38 | a diary

1.8K 262 18
                                    

Pada pukul enam pagi, aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan Mom ketika dia berkata aku sebaiknya jangan pergi ke sekolah dahulu karena ia terlampau khawatir dengan kondisiku yang kata Mom belum pulih. Padahal, sejauh ini belum kurasakan tanda-tanda kepala pusing atau nyeri tubuh sejak kepulanganku dari rumah sakit. Seth meledekku lemah ketika akhirnya aku diputuskan untuk berada di rumah seharian. Aku ingin meninju hidungnya ketika dia menjulurkan lidahnya saat melintas di depanku, menuju pintu. Aku ingin sekali mengadu pada Mom seperti anak perempuan yang diusili saudaranya, tapi hal itu urung kulakukan karena aku langsung masuk kamar lagi begitu selesai sarapan. Aku bisa mendengar deru mobil Dad yang dinyalakan dari garasi, menandakan bahwa lima detik kemudian Dad pasti segera meluncur pergi.

Satu jam setelahnya, aku turun. Mom sedang mencuci piring di wastafel dapur karena terdengar suara piring dan gelas beradu disertai percikan air kran yang mengalir.

Mom rupanya tidak melihatku melewati ruang makan dan menuju ruang tamu sebelum akhirnya keluar dari rumah, ke halaman. Aku langsung menuju halaman rumah Herbert Carpenter ketika kutahu mobilnya masih terparkir di halaman.

---

"Saya masih tidak mengerti," kataku, dengan sedetik penjedaan, "Apa Anda berbohong? Atas kemarin?"

Herbert Carpenter mengerutkan kening dalam kesibukannya pada laptop (mungkin ia sedang mengerjakan sesuatu). Dan ya, melihat pakaian kerjanya yang sudah lengkap dikenakan, kuduga, sehabis ini, pria ini pasti akan segera pergi.

"Tidak. Tentu saja aku berkata jujur selama aku tahu apa yang sebenarnya," ucapnya, dengan laptop yang masih ia pangku di atas paha, sementara kedua jemarinya terus mengetik tombol-tombol. "Hei, Jason," panggilnya.

"Ya?"

"Apa kau ingin menghubungi Julia? Yah, bertukar pesan—oh, hei, aku baru ingat, mungkin mereka sudah berganti nomor ketika tiba di sana. Tapi, aku punya alamat surel Olivia dan Julia jika kau mau. Yah, aku nanti akan mengirim surel juga."

Astaga, bertukar pesan? Sialannya, aku tidak berpikir sampai ke arah sana; menghubungi Julia kembali.

"Untuk apa saya harus menghubungi mereka lagi, tuan?" kataku, terdengar pasrah namun aku berusaha ambisius. "Mungkin, tidak akan bisa bertemu dengannya lagi, kurasa."

Herbert Carpenter berhenti mengetik dan tangannya memegangi pangkal atas dasi kerjanya, seolah-olah membenahi kain yang terjulur itu padahal kutahu dasi itu masih utuh dan rapi di lehernya sejak tadi. Katanya, "Terkadang, kau harus tetap menjalin koneksi meskipun orang-orang sudah tidak berada di dekatmu lagi."

"Untuk apa?" tanyaku.

"Menjamin mereka masih ada."

Aku tertohok, rasa-rasanya aku ingin menciptakan leherku tersedak liurku sendiri. Teringat akan kejadian Julia kala itu; saat Julia meregang nyawa di tengah jalan, hingga saat ini aku masih bertanya-tanya mengapa dan ada apa sebenarnya dengan Julia waktu itu. Tentang mengapa Julia yang begitu nekat berdiri di tengah perempatan, dan Julia yang sebelumnya menulis surat misterius padaku. Ya, meskipun aku menduganya sebagai percobaan bunuh diri, namun aku masih tidak yakin sebelum Julia sendiri atau keluarganya bersaksi.

Maka, aku bertanya, "Apakah tidak apa-apa jika aku bertanya-tanya lagi?"

"Tentu saja," sedetik kemudian sebelum sempat aku melontarkan kata-kata, Herbert Carpenter mengambil sebuah pena dan kertas dari atas meja, lalu menuliskan sesuatu. Ketika ia selesai, dijulurkannya kertas itu padaku sambil berkata, "Alamat surel Julia."

Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya bertanya, "Apa yang terjadi sesungguhnya? Apa yang belum kuketahui dari mereka, tuan?"

"Seperti yang kubilang, semua yang kutahu sudah kukatakan padamu. Kusarankan agar kau mengirim pesan padanya, mungkin kau akan tahu."

"Lalu, apakah kalian akan bercerai?"

Pria di seberang meja berhenti mengetik. Kini ia memandangku lekat-lekat, seolah dengan melakukannya, aku bisa otomatis tahu jawaban atas pertanyaanku. Ia lalu berkata, "Aku belum berpikir ke arah sana, tapi, jika keadaan makin memburuk, mungkin akan kuajukan gugatan."

Beberapa menit setelahnya, aku dan Herbert Carpenter tidak berbicara. Aku sengaja melakukannya karena pada dasarnya aku kehabisan ide, seolah-olah jutaan pertanyaan yang sejak kemarin berkecimpung dalam otak tiba-tiba langsung lenyap, sialan. Menit berikutnya kusadari Herbert Carpenter yang mematikan laptop sebelum akhirnya memasukkan benda itu ke dalam tas, lalu segera berdiri dan bilang ia buru-buru pergi. Katanya, masih banyak yang harus ia lakukan di tempat kerjanya. Kalau-kalau aku membutuhkannya, datang saja saat sore. Maka, aku pun pamit pulang diikuti pria itu yang juga keluar dari rumah menuju mobil.

---

Kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur yang empuk begitu masuk kamar lalu menatap langit-langit yang kosong; semuanya putih. Aku lantas berpikir mengapa aku masih hidup padahal kecelakaan yang menimpaku itu sangat keras. Langit-langit kamarku putih, namun pikiranku sulit memikirkan hal-hal positif, seolah semua hal yang menimpaku selalu buruk, sial. Kupikir, mungkin aku harus menempelkan stiker dinding bertema astronomi di permukaan langit-langit itu agar aku bisa selalu bermimpi yang bagus.

Sekarang aku yakin, ternyata memang Herbert Carpenter tidak mengetahui segalanya. Muncul pemikiran dari otakku bahwa hubungan Herbert Carpenter dan Olivia itu sangat konyol. Seolah cinta bisa datang kapan saja seperti di film-film, tanpa alasan yang pasti.

Tubuhku beranjak dari tempat tidur ke arah meja belajar. Awalnya, aku berniat mencari stiker dinding astronomi yang kusimpan sejak aku masih duduk di kelas tujuh. Namun, bukannya menemukan apa yang kucari, tanganku malah mendapati sesuatu yang lain ketika ketika semuanya kubongkar dari loker meja.

Sebuah buku. Sepertinya buku catatan lama. Yang kuingat, aku tidak pernah punya buku catatan yang bentuknya lebih layak disebut sebagai buku harian daripada buku catatan pelajaran. Warna sampulnya hitam secara keseluruhan, namun ketika kulihat lekat-lekat pada bagian depan sampul, ada sesuatu; goresan pena. Tulisannya kecil, dan lamat-lamat. Aku terkesiap ketika kutahu huruf-huruf melengkung bersambung yang tertulis di sana dengan tinta emas berkilauan itu adalah nama Julia.

Julia. Julia Carpenter. Itu buku hariannya. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang