mengusap punggung Mora dengan sayang. "Iya abang tahu, berhenti dulu nangisnya ya."

"Nan, ambilin kotak P3K sana."

Tanpa disuruh dua kali, Nanta langsung beranjak dari sofa. Dia percaya pada Marcel karena Marcel calon dokter.

Freya langsung keluar dari kamarnya, "dad. Dokternya gak bisa datang, dia lagi ada operasi katanya. Barusan aja yang angkat suster."

Samuel langsung berdecak, "kenapa gak dari tadi aja sih. Terus sekarang kita harus gimana?"

Nanta berdehem cukup keras, "mon maaf nih sebelumnya. Kalian berdua lagi bahas apa?"

"Adik kamu lagi luka Nanta, daddy khawatir. Dokter keluarga juga gak bisa datang karena ada operasi. Ter---"

"Terus gunanya bang Marcel apa? Diakan calon dokter dad. Pajangan aja di rumah?" potong Nanta. Tidak sopan sebenarnya, hanya saja mereka berdua terlebih lagi Samuel sangat heboh sampai-sampai lupa ada orang yang bisa diandalkan dalam dunia kesehatan.

Samuel menepuk dahinya, "kenapa daddy bisa lupa kalau anak tertua disini calon dokter."

Nanta memutar bola matanya malas, "ya iya lah, orang kalian paniknya ngalahin alarm kebakaran." gumam Nanta.

"Marcel cepet obatin adik kamu." titah Samuel tanpa tahu jika Mora sudah dari tadi Marcel obati.

Marcel berdecak, "dari tadi kalian lagi ributin apa? Mora juga udah Marcel obatin dari tadi."

Samuel menghela napasnya pelan, hampir saja jantungnya jatuh ke perut melihat anak kesayangannya berdarah.

Samuel menghampiri Mora yang sedang duduk menyandar pada Marcel. "Kenapa bisa jatuh, hm?"

Mora menatap Samuel dengan yang berdiri di depannya. "Lari-lari di tangga." cicit Mora.

Samuel menghela napasnya pelan, ingin memarahi tapi melihat wajah Mora yang memerah karena menangis Samuel menjadi kasihan.

"Jangan di ulangi! Lagian kenapa kamu harus lari-lari di tangga?! Masih mending kamu jatuh di anak tangga terakhir, kalau kamu jatuh dari atas gimana? Mau buat satu rumah khawatir sama kamu?"

Mora menunduk, tidak berani menatap wajah menyeramkan Samuel. "Gak lagi-lagi."

"Alasan kamu lari-lari apa?"

Mora cemberut, "Mora telat tahu dad. Pas Mora bangun udah jam setengah tujuh, sedangkan waktu tempuh ke sekolah dari rumah dua puluh menit. Belum kepotong mandi, pakai seragam, sarapan. Mora tambah telat."

Nanta mengerutkan keningnya, matanya melihat ke arah jam dinding. "Kamu gak lagi ngigo dek? Bahkan sekarang belum ada jam enam."

Mora membelalakan matanya, melihat ke arah jam dinding. "Aaaaaa.... Kesel. Terus kenapa di kamar Mora sekarang udah jam setengah tujuh. Disini bahkan belum jam enam." rengek Mora.

"Aku capek lari-lari dari kamar, mandi cuman lima menit, terus bela-belain kepala kejedot pintu. Ternyata Mora di prank sama jam! Mora gak mau sekolah!"

_______

Sorry kalau gak nyambung. Ini aja gw maksain buat up karena kemarin gak up.

Extra Love Story Where stories live. Discover now