5 | people said, Julia is a whiny girl

10.7K 900 105
                                    

Aku ingat terakhir kali aku berbicara dengan Penelope—gadis tetangga dua rumah dari rumahku. Kala itu, sewaktu liburan musim panas di tahun pertamaku tinggal di Bloomington, dengan perintah tegas dari Mom supaya aku berteman baik dengan Penelope dengan cara yang sama seperti ketika aku mengunjungi rumah Julia. Mom bilang, Penelope adalah satu-satunya anak seumuranku yang tinggal di Jalan Fess. Lucunya, aku mungkin tidak akan tahu tentang nama cewek itu jika Mom tidak memberitahuku. Oh, Jason yang malang si pengantar kue-kue Mom....

Ketika itu, aku sampai di depan rumah minimalis kuno milik keluarga Penelope. Kuketukan genggam tanganku di permukaan kayu pintu rumah dengan perlahan dan ragu, mewaspadai beberapa kemungkinan yang akan terjadi nantinya; mengingat seorang Jason ini bukanlah seorang cowok pemberani yang percaya dirinya kelewat serius.

Dan, hola! Seseorang membukakan pintu dan munculah seorang gadis berambut cokelat terurai dan dengan gaya sok anggunnya berdiri di hadapanku seolah-olah aku ini cowok terganteng sejagad raya—ah, ya, aku 'kan memang cowok yang seperti itu; di dalam mimpiku.

Penelope menyapa selamat pagi dengan tempo yang cepat dan ketus-tanpa adanya senyum di bibirnya sedikit pun-yang kemudian kubalas selamat pagi juga yang terdengar amat bodohnya. Kami terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya kusadari bahwa ternyata Penelope menungguku berucap sesuatu. Ah ya, dengan bodohnya, Jason si cowok pendiam nan kaku ini berkata, "Hai, namaku Jason. Tetangga—"

"Ah, aku sudah tahu," Penelope menyela. Entah kenapa aku mulai merasa kehadiranku di sini seperti tidak dihargai oleh tuan rumah. Lalu gadis itu melanjutkan lagi dengan tempo yang tergesa-gesa dengan penekanan di setiap akhir kalimatnya, "keluarga MacMillan. Tetangga dua rumah dari sini. Jason MacMillan. Pindahan dari Minnesota, right?"

"I-iya, benar," jawabku terbata, seperti ada sesuatu yang tersumbat di tenggorokanku yang seolah-olah bisa menguping percakapan antara aku dengan Penelope.

"Ah, aku tepat sekali. Oh, kau mau apa datang ke sini?" tanyanya.

"Eh? Uhm, m-mengantar kue. Dari Mom-ku." Segera kuserahkan pada Penelope sekeranjang kue yang kubawa.

Penelope yang sedari tadi hanya berwajah masam, kini berubah ceria seakan-akan tiba-tiba pohon Mapel kecil di depan rumahnya mendapat keajaiban; daun Mapelnya berubah menjadi berlembar-lembar Dollar. Ah, tidak lucu. Aku tidaklah sedang melawak.

Dengan rakusnya Penelope mengambil keranjang kue itu dari tanganku, lalu kemudian masuk ke dalam rumah dan berseru, "Teman-teman! Sepertinya kalian tidak perlu keluar untuk membeli camilan menonton film karena aku telah mendapat kue!" seru Penelope di dalam sana, seolah-olah aku ini seonggok sampah baginya—yang telah berjalan dari rumahku sampai ke rumahnya untuk mengantar kue. Lalu kemudian diabaikan begitu saja. Dilupakan. Dibuang.

Aku bisa mendengar suara para gadis yang berseru kegirangan seperti yeepee! atau woow! dan yang terakhir aku bisa mendengar, 'omong-omong, siapa itu?' Aku mencoba melongokan kepalaku agar aku bisa melihat apa dan siapa yang sedang di dalam ruangan, namun Penelope rupanya telah berjalan kemari dan kembali berdiri di hadapanku.

Tanpa rasa sungkan dan rasa malu diriku bisa berkata, "Omong-omong, apa aku boleh ikut menonton film?"

Deg!

"Tentu saja tidak boleh. Acara ini hanya khusus cewek dan kau bukan salah satunya."

Deg!

"Oh ayolah Penelope, aku butuh teman dan maukah kau—"

"Sayangnya aku harus segera menonton. Sorry to say that. Goodbye!" celetuk Penelope dengan sombongnya, lalu tiba-tiba segera menarik kembali pintu rumah dengan bunyi kriiet pendek dan diakhiri dengan menutupnya pintu.

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang