24 | stupidity

3.4K 403 54
                                    

Aku menaruh ponsel dan ranselku ke atas nakas berwarna putih. Kutarik kursi logam hingga mencapai sisi ranjang sebelum akhirnya kududuki. Julia yang terbaring dengan mata terpejam, masih bergeming pada posisinya.

Aku tidak yakin apakah dokter yang bicara padaku beberapa menit silam berkata jujur atau tidak. Lelaki itu bilang, Julia sempat siuman tadi pagi sekitar pukul lima. Namun nalarku berkata, Julia belum pernah bangun dari tidur panjangnya karena faktanya ... faktanya adalah aku belum benar-benar menyaksikannya membuka kelopak mata.

Tiga menit berselang, kira-kira begitulah lamanya aku duduk di sini; mengamati gadis tuna wicara tidur. Sama sekali belum ada pergerakan. Dan itu bagus. Maksudku, bagus adalah benar-benar bagus apabila gadis itu tidak sadar akan kehadiranku—karena akan konyol sekali jika aku terpergok sedang mengawasinya tidur.

Mungkin aku adalah orang bodoh yang kurang kerjaan karena hanya ada satu hal yang kulakukan saat ini yaitu menghitung berapa detik lama waktu terbuang. Ketika batinku sibuk berhitung, tahu-tahu, telingaku menangkap suara ribut-ribut dari luar kamar.

Kalau tidak salah, aku mendengar suara seorang gadis, "Maafkan kami sekali lagi, Nyonya Car—"

Sial. Itu Penelope. Aku kenal betul suara Penelope; suara yang jika didengar dari sudut manapun, akan sama saja; sama-sama cempreng. Ah, bodoh sekali aku. Nyonya Carpenter pasti akan tambah berang jika menangkap basah seorang Jason di kamar pasien anak gadisnya.

Daripada terus-menerus mempertololkan diriku sendiri dengan banyak pikiran ini-itu, aku langsung mengambil tempat sembunyi di kolong ranjang sesudah sebelumnya kugaet dengan kilat ranselku. Aku hampir-hampir harus memojokkan tubuh ke sisi paling sudut kolong agar ketika ada orang masuk ke kamar, mereka tidak menyadari ada tikus besar di bawah ranjang.

Adalah Nyonya Carpenter yang membuka pintu lalu berjalan cepat. Hak tingginya menimbulkan suara ketukan-ketukan di lantai penuh energi, diikuti suara terburu-buru langkah kaki tiga orang di belakangnya. Kuyakin itu pasti suami Nyonya Carpenter dan yang satu adalah Penelope, serta yang satunya lagi Julian.

Aku masih bergeming memeluk tubuhku sendiri bagaikan orang ketakutan setengah mati yang menonton film horor. Detak jantungku bahkan bisa kurasakan lewat pembuluh nadi di pergelangan tangan yang rupanya tidak kusadari, kutekan terlalu ekstrem.

Ujung sepatu Nyonya Carpenter tepat berada di pinggiran ranjang, kira-kira tiga puluh senti dari ujung sepatuku.

"Oh honey, bagaimana keadaanmu, sayang?" Wanita itu mencoba bicara pada anaknya yang tengah tertidur. Entah kenapa rasanya seolah ada yang ganjil ketika Nyonya Carpenter memanggil Julia dengan sebutan honey; istilah paling manis dan memuakkan yang selalu kubenci.

"Aaa aaa."

A-apa itu? Astaga. Siapa yang bergumam seperti itu? Mungkinkah Julia? Astaga lagi, bukankah gadis itu tadi sepenuhnya tertidur? Kenapa tiba-tiba mencoba bicara?

Aku masih lanjut mematung di tempat, sambil mendengarkan percakapan orangtua Julia serta Julian dan Penelope yang benar-benar seperti bisikan. Namun kupikir telingaku terlampau tidak sanggup untuk menerima gelombang bunyi yang sungguh lirih dari Julian dan Penelope. Mereka berdua semacam berbicara di belakang Tuan dan Nyonya Carpenter, membicarakan suami istri itu. Entahlah, masa bodoh.

Sekonyong-konyong, aku mendengar dering ponsel salah satu di antara mereka yang berada di atas. Namun ... aku seolah mengenal nada deringnya. Nada dering instrumen sebuah lagu tanpa vokal ... More Than You Know...

ASTAGA, ITU PONSELKU!!!

Orang bodoh! Ponselku ada di meja! Bisa-bisanya otakku lupa dan tanganku terlampau sangat-sangat bodoh untuk mencomotnya sebelum aku bersembunyi. TOLOL SEKALI.

Lamat-lamat kudengar Penelope bicara, "Maaf, ini ponselku, Nyonya. Sebaiknya saya keluar dulu, permisi," katanya, lalu sedetik kemudian sepasang kaki dari salah satu di antara mereka berjalan menuju pintu. Lalu kutahu, yang mengekor di belakangnya adalah Julian, sudah pasti itu dia.

---

"Dasar bodoh. Kau orang paling teledor yang pernah kujumpai."

"Yang terpenting Nyonya itu tidak tahu," tukasku.

"Bagaimana jika dia tahu kau ada di bawah tempat tidur Julia?"

Aku mendesah kasar, menyingkirkan ocehan-ocehan memekakkan kepala dari Penelope. "Intinya, aku selamat!"

"Terserah kau saja, bodoh," kata Penelope, kupikir nada bicaranya mulai menunjukkan aroma keputusasaan berdebat denganku. "ini ponselmu," lanjutnya, akhirnya menyodorkan ponselku yang mana kemudian kuambil dengan gerakan cepat.

Penelope Miller pergi meninggalkanku di lorong loker sekolah. Kuamati punggungnya hingga menjauh dan menghilang di balik pintu keluar gedung sebelum akhirnya kututup loker nomor 371 yang paling pojok milkku.

Ketika kupalingkan muka hendak berjalan menuju pintu keluar menyusul Penelope, seorang anak laki-laki memanggil namaku. Suaranya lumayan jarang kudengar dan itu jelas bukan suara adikku (omong-omong, di sekolah aku hanya bicara dengan beberapa anak lelaki saja, selebihnya, tidak ada anak perempuan yang mau denganku kecuali Penelope).

"Hei," itu Julian. Julian menepuk pundakku dengan tingkat energi lumayan ekstrem yang oernah kurasakan selama ini ketika seseorang menepuk pundakku.

Aku mendongakkan dagu ke arahnya yang dimengerti oleh Julian itu adalah isyarat ada apa karena akhirnya anak itu bicara demikian, "Apa kau bicara dengan Julia kemarin?"

"Hah? Julia? Jelas tidak. Aku tidak bicara apa pun."

"Hanya saja, mengapa ketika kami datang, gadis itu sudah dalam keadaan sadar?"

"A-apa? Tapi kemarin kami tidak—"

"Mungkin Julia takut padamu," celetuk Julian, dan aku ingin sekali meninju wajah bundarnya yang berpipi tembam itu. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang